Oleh: Ahmad Baihaqi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang terkasih, keistimewaan bulan Dzulhijjah adalah lantaran terdapat di dalamnya momentum ibadah haji. Ibadah haji adalah sebuah ibadah yang memiliki makna sejarah yang begitu agung. Sejarah yang dimaksud dalam momentum ini adalah terutama mengisahkan tentang Nabi Ibrahim as., Nabi Ismail as., dan Sayyidah Hajar.
Sebagaimana pelaksanaan ibadah haji, bahwa tanggal 8 Dzulhijjah adalah dimulainya jama’ah haji melaksanakan penunaian ibadah haji dengan memakai kain ihram. Sebagian menuju langsung ke Arafah, sebagian lagi ada yang terlebih dahulu menuju ke Mina.
Sedangkan tanggal 9 Dzulhijjah seluruh jamaah haji berkumpul di ‘Arafah untuk menunaikan wukuf, sebagai puncak atau inti dari pelaksanaan ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda:
اَلْحَجُّ هُوَ عَرَفَةٌ
“haji adalah wukuf di Arafah”
Seluruh jamaah haji berkostum sama, yakni memakai pakaian ihram yang serba putih. Momentum tanggal 8 Dzulhijjah yang disebut juga sebagai hari Tarwiyah dan tanggal 9 Dzulhijjah disebut juga hari Arafah memiliki makna sejarah yang mendasari hakikat route perjalanan ibadah haji. Lalu bagaimana sejarah yang melatari penamaan hari Tarwiyah dan hari Arafah? Apa makna yang terkandung di dalamnya?
Makna Tarwiyah
Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H) dalam salah satu kitabnya, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, mengatakan bahwa hari Tarwiyah merupakan hari kedelapan Dzulhijah yang bermakna “berpikir” atau “merenung”. Karenanya, hari Tarwiyah identik dengan keadaan berpikir dan merenung atau menimbang-nimbang tentang peristiwa yang masih dipenuhi keraguan. Lalu apa peristiwa yang disebut sebagai masih dipenuhi keraguan sehingga di hari itu menggiring kepada keadaan berpikir dan merenung?
Fakhruddin Ar-Razi mendeskripsikan peristiwa yang dipenuhi keraguan itu dengan mengutip beberapa pendapat ulama dalam kitabnya:
فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْبَيْتِ، فَلَمَّا بَنَاهُ تَفَكَّرَ فَقَالَ: رَبِّ إِنَّ لِكُلِّ عَامِلٍ أَجْرًا فَمَا أَجْرِي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ؟ قَالَ: إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ، قَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِأَوْلَادِكَ إِذَا طَافُوا بِهِ، قَالَ: زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُونَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ، قَالَ: حَسْبِي يَا رَبِّ حَسْبِيي. وَثَانِيهَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَأَى فِي مَنَامِهِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ كَأَنَّهُ يَذْبَحُ ابْنَهُ فَأَصْبَحَ مُفَكِّرًا هَلْ هَذَا مِنَ اللّٰهِ تَعَالَى أَوْ مِنَ الشَّيْطَانِ؟ فَلَمَّا رَآهُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ يُؤْمَرُ بِهِ أَصْبَحَ فَقَالَ: عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ وَثَالِثُهَا: أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ يَخْرُجُونَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى فَيَرْوُونَ فِي الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يُرِيدُونَ أَنْ يَذْكُرُوهَا فِي غَدِهِمْ بِعَرَفَاتٍ
“Ada tiga pendapat di balik penamaan hari Tarwiyah, (1) karena Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintah untuk membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yang bekerja akan mendapatkan upah, maka apa upah yang akan saya dapatkan dari pekerjaan ini?’ Allah subhânahu wata’âlâ menjawab: ‘Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka aku akan mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama thawafmu.’ Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahkanlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Aku akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila melakukan thawaf di sini’. Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahkanlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Aku akan mengampuni (dosa) setiap orang yang memohon ampunan saat melaksanakan thawaf dari keturunanmu yang mengesakan (Allah).’ (2) Sesungguhnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bermimpi ketika sedang tidur pada malam Tarwiyah, seakan hendak menyembelih anaknya, maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah subhânahu wata’âlâ atau dari setan? Ketika malam Arafah mimpi itu datang kembali dan diperintah untuk menyembelih, kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm berkata, ‘Saya tahu wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu dari-Mu’. (3) Sesungguhnya penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari ‘Arafah.” (Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman 324).
Dari ketiga peristiwa sebagaimana disebutkan dalam Kitab tersebut, bahwa tanggal 8 Dzulhijjah disebut sebagai hari Tarwiyah adalah lantaran di hari itu semua keadaan menimbulkan keraguan. Keadaan ragu di tanggal 8 Dzulhijjah itu (yang disebut sebagai Tarwiyah), kemudian terjawab dengan pasti di tanggal 9 Dzulhijjah, hingga disebutlah sebagai hari ‘Arafah (pengetahuan).
Syekh Nidzhamuddin Al-Hasan bin Muhammad bin Husein An-Naisaburi dalam kitab Tafsîr an-Naisabûri menyatakan bahwa hari Tarwiyah mempunyai sejarah yang sangat luar biasa, yaitu menjadi hari persiapan untuk bekal menuju ibadah haji. Orang-orang mengumpulkan air yang sangat banyak untuk dibagikan kepada calon jamaah haji. Mereka akan memberikan kepada jamaah setelah merasakan lelah dan dahaga ketika menempuh perjalanan menuju kota Makkah, atau mereka akan membagikan air-air yang telah mereka kumpulkan kepada para jamaah saat melaksanakan ibadah haji, mengingat gersangnya tanah Arab dan sedikitnya air saat itu. Ibaratnya, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji merupakan orang-orang yang sangat haus atas rahmat Allah. Karenanya, Allah telah mempersiapkan rahmat-Nya kepada mereka semua setelah melakukan ibadah, dengan diampuninya dosa-dosa mereka.” (Nidhamuddin An-Naisaburi, Tafsîr an-Naisabûri , [Bairut, Dârul Kutub: 1999], juz I, halaman 489).
Makna ‘Arafah
Hari ‘Arafah merupakan hari kesembilan Dzulhijah. Sedangkan berkaitan dengan makna kata ‘Arafah, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Arafah diambil dari kata i’tiraf (pengetahuan), karena pada hari ‘Arafah umat Islam mengetahui dan membenarkan Al-Haqq (Allah) sebagai satu-satunya Dzat yang harus disembah, Allah subhânahu wata’âlâ merupakan Dzat Yang Agung.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ‘Arafah diambil dari kata ‘arafa yang mempunyai makna wangi yang harum. Artinya, dengan melaksanakan ibadah haji di ‘Arafah, menunjukkan bahwa orang ingin bertobat kepada-Nya, melepas semua kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, dan menghindar dari perbuatan dosa.
Dengan demikian, secara tidak langsung orang sedang berusaha untuk mendapatkan surga di sisi Allah subhânahu wata’âlâ, dan kelak akan memiliki wangi yang harum di dalam surga.
Allah subhânahu wata’âlâ berfirman:
يُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَها لَهُمْ ۞
Artinya, “Dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka.” (Muhammad: 6)
Maksud ayat di atas sebagaimana yang disampaikan Imam Fakhruddin Ar-Razi adalah, sesungguhnya orang-orang yang berdosa ketika bertobat di tanah ‘Arafah, sungguh mereka telah terlepas dari kotoran-kotoran dosa, dan berusaha dengan (ibadah)nya di sisi Allah subhânahu wata’âlâ sehingga akan menjadi jiwa yang harum (terbebas dari dosa dan kesalahan).”
Menurut Ar-Razi, ada delapan alasan di balik penamaan tanggal sembilan Dzulhijah disebut hari Arafah. Pertama, sesungguhnya hari itu merupakan momentum dipertemukannya dua pasangan suami istri yang sudah bersama dalam surga kemudian diusir ke dunia, dan akhirnya oleh Allah subhânahu wata’âlâ pada hari itu dipertemukan di tanah Arafah, Makkah, yaitu pertemuan Nabi Adam ‘alaihissalâm dengan Sayyidah Hawa. Dengan pertemuan itu, keduanya menjadi tahu (‘arafa) antara satu dengan lainnya.
Kedua, Malaikat Jibril mengajarkan tatacara melakukan ibadah haji pada Nabi Adam ‘alaihissalâm, dan ketika sampai di tanah Arafah, Jibril berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah tahu?” Nabi Adam ‘alaihissalâm menjawab, “Iya, tahu.” Karenanya, hari itu dikenal dengan hari ‘Arafah (tahu).
Ketiga, karena pada hari itu Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm mengetahui (‘arafa) kebenaran mimpi menyembelih putranya Ismail ‘alaihissalâm, yang ia alami dan membingungkan itu.
Keempat, di hari itu Malaikat Jibril mengajarkan tentang tatacara melaksanakan ibadah haji kepada Nabi Ibrahim ‘alaihimassalâm, dan membawanya menuju ‘Arafah. Sesampainya di sana, Jibril bertanya, “Apakah engkau tahu tentang cara thawaf dan di mana thawaf dilakukan?” Nabi Adam ‘alaihissalâm menjawab, “Iya, tahu.”
Kelima, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm pergi menuju Syam dan meninggalkan anaknya Nabi Ismail ‘alaihissalâm dan Istrinya Sayyidah Hajar di Makkah. Mereka tidak pernah bertemu selama beberapa tahun, kemudian oleh Allah subhânahu wata’âlâ keduanya dipertemukan tepat pada hari ‘Arafah.
Keenam, disebabkan peristiwa mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm untuk Menyembelih putranya Nabi Ismail ‘alaihissalâm, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dengan pasti dan meyakinkan bahwa mimpinya itu adalah dari Allah subhânahu wata’âlâ, bukan dari setan.
Ketujuh, karena pada hari itu orang-orang yang sedang melakukan ibadah haji menamainya dengan kata ‘Arafah ketika berhenti di tanah ‘Arafah. Maka dinamakanlah sebagai hari ‘Arafah.
Kedelapan, karena pada hari itu Allah memberitahukan (yata’arrafu) dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dengan ampunan (maghfirah) dan rahmat. (Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, juz V, halaman 325).
Keutamaan dan keagungan hari Tarwiyah dan hari ‘Arafah menjadi sangat penting dan perlu dipahami oleh semua umat Islam. Kedua hari tersebut mempunyai nilai yang sangat besar di sisi Allah subhânahu wata’âlâ, sebagaimana firman-Nya:
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ ۞
Artinya, “Demi yang genap dan yang ganjil.” (Al-Fajr: 3)
Syekh Abu Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Ad-Dimisyqi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa maksud ayat di atas adalah hari Tarwiyah dan hari Arafah. Beliau mengatakan dalam kitabnya:
قَالَ ابْنُ عَبَّاس (الشَّفْعِ) يَوْمُ التَّرْوِيَةِ وَعَرَفَةَ (وَالْوَتْرِ) يَوْمُ النَّحْرِ
Artinya, “Ibnu Abbas berkata: ‘(Maksud ayat) “wasy-syaf’i”, yaitu hari Tarwiyah dan hari ‘Arafah, dan maksud ayat “wal-watri”, yaitu hari qurban.” (Abu Hafs Ad-Dimisyqi, Al-Lubâb fi Ulûmil Kitâb [Bairut, Dârul Fikr: 2005), juz III, halaman 418).
Saudaraku yang terkasih, demikianlah sejarah penamaan “Tarwiyah” dan “‘Arafah” yang perlu kita ketahui bersama. Semoga kita mendapatkan limpahan keberkahan atas kemuliaan dan keagungan kedua hari tersebut, karena Allah subhânahu wata’âlâ bersumpah secara langsung di kedua hari itu, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallâhu A’lam.