Abstract
This article discusses one of interpretation styles of the Koran that is quite unique, the Sufi interpretation. As one of the traditions that become an integral part of the history of Islamic civilization, tasawwuf atausufisme, which widely became popular in the Islamic community in the 4th century AH / 10 AD, in turn, are also in contact with the Koran as the main source text in Islam from which is born of a chain of civilization. In particular, this paper will briefly review some of the major themes of the Sufi interpretation, including Sufism contact with the Koran, the early appearance of Sufi interpretation, development, and several major hermeneutical constructions that underlie the Sufi style interpretation.
Tulisan ini membincang salah satu corak tafsir al-Qur’an yang cukup unik, yaitu tafsir sufistik. Sebagai salah satu tradisi yang menjadi bagian integral dari sejarah peradaban Islam, tasawwuf atau sufisme, yang secara luas mulai populer dalam masyarakat Islam pada abad ke-4 H/10 M., pada gilirannya juga bersentuhan dengan al-Qur’an sebagai teks induk dalam Islam yang darinya lahir sebuah mata rantai peradaban. Secara khusus, tulisan ini akan mengulas secara singkat beberapa tema penting dalam tafsir sufistik, mencakup kontak sufisme dengan al-Qur’an, awal kemunculan tafsir sufistik, perkembangan, dan beberapa konstruksi hermeneutis utama yang menjadi landasan dalam tafsir corak sufistik.
Kata Kunci: Tafsir al-Qur’an, Sufisme, Konstruksi Hermeneutis
Pendahuluan
Abdullah al-Darraz mengumpamakan al-Qur’an dengan sebuah batu intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan sudut lainnya.1 Hal tersebut berarti bahwa al-Qur’an merupakan suatu teks suci yang mengandung suatu muatan yang bisa ditinjau dari multi-perspektif. Al-Qur’an merupakan suatu teks “polifonik” yang menghasilkan beberapa seni membaca bagi para pengkajinya. Dalam hal ini, pluralitas tafsir al-Qur’an adalah sebanyak pluralitas penafsir itu sendiri sebagai aktor utama dalam tradisi penafsiran al-Qur’an
Pada gilirannya, dalam leksikon tafsir al-Qur’an, ditemui suatu momen ketika al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi tasawwuf atau sufisme. Hasilnya adalah apa yang kemudian dikenal sebagai tafsir sufi atau sufistik.2 Meskipun cukup kontroversial dan tidak terlalu mendapatkan banyak atensi (little-studied genre) sebagaimana corak mayor tafsir al-Qur’an lainnya, tafsir sufistik merupakan salah satu corak tafsir yang telah diakui keberadaannya sebagai suatu corak yang berdiri sendiri secara utuh. Dalam artian, tradisi tafsir sufistik telah memiliki sebuah skena historis, epistemologi tafsir dan beberapa eksponen yang kemudian menjadikannya pantas disebut sebagai sebuah corak tafsir.
Para penafsir sufistik muncul pada masa periode klasik sejak abad ke-4 H./10 M. dan mencapai puncaknya di abad pertengahan sebelum akhirnya menemui titik deklinasi menjelang abad modern. Dalam hal ini, mereka menyajikan suatu tradisi penafsiran yang cukup unik dengan berdasarkan pada basis asumsi mereka terkait ontologi al-Qur’an, sumber pengetahuan, dan hakikat dari proses menafsir itu sendiri. Beberapa tokoh semisal al-Sulami (w. 412 H./1021 M.), Ibn al-‘Araby (w.638 H./1240 M.), sampai al-Alusi(w. 1854 M.) merupakan beberapa tokoh yang turut serta menyemarakkan tafsir sufistik.
Tulisan ini merupakan sebuah pengantar singkat yang mencoba memotret salah satu fase dalam tradisi penafsiran al-Qur’an ketika ia bersinggungan dengan tradisi sufisme. Tulisan singkat ini akan mengurai kontak dan relasi tafsir al-Qur’an dengan sufisme dan perkembangannya sampai membentuk sebuah corak (genre) tafsir al-Qur’an.
Selayang Pandang Sufisme
Sufisme atau tasawwuf3 dikenal sebagai salah satu tradisi yang mewakili aspek esoteris dan mistisisme dalam Islam. Ia merupakan sebuah tradisi yang menentang seluruh tendensi eksoteris yang mereduksi ajaran Islam menjadi hanya sekedar agama literal dan legalistik belaka. Secara illustratif, jika tradisi eksoteris hanya berkutat pada sekedar pelaksanaan regulasi keagamaan yang diterjemahkan adalah praktik individual maupun komunal, maka tradisi esoteris adalah sebuah kontemplasi langsung terkait realitas spiritual dan ketuhanan yang salah satunya diterjemahkan dalam regulasi keagamaan tersebut.
Menurut Henry Corbin, kata sufi sendiri mulai dikenal pada abad ke-3 H. Ia merupakan suatu kata yang pertama kali disematkan kepada seorang anggota kelompok mistis Syi’ah di Kufah yang bernama “Abdakal-Sufy” (w. 210 H./825 M).4 Pendapat lain menyatakan bahwa kata sufi telah dikenal sebelumnya pada abad ke-2 H. Orang pertama yang dikenal sebagai sufi adalah Abu Hasyim al-Sufi (w. 150 H).5 Hal ini juga diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sejak abad ke 2 H./8 M. telah muncul suatu gerakan dengan tendensi anti-pemerintahan dan anti-sosial yang konon dikenal dengan nama al-sufiyyah. Mereka merintis sebuah relasi yang sensitif dengan Tuhan dan mengembangkan konsep cinta kepada Tuhan.6
Sufisme sebagai aliran mistis dan asketis7 mulai menjadi sebuahtrend pada masa awal Imperium Abbasiah bersamaan dengan munculnya gerakan esoteris di wilayah Syiria, Iran dan Asia Tengah yang dengan nama-nama yang berbeda. Di Khurasan dan wilayah Transaxonia misalnya, seorang yang menekuni mistisisme disebut al-hakim (bijak bestari) atau al-‘arif (orang yang makrifat kepada Tuhan). Selanjutnya, mulai abad ke-4 H./10 M gerakan asketisme Islam mulai terkonsentrasi di wilayah Irak terutama di Baghdad. Sejak itulah tradisi tasawwuf mulai diterima sebagai suatu tradisi yang tersendiri dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Semenjak abad ke-4 H. tradisi sufisme terus berkembang. Di akhir abad ini, beberapa doktrin fundamental dalam sufisme mulai terbentuk, disusul dengan berkembangnya beberapa praktek ritual tertentu. Hal tersebut kemudian menjadi sebuah orientasi kehidupan, etos dan akhirnya menjadi identitas bagi generasi selanjutnya. Dengan bermunculannya beberapa tariqat (sufi order) pada abad ke-5 s.d. 7 H./11 sd. 13 M., sufisme kemudian menjadi suatu bagian integral dari kehidupan spiritual, sosial dan politik di kalangan umat Islam pra-modern. Namun seiring dengan kemunculan modernisme Islam pada abad ke-13 H./19 M., sufisme menuai banyak kritik dari para reformis Islam dan menemukan titik deklinasinya menjelang abad modern.8
Dalam perjalanannya, doktrin sufisme telah melewati beberapa tahap perkembangan. Meskipun pada awalnya ia hanya berupa gerakan asketisme murni yang melawan tendensi eksoteris, namun dalam perkembangannya ia mengalami berbagai asimilasi dan hibrida dengan tradisi lainnya. Pada gilirannya sufisme berasimilasi terutama dengan tradisi falsafah. Sejak tahap ini, sufisme kemudian menjadi suatu keilmuan yang teoritis, terkodifikasi dan bercorak filosofis.
Al-Qur’an dan Sufisme: Eisegesis atau Exegesis ?
Terdapat beberapa penjelasan terkait kontak dan relasi antara teks al-Qur’an dengan tradisi sufisme. Pada dasarnya al-Qur’an merupakan sumber kontemplasi dan inspirasi yang utama bagi kelompok muslim asketis, baik ia sufi secara formal atau tidak.9 Namun dalam tahapan teknisnya, terdapat dua asumsi yang berbeda, sebagian menyatakan bahwa kontak sufisme dengan teks al-Qur’an adalah eisegesis (dari gagasan ke teks) sebagian lagi mengatakan exegesis (dari teks ke gagasan).10
Ignaz Goldziher mengatakan bahwa tradisi tafsir sufi termasuk ke dalam kategori eisegesis. Ia berkeyakinan bahwa doktrin sufisme bukan merupakan ide yang bersifat Qur’ani, melainkan lebih terpengaruh oleh gagasan Neo-Platonis. Kaum sufi, menurutnya hanya sekedar mencari basis untuk memperkuat doktrin yang mereka yakini. Ia bahan berkesimpulan bahwa apa yang sebenarnya dilakukan oleh kaum sufi adalah merekonsiliasi perbedaan doktrinal tersebut dan melegalisasi doktrin mereka dalam dunia Islam melalui metode allegoris dalam penafsiran al-Qur’an.11
Tesis Goldziher tersebut kemudian dibantah oleh Louis Massignon. Setelah melakukan penelitian terkait nomenklatur dalam tradisi sufisme awal, ia berkesimpulan bahwa sufisme adalah manifestasi dari al-Qur’an itu sendiri yang dibaca, direfleksikan dan diamalkan. Hal tersebut dengan sendirinya merupakan sumber dari doktrin sufisme. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Paul Nwyia yang meneliti sebuah Tafsir yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Sadiq (w. 765 M.). Ia berkesimpuan bahwa tafsir tersebut merupakan hasil dari dialog antara dirinya, pengalaman mistik dan teks al-Qur’an.12 Massignon dan Nwyia menegaskan bahwa teks al-Qur’an merupakan titik tolak; bahwa gagasan sufistik tidak muncul lebih awal sebelum teks al-Qur’an, melainkan merupakan hasil dialog dengan teks al-Qur’an dan pengalaman mistikal masing-masing.
Dua Varian Tafsir Sufistik
Sebuah perspektif lain terkait kontak teks al-Qur’an dengan sufisme ditawarkan oleh Hussein al-Z|ahabi. Menurutnya kontak antara keduanya berlangsung dalam aktivitas exegesis dan eisegesis sekaligus. Kesimpulan ini ia dapatkan setelah menemukan dua varian utama dalam tradisi tafsir sufistik. Ia membagi sufisme atau tasawwuf ke dalam dua ragam; tasawwuf nazari (teoritis) dan tasawwuf ‘amaly (praktis).13
Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Abu al-Wafa al-Taftazani14 yang menyebutkan adanya dua varian orientasi sufisme yang berkembang mulai abad ke-3 dan 4 Hijriyah ketika status sufisme bergeser dari praktek asketis murni kepada suatu wacana keilmuan yang terkodifikasi. Orientasi pertama adalah aliran tasawuf moderat (mu’tadilun) yang melandaskan doktrinnya dengan konfirmasi kepada teks atau ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini selanjutnya dikenal dengan tasawuf sunny karena para sufi aliran ini mayoritas berasal dari mazhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah atau disebut juga tasawuf akhlaqy karena didominasi dengan karakteristik moralitas. Salah satu perwakilan aliran ini adalah Junaid al-Bagdady (w. 298 H). Selanjutnya, orientasi ini terus berkembang di abad ke-5 H dengan al-Qusyairy (w. 465 H) dan al-Ghazali (w. 505 H.) sebagai pemukanya.
Orientasi lainnya adalah aliran tasawuf semi-filosofis (syibh falsafy) yang terpesona dengan konsep fana (annihilation) dan mengembangkan konsep terkait hubungan manusia dengan Tuhan seperti hulul. Tokoh utama aliran ini adalah Abu Yazidal-Bustamy (w. 261 H.) dan al-Hallaj (w. 301 H.). Memasuki abad ke-5 dan 6 H. orientasi ini kemudian menjadi lebih filosofis dengan masuknya pengaruh ajaran filsafat neo-platonisme. Dalam hal ini, orientasi yang semi-filosofis menjadi seluruhnya filosofis, sehingga disebut dengan tasawwuf falsafy. Ia merupakan suatu aliran sufisme yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat.15 Suhrawardi (w. 578 H.) dengan ajaran isyraqiyyah (illuminasi) dan Ibnu al-‘Araby (w. 638 H.) dengan teori wahdatul wujud (kesatuan eksistensi) merupakan perwakilan varian ini.
Kedua varian ini kemudian juga bersentuhan dengan tradisi tafsir al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan al-Z|ahaby, terdapat dua varian dalam corak tafsir sufistik; tafsir sufi nazari dan sufi isyari atau faidly.16 Dalam kasus tafsir sufi nazari, seorang sufi terlebih dahulu membangun doktrin sufismenya secara teoritis, kemudian ia mencari ayat al-Qur’an dan memproduksi sebuah tafsir yang sesuai dengan pandangan tersebut. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Ibnu al-‘Araby. Adapun dalam kasus tafsir sufi isyari, seorang sufi menakwilkan ayat al-Qur’an dengan berdasar kepada beberapa simbol/allegori tersembunyi (isyarat khafiyyat) yang hanya bisa dicapai oleh para pengembara rohani (salik).17Kontras dengan varian sebelumnya, dalam kasus ini, seorang sufi berusaha mendeterminasi makna suatu ayat dengan proses asketis tertentu sampai pada tahap kasyaf, tanpa didahului oleh suatu teori tertentu. Di antara eksponen tradisi ini adalah Sahlal-Tustari (w. 283 H.).
a. Tasawwuf Nazari/Falsafy
Tasawwuf nazari merupakan suatu tradisi yang berdiri di atas landasan teoritis. Salah satu tokohnya adalah Ibn al-‘Araby yang memiliki ajaran bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa yang benar-benar eksis adalah mutlak satu dan sama. Semua kejamakan di alam realitas baik yang indrawi maupun intelektual hanyalah semata mata ilusi fikiran. Menurut Mehdi Hairi Yazdi, ajaran wahdatal-wujud tidak sama dengan panteisme. Ia merupakan semacam mono-realistik yang menganut pandangan ketidakberagaman dan meyakini sempurnanya ketunggalan realitas.18 Dalam hal ini, wujud Tuhan dan manusia bukan berarti sama dalam arti mutlak, namun dalam arti yang tidak adanya jarak antar keduanya.
Keterpengaruhan tersebut misalnya bisa dilihat dalam penafsiran Ibnu al-‘Araby terhadap QS. al-Fajr: 27-30 dalam kitab Fusus al-Hikam berikut ini:19
وكذلك كل نفس مطمئنة قيل لها (ارجعي الى ربك) فما أمرها ان ترجع الا الى ربها الذي دعاها فعرفته من الكل ، (راضية مرضية) (فادخلي في عبادي) من حيث ما لهم هذا المقام . فالعباد المذكورون هنا كل عبد عرف ربه تعالى واقتصر اليه ولم ينظر الى رب غيره مع أحديته العين . (وادخلي جنتي) التي بها ستري . وليست جنتي سواك فأنت تسترني بذاتك . فلا أعرف الا بك كما أنك لاتكون الا بي . فمن عرفك عرفني وأنا لاأعرف فأنت لاتعرف
“dan demikian halnya dengan setiap jiwa-jiwa yang tenang, dikatakan kepada mereka: ‘kembalilah kepada Tuhanmu’. Mereka hanya akan kembali kepada Tuhan yang memanggilnya, sehingga mereka akan sepenuhnya mengetahui Tuhan, ‘dalam keadaan ridha dan diridhai’, ‘maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku’ dalam tempat yang selayaknya bagi mereka. Hamba-hamba tersebut adalah setiap hamba yang mengenali Tuhan-nya yang hanya menyembah kepada-Nya dan tidak melihat Tuhan selain-Nya dalam ke-esa-an dzat-Nya. ‘Masuklah ke dalam surga-Ku’ yang dengannya Aku tertutupi. Dan surga-Ku tiada lain adalah dirimu, hanya saja kamu menutupiku dengan dirimu. Aku tidak akan diketahui oleh selain dirimu, sebagaimana kamu tidak akan ada kecuali dengan sebab (penciptaan)-ku. Maka siapa saja yang mengetahuimu, maka ia akan mengetahui-Ku, dan jika Aku tidak diketahui maka kamu tidak akan diketahui… ”
b. Tasawwuf ‘Amaly/Faydy
Adapun tasawwuf ‘amaly mengacu pada praktek asketis murni. Secara operasional, tafsir faydy atau disebut juga dengan tafsir isyari adalah mentakwilkan ayat al-Qur’an dengan berdasar kepada beberapa simbol/allegori tersembunyi (isyarat khafiyyat) yang hanya bisa dicapai oleh para pengembara rohani.20 Kontras dengan varian sebelumnya, dalam kasus ini, seorang sufi berusaha mendeterminasi makna suatu ayat dengan praktek asketis tertentu sampai pada tahap kasyf, tanpa didahului oleh suatu teori tertentu.
Di antara tokoh utama dalam tradisi ini adalah Sahlal-Tustari. Model tafsir Isyari bisa terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. al-Rum: 41 berikut ini:21
ظهر الفساد فِي البر والبحر . قال : مثل الله تعالى الجوارح بالبر ، ومثل القلب بالبحر ، وهم أعم نفعاً وأكثر خطراً ، هذا باطن الآية
“(Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan). Al-Tustari berkata: ‘Allah mengumpamakan anggota badan dengan daratan dan hati dengan lautan keduanya merupakan yang paling banyak memiliki manfaat sekalipun juga paling banyak membawa madharat, inilah makna esoteris (batin) dari ayat ini …” 22
Dalam varian pertama (tasawwuf nazari), menurut al-Zahaby, yang terjadi adalah pola eisegesis. Sedangkan dalam kasus kedua (tasawwuf ‘amaly), yang terjadi adalah exegesis. Meski demikian untuk menentukan apakah suatu tafsir dihasilkan dari pola eisegesis atau exegesis, bukanlah tugas yang mudah. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kronologi historis seorang mufassir dalam mengarang tafsir; mana yang lebih dahulu antara membangun teori sufisme atau mengarang tafsir. Jika seorang sufi falsafi membangun teorinya seusai mengarang tafsir, maka yang terjadi adalah sebaliknya, ia telah menafsirkan al-Qur’an justru dalam pola exegesis.
Periodisasi Tafsir Sufistik
Tafsir sufistik harus dibedakan menjadi dua pemaknaan; tafsir sebagai suatu komentar lepas23 dan tafsir sebagai suatu kitab tafsir dengan format reguler.24 Menurut para pakar, kitab tafsir sufistik tertua yang sampai kepada kita adalah Tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya Sahl al-Tustari (w. 283 H.).25 Selain itu juga terdapat tafsir sufistik sebagai sebuah komentar lepas, berupa riwayat yang dimuat dalam karya yang tidak berbentuk format kitab tafsir yang dimulai sejak abad ke-2 H. Periodisasi yang populer dewasa ini misanya ditunjukan oleh Gerhard Bowering yang membagi fase tafsir sufistik menjadi lima periode:26
a. Fase formatif (abad ke-2 H./4 M sampai 8 H./10 M.)
Fase ini terbagi menjadi dua tahap; Pertama dimulai dari tiga tokoh utama, Hasan al-Basri (w. 110 H./728 M.), Ja’far al-Sadiq (148 H./765 M.), dan Sufyan al-S|aury (161 H./778 M.) dan kedua dimulai pada masa al-Sulami, penulis kitab Haqaiq al-Tafsir, (w. 412 H./1021 M.) dan tujuh sumber rujukan utamanya, yaitu Dzun Nun al-Misry (w. 246 H./841 M.), Sahl al-Tustary (w. 283 H./896 M), Abu Sa’id al-Kharraj (w. 286 H/899 M), al-Junayd (w. 298 H./910 M), Ibn ‘Athaal-‘Adami (w. 311 H./923 M), Abu Bakral-Wasity (w. 320 H./932 M), dan al-Syibli (w. 334 H/946 M).
b. Fase kedua (abad ke-5 H./11 M. sd. 7 H./13 M.)
Fase ini mencakup tiga varian tafsir sufistik yang berbeda; (1) Tafsir sufistik moderat, yaitu tafsir sufistik yang mencantumkan hadis Nabi, asar sahabat, perkataan para mufassir sebelumnya, aspek gramatikal dan latar ayat. Contoh tafsir jenis ini adalah al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, karya Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427H./1035 M), Lataif al-Isyarat karya al-Qusyairy (w. 465 H./1074 M), dll. (2) Tafsir sufistik yang mensyarahi Tafsir al-Sulamy seperti Futuh al-Rahman fi Isyarat al-Qur’an, karya Abu Tsabit al-Dailamy (w. 598 H./1183 M) serta tafsir serupa, dan (3) Tafsir Sufistik berbahasa Persia seperti Kasyf al-Asrar wa ‘Uddat al-Abrar karya al-Maybudi (w. 530 H./1135 M.)
c. Fase tafsir “mazhab sufi” (abad ke-7 H./13 sd. abad ke-8 H./14 M.)
Pada masa ini muncul dua tokoh sufi kenamaan yaitu Najm al-din Kubra (w. 618 H./1221 M) pengarang al-Ta’wilat al-Najmiyyah dan Ibn al-‘Araby (638 H./1240 M.) pengarang kitab al-Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam. Keduanya kemudian membentuk madrasah tafsir masing-masing, mazhab Kubrawiyyun dan mazhab Ibn al-‘Arabi. Di antara eksponen mazhab Kubrawiyyun adalah Nizam al-din Hasan al-Naisaburi (w. 728 H./1327 M) pengarang Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan. Sedangkan perwakilan mazhab Ibn ‘Araby adalah Ibn Barrajan al-Andalusy (w. 536 H./1141 M.) pengarang al-Irsyad fi Tafsir al-Qur’an.
d. Fase Turki Usmani (abad ke-9 H./15 M. sd. 12 H./18 M.)
Fase ini menampilkan beberapa kitab tafsir yang ditulis di India selama kepemimpinan Turki Usmani dan Timurid. Di antara tafsir yang diproduksi pada masa ini adalah Tafsir-I Multaqat karya Khwajah Bandah Nawaz (w. 825 H./1422 M), Mawahib-i ‘Aliya, karya Kamaluddin Hussein al-Kasyifi (w. 910 H./1504 M.) dan Ruh al-Bayan karya Ismail Haqqi Bursevi (w. 1137 H./1725 M).
e. Fase kelima (abad ke-13 H./19 M sampai sekarang) Beberapa karya tafsir sufistik yang terkenal pada masa ini adalah al-Bahr al-Madid, karya Ahmad Ibn Ajiba (w. 1224/1809 M.), Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-A’zim wa Sab’ al-Matsani, karya Syihab al-Din al-Alusi (w. 1854 M) dan Bayan al-Ma’ani ‘ala Hasb Tartib al-Nuzul, karya Mulla Huwaysh.
Sumber Tafsir Sufistik
Tafsir sufistik bersumber dari tradisi sufisme itu sendiri. Terdapat dua tesis terkait asal usul sufisme. Pertama mengatakan bahwa sufisme berasal dari tradisi di luar Islam yaitu tradisi Persia, Hindu, Filsafat Neo-Platonis dan Tradisi Gnosis Kristen. Sebagian lagi membantah tesis tersebut bahwa sufisme merupakan tradisi asli yang dimiliki umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya silsilah spiritual yang tersambung langsung kepada Rasulullah. Selain itu, secara konsekuen, beberapa doktrin sufisme berasal dari ajaran Rasulullah yang secara langsung dijelaskan oleh Rasulullah.27
Arti penting dari sufisme terletak pada dualisme esoteris dam eksoteris dan kontemplasi langsung akan realitas ketuhanan. Dengan demikian sumber utama dari aktivitas sufisme adalah intuisi sebagai instrumen untuk berkontemplasi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kontemplasi ini berbeda dengan manifestasi mental keagamaan lainnya. Dalam sufisme ada suatu level di mana fakultas mental tidak bisa berfungsi seperti halnya ketika seorang sufi mengalami jadzab (divine attraction) yang tidak akan bisa mengungkapkan pengalamannya dalam kata-kata.
Meski demikian pengalaman intuitif ini pada akhirnya juga bersentuhan dengan pengalaman kognitif lainnya, terutama dengan tradisi falsafah. Hal ini kemudian mengantarkan sufisme sampai pada sebuah asimilasi kreatif yang kemudian melahirkan istilah semacam sufi falsafi/Nazari, teosofi (hikmah ilahiyyah), sampai kepada prophetic philosophy. Maka tak heran jika Henry Corbin, seorang orientalis yang getol meneliti filsafat dan mistisisme Islam memasukkan sufisme, teosofi (hikmah), ajaran imamah Syi’ah dan ilmu kalam sebagai keluarga besar Filsafat Islam.28
Dengan demikian, sumber utama tafsir sufistik terbagi menjadi dua; intuisi sebagai instrumen internal dan tradisi kontemplatif lainnya, terutama falsafah sebagai instrumen eksternal. Keduanya berasimilasi sehingga melahirkan dua varian sufisme sebagaimana dijelaskan al-Zahaby sebelumnya.
Landasan Epistemologis Tafsir Sufistik
a. Dualisme level teks: eksoteris (zahir) dan esoteris (batin)
Konsep tentang kategorisasi makna al-Qur’an menjadi eksoteris (zahir) dan esoteris (batin) merupakan suatu konsep yang mendasar dalam tradisi tafsir sufistik. Tradisi tafsir sufi baik yang nazari atau isyari, berawal dari beberapa pondasi utama; bahwa al-Qur’an memuat beberapa level makna, manusia memiliki potensi untuk menyingkap makna tersebut, dan tugas penafsiran adalah tidak terbatas.29 Pembedaan makna zahir dan batin merupakan suatu landasan epistemologis yang mendasar dalam tafsir mereka.
Meskipun konsep dualisme level ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an, namun ia ditegaskan oleh beberapa hadis dan perkataan para sahabat. Di antara hadis yang berbicara terkait hal tersebut adalah hadis Ibn Mas’ud berikut ini:
أنزل القرآن على سبعة أحرف لكل آية منها ظهر وبطن
“Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, setiap ayatnya memiliki makna eksoteris (zahr) dan esoteris (batn).”30
Hadits ini merupakan hadis yang sangat populer dalam tradisi sufisme, Syi’ah dan kelompok Isma’iliyyah. Ia kemudian menjadi inspirasi bagi pergerakan kaum esoteris dalam tradisi pemikiran Islam, termasuk dalam konteks tafsir al-Qur’an. Beberapa kitab tafsir sufistik seperti Haqaiq al-Tafsir,31 Ruh al-Ma’ani,32 danRuh al-Bayan,33 secara langsung mengutip hadis tersebut sebagai landasan pengarangnya dalam menafsirkan suatu ayat. Dalam hal ini, Sahl al-Tustari juga seringkali memakai redaksi “hadza baathin al-ayat” ketika mengidentifikasi makna esoteris suatu ayat.34
b. Konsep Muhkam dan Mutasyabbih
Persoalan Muhkam-Mutasyabih merupakan salah satu pesoalan yang paling banyak memicu perdebatan. Dalam perpektif Ulum al-Qur’an, muhkam adalah suatu kata yang memiliki indikasi yang ekspisit dalam menunjukan maknanya. Sekai waktu ia juga difahami sebagai suatu ayat yang tidak menerima nasakh dan sebagai ayat yang hanya memiliki satu alternatif pemaknaan. Sedangkan mutasyabih merupakan suatu kata yang memiliki indikasi makna yang tidak jelas, dan memuat beberapa alternatif pemakaan.35 Dalam hal ini mutsyabih biasanya dimaknai degan kata yang ekuivokal, sebagai lawan dari yang univokal.
Perdebatan terkait polemik ini juga merupakan landasan utama yang membangun tradisi tafsir sufistik. Dari konsep ini kemudian muncul adanya suatu makna tertentu yang hanya bisa diketahui oleh orang tertentu juga (al-rasikhun fi al-‘ilm) berdasarkan QS. Ali Imran: 7. Hal ini tentu saja memperkuat landasan sebelumnya bahwa teks Al-Qur’an memiliki makna yang berlapis. Dalam konteks inilah para sufi mencoba menguak makna terdalam ayat-ayat al-Qur’an.
c. Menemukan Makna: Relasi Pengetahuan dan Praktik Spiritual
Setelah dualisme level makna teks, kemudian untuk mencapai makna esoteris, kaum sufi berkeyakinan adanya relasi komplementer antara penyingkapan pengetahuan dengan praktik spiritual. Basis dari tradisi tafsir sufisme terakhir adalah adanya keyakinan bahwa untuk menemukan makna terdalam al-Qur’an yang sejati bisa dicapai dengan praktik keagamaan yang sungguh sungguh.
Abu Nasr al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Kristin Zahra, dalam al-Luma’, misalnya, mengatakan bahwa kualitas seorang sufi ditentukan oleh pengamalannya (isti’mal) terhadap isi kandungan al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang kemudian akan menciptakan sebuah perkataan dan tindakan yang luhur.36 Selain itu, para sufi juga harus memiliki pengetahuan terkait jiwa (al-nafs) untuk dengan sebaik baiknya dari segala penyakit hati. Dengan demikian, purifikasi hati dalam tradisi sufi menempati salah satu posisi yang utama, terlebih ketika ia akan menafsirkan al-Qur’an.
Landasan Operasional
Ada empat istilah yang harus disebutkan di sini, yaitu tafsir, takwil, ‘ibarah dan isyarah. Keempat istilah teknis ini merujuk kepada instrumen dalam mengungkap makna al-Qu’an. Dalam mayoritas litertur ulum al-Qur’an, istilah yang merujuk kepada aktivitas interpretasi al-Qur’an adalah tafsir dan ta’wil. Kedua terma ini juga terdapat dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.37 Dalam kaitannya dengan tradisi penafsiran al-Qur’an, sebagian ulama memandang bahwa tidak ada perbedaan antara kedua term tersebut, sementara yang lain mengatakan sebaliknya.38
Bagi yang membedakan, tafsir merujuk pada penjelasan eksternal dari al-Qur’an. Tafsir secara praktis berkaitan misalnya dengan ilmu asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, makkiyyah-madaniyyah, dan cabang ilmu semacamnya. Sedangkan ta’wil merujuk pada penjelasan secara langsung terhadap makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an.39 Dalam hal ini, relasi tafsir dan ta’wil adalah relasi umum-khusus. Tafsir merupakan salah satu bagian operasional dari ta’wil. Ta’wil berhubungan dengan penggalian makna-makna terdalam (istinbat) ayat al-Qur’an, sedangkan tafsir berhubungan dengan aspek transmisional dalam menjelaskan ayat al-Qur’an.
Dua istilah lain yang tidak kalah penting adalah ‘Ibarah dan Isyarah. ‘Ibarah berarti suatu model eksplanasi atau ungkapan tersirat, sedangkan Isyarah berarti ungkapan simbolik/allegoris. Kedua istilah ini memiliki kaitan erat dengan kedua istilah sebelumnya. ‘Ibarah berarti sebuah ungkapan yang menginformasikan makna eksoteris (zahir) yang tersurat dan telah ditentukan. Sedangkan isyarah suatu model ungkapan yang hanya berfungsi sebagai simbol akan adanya suatu makna yang tidak ditentukan (duna tahdidin maqsudin). Hal ini dikarenakan bahasa al-Qur’an merupakan suatu simbol yang menjadi mediator antara eksistensi Tuhan dan manusia.40 Dalam hal ini, tugas tafsir sufistik terpusat pada penelusuran isyarat tersebut dalam menemukan makna makna terdalam al-Qur’an.
Dengan demikian, berdasarkan keempat terminologi di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi tafsir sufstik, secara operasional berlandaskan kepada kinerja takwil yang bertujuan menelusuri isyarat-isyarat makna yang terkandung dalam makna al-Qur’an.
Kesimpulan
Tafsir sufistik sebagai sebuah corak tafsir merupakan suatu hasil kontak antara tradisi sufisme, sebagai sebuah gerakan esoterisme dalam Islam yang berkembang terutama sejak abad ke-4 H. Terdapat dua varian utama tafsir sufistik; tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari. Secara prinsipil, konstruksi tafsir sufistik berdiri di atas beberapa landasan berikut ini; dualisme makna al-Qur’an; eksoteris dan esoteris, konsep muhkam dan mutasyabih, dan relasi antara pengetahuan dengan praktis spiritual. Secara operasional, tafsir sufistik bertujuan mengungkap beberapa simbol (isyarat) makna dalam al-Qur’an lewat suatu interpretasi yang mendalam (ta’wil).
Endnotes:
[1]. Abdullah al-Darraz, al-Naba’ al-‘Azim, (Kairo: Daral-‘Urubah, 1996), h. 111. [2]. Untuk lebih memperjelas terminologi, selanjutnya penulis memilih menggunakan istilah sufistik yang menunjukan kepada sebuah epistemologi dan preskripsi ideologis, bukan istilah sufi yang merupakan sebutan bagi suatu subyek atau komunitas sufi tertentu. [3]. Berdasarkan perspektif etimologis yang populer, kata tasawwuf yang seakar dengan katasufi, berasal dari kata bahasa Arab al-suf, yang berarti kain wool. Ketika itu kelompok ini menolak untuk berpenampilan glamor dan memakai baju yang terbat dari kain wool sebagai identitas mereka. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pada masa formatif tersebut, banyak kaum asketis dari kalangan Yahudi dan Kristiani yang juga hanya menutupi badanya dengan wool, seperti ketika melakukan ritual pembaptisan di gurun (the baptist in the dessert). Sebagian juga mengatakan kata tersebut berasal dari kata al-safa yang berarti bersih atau suci. Pendapat lain seperti yang dinyatakan Al-Biruni, menyatakan kata sufi merupakan transposisi dari kata berbahasa Yunani sophos, yang berarti orang bijak (sage). Lihat Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine, (Indiana: World Wisdom, 2008), h. 3. [4]. Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. Liadain Sherrard, (London: The Institute of Ismaili Studies, tth.) h. 189. [5]. Lihat Muhammad Hussein al-Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2 (Kairo: Maktabah Wahbiyyah, ttp.), h. 251. [6]. L. Massignon, “Tasawwuf: Early Development in The Arabic and Persian Lands”, dalam PJ. Berman, dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, Vol 10 (Leiden: Brill, 1998), h. 314. [7]. Asketisme (al-zuhd), sebuah gaya hidup yang telah ditemui sejak masa sahabat, seperti diwakili oleh Abu Z|arral-Ghifary (w. 22 H.) dan Salman al-Farisi (w. 32 H.), merupakan cikal bakal tasawwuf. Asketisme tersebar luas sejak abad pertama dan kedua Hijryah di beberapa pusat kota seperti di Madinah, Basrah dan Kufah. Hasan al-Basry (w. 110 H.) dari Basrah dan Sufyanal-S|aury (w. 161 H.) dari Kufah merupakan contoh tokoh asketis yang terkenal ketika itu. Lihat: Abu al-Wafaal-Taftazany, al-Madkhal li al-Tasawwuf al-Islamy, (Kairo: Darla-Tsaqafahlial-Nasyrwaal-Tauzi’, tth.), h. 57-78. [8]. Lihat: Alexander D Knysh, “Sufism and The Qur’an” dalam Jane Dammen Mc Auliffe (ed.), Encyclopedia of The Qur’an, Vol 4, (Leiden: Brill, 2009), h. 137. [9]. Alexander D. Knysh, “Sufismand The Qur’an”,.., vol. 4, h. 137. [10]. Dalam wacana interpretasi, terdapat dua polarisasi utama yang berkembang eisegesis dan exegesis. Eisegesis –disebut juga dengan reading into– adalah membaca suatu teks secara bias dengan memasukan gagasan seseorang ke dalamnya. Sedangkan exegesis adalah kebalikannya, yakni mencoba melakukan eksposisi dan eksplanasi secara kritis dalam menginterpretasi sebuah teks. Lihat www.meriam-webster.com, diakses 24 Desember 2014. [11]. Lihat Ignaz Goldzier, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk., (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009), h. 217-218. [12]. Lihat: Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an In Classical Islam (London: Routlege, tth.), h. 1. [13]. Lihat: Muhammad Hussein al-Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz. 2, h. 251. [14]. Abu al-Wafa al-Taftazany, al-Madkhal li al-Tasawwufal-Islamy, …., h. 99-143. [15]. Abu al-Wafa al-Taftazany, al-Madkhal li al-Tasawwufal-Islamy …., h. 185. [16]. al-Tafsir wa al-Mufassirun, … juz. 2, h. 261. [17]. Ibid. [18]. Lihat: Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003), h. 65. [19]. Muhyiddin Ibn al-‘Araby, Fusus al-Hikam, (Beirut: Daral-Kitabal-‘Araby, 1946), h. 75. [20]. Muhammad Husseinal Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, … juz. 2, h. 261 . [21]. Sahalal-Tustari, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Kairo: Dar al-Hirm, tth.), h. 218. [22]. Lihat: Muhammad Hussein al-Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, .. , juz. 2, h. 270. [23]. Dalam hal ini, “tafsir” diposisikan sebagai suatu term yang tidak dibebani oleh suatu batasan, kaidah/formula tertentu, penjelasan tema atau masalah, karena ia bukan merupakan kaidah atau sesuatu yang lahir dari aplikasi kaidah-kaidah. Dengan demikian, untuk menjelaskan tafsir cukup dengan mengatakan: ”.. menjelaskan kalamullah,. Dalam hal ini, tafsir tidak melulu berbentuk kitab tafsir dengan format khusus sebagaimana kitab tafsir pada umumnya. Lihat Amin Al-Khuly, Manahij Al-Tajdid, (Kairo: Dar al-Ma’rifat, tt), h. 271. [24]. Kitab yang secara khusus memuat tafsir al-Qur’an seperti halnya Tafsir al-Tabary, Ibn Katsir, Mafatih al-Ghayb, dll. Selain itu, terdapat suatu karya yang tidak dikemas dalam format kitab tafsir, namun di dalamnya memuat beberapa tafsir terhadap ayat al-Qur’an, kitab Fusus al-Hikam karya Ibn al-‘Araby merupakan contoh jenis tafsir ini. [25]. Lihat: Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical Islam, h. 68. [26]. Alan Godlas, “Sufism” dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwall Companion to The Qur’an, (Blackwell Publishing, 2006), h. 350-360. [27]. Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine,.., h. 64. [28]. Lihat: Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, …., h.xv-xvii. [29]. Lihat: Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical Islam. [30]. Sahih Ibn Hibban, no. 75. [31]. Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulamy, Haqaiq al-Tafsir, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), h. 21. [32]. Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz I (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, tt), h. 7. [33]. Isma’il Haqqy al-Istanbuly, Ruh al-Bayan, Juz I (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, tth.), h. 62. [34]. Sahal al-Tustari, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, …., h.131, 218, dan 235. [35]. Abd al-‘Azhim al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-’ilmiyah, 2010), h. 422-424. [36]. Lihat: Kristin Zahra Sand, Sufi Commentaries…, h. 29. [37]. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kata ta’wil disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali dengan makna yang beragam, sedangkan kata tafsir hanya sekali disebutkan. Umat Islam misalnya mengenal kata ta’wil dalam al-Qur’an sebagai ta’wil al-ahadits (interpertasi mimpi) dalam cerita Nabi Yusuf (Q.S. Yusuf: 6, 32, 44, 100, dst.), al-kasyf ‘an dilalat al-af’al (penyingkapan terhadap indikasi-indikasi yang tersembunyi) dalam cerita Nabi Musa dan Khidir (Q.S. Al-Kahfi: 78-82), al-‘audati asl al-syai (mengembalikan asal muasal sesuatu) dalam Q.S. Ali Imran: 1, dst. Adapun pemaknaan kata tafsir yang disebutkan satu kali dalam al-Qur’an merujuk pada “penjelasan” (al-Furqan: 33). Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass: Dirasat fi ‘Ulumal-Qur’an, (Kairo: Al-Hay’ah al-‘Ammah li al-Kutub, 1990), h. 256. [38]. Meskpun demikian, secara semantik, kedua term ini memiliki suatu perbedaan dalam aspek praktis. Kata tafsir dalam praksisnya membutuhkan kepada al-tafsirah, suatu mediator yang digunakan sebagai suatu bahan pemikiran oleh seorang mufasssir untuk bisa menyingkap apa yang ia kehendaki. Sedangkan kata takwil tidak membutuhkan hal tersebut, hubungannya dengan objek adalah hubungan langsung (‘alaqah mubasyarah). Lihat Mafhum al-Nass: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 262-263. [39]. Lihat Badral-Dinal-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz II (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa al-Baby al-Halaby, 1957), h. 148. [40]. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wil, (Beirut: Daral-Wahdah, 1983), h. 266-267.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamid. Mafhum al-Nass: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. (Kairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li al-Kutub. 1990.)
————. Falsafat al-Ta’wil. (Beirut: Daral-Wahdah. 1983)
Al-Alusi, Mahmud. Ruh al-Ma’ani. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, tt.)
Al-Darraz, Abdullah. Al-Naba’ al-‘Azim. (Kairo: Daral-‘Urubah. 1996)
Al-Istanbuly, Isma’il Haqqy. Ruh al-Bayan. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby. Tt.)
Al-Sulamy, Abu ‘Abd al-Rahman. Haqaiqal-Tafsir. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2001)
Al-Taftazany, Abu al-Wafa. Al-Madkhal li al-Tasawwuf al-Islamy. (Kairo: Dar al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi’. Tt)
Al-Tustari, Sahal.Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. (Kairo: Dar al-Hir li al-Turats, tt.)
Al-Zahaby, Muhammad Hussein. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. (Kairo: Maktabah Wahbiyyah. Tt.)
Al-Zarkasyi, Badr al-Din. Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa al-Baby al-Halaby. 1957)
Al-Zarqany, Abdal-‘Azhim. Manahil al-‘Irfan. (Beirut: Dar al-Kutub al-’ilmiyah. 2010)
Bearman, PJ. dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, (Leiden: Brill, 1998)
Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. (Indiana: World Wisdom. 2008)
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, terj. Liadain Sherrard. (London: The Institute of Ismaili Studies, tt.)
Goldzhier, Ignaz. Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj.
Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2009)
Ibn al-‘Araby, Muhyiddin. Fusus al-Hikam, (Beirut: Daral-Kitabal-‘Araby, 1946)
Mc Auliffe, Jane Dammen (ed.). Encyclopedia of The Qur’an. (Leiden: Brill. 2009)
Rippin, Andrew (ed.).The Blackwall Companion to The Qur’an. (Blackwell Publishing. 2006)
Sand, Kristin Zahra. Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical Islam. (London: Routlege. Tt)
www.meriam-webster.com, (diakses 24 Desember 2014.)
Yazdi, Mehdi Hairi. Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Mizan, 2003).
Oleh: Asep Nahrul Musadad,
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: crhapsodia@ gmail.com