Mukaddimah
Dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 30-33 Allah SWT berketetapan bahwa Ia akan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Ketika Allah sudah berkehendak sesuatu itu pasti akan menjadi nyata meski Allah SWT juga membeberkan kronologisnya. Takdir Allah SWT tersebut pasti akan terlaksana dan terejewantahkan ke dalam dunia nyata ketika bumi telah benar-benar dihuni oleh manusia kelak. Dengan dasar itu memanusiakan manusia adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia itu sendiri dalam kedudukannya mengemban sebagai khalifah di bumi tanpa melihat dari mana ia berasal dan agama apa yang ia anut karena disana di ayat tersebut semua manusia akan menjadi khalifah tanpa ada kriteria tertentu. Memanusiakan manusia adalah kewajiban bagi semua manusia.
KH. Abudurahman Wahid (Gus Dur) sesorang genius sekaligus misterius dengan pemikirannya yang serba tidak terduga bagi orang-orang seperti penulis termasuk ketika beliau melontarkan gagasan “selamat paginya” yang sebenarnya adalah ide Pribumisasi Islam.
Gagasan Pribumisasi Islam menurut saya sebenarnya bukan hal baru dalam Nahdlatul Ulama (NU) ormas dulu dipimpin oleh Gus Dur dan dalam khazanah intelektual dunia Islam. Jauh sebelum NU berdiri pada pendakwah di Jawa (walisongo) sudah mempribumikan Islam di nusantara dengan “menikahkan” secara sah dan halal antara Islam dan tradisi-tradisi jawa yang sudah mengakar. Singkatnya Walisongo melaksanakan Islamisasi bukan arabisasi. Islamisasi itulah yang dimaksud dari pribumisasi islam itu sendiri. Para imam madzhab pun sudah melaksanakan hal serupa seperti yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas (w.796 M/179H) karena baginya tradisi lokal merupakan salah satu dasar hukum Islam. Beliau mengatakan bahwa Hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan perseorangan) yang bertentangan dengan Amal Ahli Madinah (tradisi Masyarakat madinah), tidak dapat dijadikan Hujjah (dalil)
Gus Dur, bisa jadi menggunakan istilah Pribumisasi Islam dengan spontan kalau tidak dipandang sebagai guyonan intelektual seperti ketika beliau memberikan keterangan dengan meriwayatkan keterangan dari tokoh KH. Anwar Musaddad bahwa sesungguhnya kedua istilah (ortodoks dan Modern) mempunyai akar philologi bahasa arab. Ortodoks berakar dari kata Irtadloka yang berarti Allah meridlai anda sedangkan moderen berasal dari kata mudlirrin yang mempunyai makna berdampak negatif dan membahayakan (Abegebriel; dalam Abdurahman Wahid ;2007). Gaya bercanda cerdas itulah yang membuat GusDur lebih meiterius.
Karena kemisteriusannya itulah ketika ada seseorang yang mencoba memahami pemikiran GusDur berarti sedang mencoba menggali (menafsirkan) dan menebak apa yang sebenarnya dimaksud oleh Gus Dur. Tidak ada orang lain yang bisa memahami Gus Dur selain GusDur sendiri.(Ghazali, AM ; 2007) Termasuk tulisan ini adalah tafsir subjektif penulis.
Banyak orang mengatakan bahwa Pribumusasi Islam adalah gagasanGus Duryang paling murni, tapi menurut saya Gus Durjuga terpengaruh pendidikan yang dienyam oleh Gus Dur sebelumnya, beliau adalah orang yang dilahirkan di keluarga pesantren dibesarkan di pesantren di sekolahkan dipesantren dan beliau bangga dengan pesantren. Gus Durmenempatkan pesantren sebagai yang dalam bahasa Ahmad Baso sebagai fail manhaji nya. Gus dur menjadikan pesantren sebagai ruh dalam berfikir.
Islam Pribumi dan Islam Tradisi
Islam turun tidak di tempat yang kosong, begitu juga Islam masuk ke Indonesia kebudayaan dan tradisi sudah ada jauh sebelum Islam itu datang, persingguangan antara Islam dan tradisi adalah keniscayaan yang terjadi. Saling mempengaurhi diantara keduanya tidaklah terelakan.
Islamadalah agama yg diajarkan oleh Nabi saw. berpedoman pada kitab suci Alquran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.; sedangkan Pribumiadalah penghuni asli; yang berasal dari tempat yg bersangkutan jadi Islam pribumi adalah Islam (agama) yang dipeluk oleh penghuni asli daerah itu (Islam yang dipeluk oleh orang asli Indonesia). Sedangkat tradisi adalah kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yg masih dijalankan dl masyarakat jadi Islam Tradisi adalah agama yang dijalankan tanpa menghilangkan tradisi yang sudah terjadi islamisasi pada tradisi itu sendiri.
Menurut penulis antara Islam tradisi dan Islam pribumi adalah seperti dua sisi mata uang berbicara tentang Islam tradisi dan Islam pribumi pasti teringat dan terkait dengan KH Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam. Beliau mendeskripsikan bagaimana Islam sebagai ajaran normatif kosmopolitan yang berasal dari Tuhan diselaraskan ke dalamkebudayaan yang berasal dari manusiadengan tanpa kehilangan identitasnyamasing-masing. Inti pribumisasi Islamadalah kebutuhan bukan untuk menghindari proses dua sisi untuk berhadap-hadapan antara agama dengan budaya, sebab proses demikian memang tidak terhindarkan. Pribumisasi Islam berusaha untukmenjadikan agama (Islam) dan budaya lokaltidak saling mengalahkan, melainkanmewujud dalam pola nalar keagamaanyang tidak lagi mengambil bentuknya yangotentik dan murni (pure) dari agama danberusaha menjadi jembatan yang selama inimemisahkan antara keduanya (agama danbudaya) Edi Susanto: (Jurnal karsa stainpamekasan.ac.id 29/10/13 21;20)
Lebih lanjut susanto mengatakan sebenarnya mengekprsesikan keislaman dengan mangambil bentuknya yang otentik dan murni tidaklah salah itu sah-sah saja yang jadi masalah adalah ketika ekspresi tersebut menghegemoni nuansa lokal dan yang selain yang datang dari arab dikatakan bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
Selaras dengan susanto, Syaiful Arif (dalam bukunya Humanisme Gus Dur 2013) mencoba mendefinisikan Pribumisasi Islam ala Gus Durdengan sedikit berbeda dia mencoba menafsirkan apa yang dimaksud oleh pencetusnya dengan mengutip beberapa tulisan Gus Dur. Dia mendifinisikan Pribumusasi Islam ke dalam dua macam definisi, pertama, definisi negatif yang ia simpulkan dari kutipan tulisan Gus Dur bahwa Pribumusasi Islam bukanlah Jawanisasi Islam karena jawanisasi menunjukan domisansi budaya jawa atas Islam sehingga Islam menjadi Kulit luarPribumisasi Islam juga bukan berarti sinkretisme yang menjadikan Islam bagaikan teologi gado-gadoyang tidak beraturan. Pribumisasi Islam adalah penagakomodasian kebudayaan pribumi melalui pengembangan penafsiran atas nash dengan metode Ushul Fiqihdan Qowaidul Fiqhiyah misalnya dalam memasang atap meru untuk bangunan Masjid Demak setelah meru tersebut diislamkankedua, definisi positifberarti dalam Pribumisasi Islam tidak boleh terjadi pembauran antara agama dan budaya sehingga akanmenghilangkan keotentikan agama tersebut. Dalam pemahaman itu maka bacaan sholat tidak boleh diganti menjadi bahasa jawa karena akan menghancurkan keislaman itu sendiri.
Dari uraian diatas Arif menyimpulkan bahwa Pribumisasi Islan adalah kontekstualisasi Islam dan juga Pribumisali Islam sebagai kulturisasi Islam dari keduanya bisa ditarik benang merah bahwa Pribumisasi Islam merupakan hubungan Islam dengan kebudayaan.
M. Imdadun Rahmat (dalamSyarif Hidayatullah; 2010)menuliskan setidaknya ada 5 karakter yang terdapat dalam gagasan Pribumisasinya Gus Dur.Pertama, kontekstual. Yakni Islam itu terkait dengan tempat dan zaman. Dengan demikian Islam mampu memperbaharui diri dan dinamis merespon perubahan zaman sehingga Islam memang relevan dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Kedua, toleran; ketika kita sangat menghargai tradisi pemeluk Islam pribumi maka dengan sendirinya sikap toleran akan muncul terhadap budaya itu sendiri dan terhadap perbedaan penafsiran Islam. Dalam konteksIndonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur pembentuknyaketiga, menghargai tradisi; islam pada masa nabi pun dibangun diatas penghargaanpada tradisi lama yang baik. Karena Islam sesungguhnya tidak memusuhi tradisi lokal keempat, progresif artinya Islam akan siap dan lapang dada untuk berdialog dengan tradisi dan pemikiran lain kendatipun dari barat dan yang kelima, membebaskan;Islam menjadi ajaran yang rahmatan lil alamin untuk dapat menjawab problem-problem nyata kemanusiaannya.
Kelima karakter diatas sesungguhnya dimiliki dan dilestarikan oleh para ulama NU yang di pandang sebagai kaum tradisonalis yang jauh dari kesan intelektual tetapi ternyata fakta membuktikan dan diluar dugaan banyak pengamat berpandangan tradisionalisme dan konserfatif para kyai (NU)justru melahirkan sesuatu yang dinamis melebihi apa yang di klaim oleh orang-orang yang mengatakan dirinya sebagai modernis.
Tetapi dalam konteks ke kinian tahun 2013 Pribumisasi Islam mengalami tantangan yang sangat hebat dan kuat. Arus globalisasi. Kapitalisme dan westernisasi serta arabisasi tengah melanda dunia akibat dari kemajuan teknologi informasiyang begitu cepat sehingga pesantren yang merupakan benteng dari Pribumisasi Islam haruslah berbenah untuk ikut dalam “pertempuran” ini. Ketika Pribumisasi Islam dan pesantren tergilas dan tidak mampu bertahan bukan hanya pesantren yang dalam bahaya tetapi juga bangsa dan negara kita Indonesia berada di pinggir jurang kehancuran.
Hal senada disampaikan oleh Marzuki Wahid adalah Deputi Rektor Institut Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Cirebonia menuliskan
“Agenda pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan Gus Dur, dipraktikkannya, dan diwujudkan dalam keislaman Pesantren, dewasa ini tampaknya terus menglami tantangan yang tidak sederhana. Gempuran globalisasi dan kapitalisme yang terus memperoleh ruang politik dan sosial dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia adalah fakta yang terus dihadapi. Sejalan dengan itu, masuk dan suburnya warna-warni Islam transnasional juga cukup memperoleh perhatian media juga menjadi tantangan lain bagi perwujudan pribumisasi islam.
Islam Pesantren kini tidak lagi milik Nahdlatul Ulama (NU) atau kyai-ulama tradisional, tetapi telah menjadi ajang perebutan ideologis kelompok-kelompok Islam lainnya. Buktinya, Pesantren-pesantren baru kini hadir dengan berbagai corak keislaman pendirinya, tidak lagi sebagaimana wujud Pesantren generasi awal pendiriannya. Pembelokkan telah banyak terjadi, akibat perebutan simbol dan makna kharismatik dan spiritualitas di balik Pesantren. (Tulisan dimuat Harian Umum Kabar Cirebon pada Senin, 29 April 2013)
IKHTITAM
Edi Susantomenceritakan (dalam ISLAM PRIBUMI VERSUS ISLAM OTENTIK (Dialektika Islam Universal dengan Partikularitas Budaya lokal) Jurnal karsa stainpamekasan.ac.id Vol. XIII No. 1 April 2008 diakses 29/10/13 21;20) begini
Adalah Dr. Jeffrey Lang –seorangintelektual Muslim Amerika—dalamkaryanyaEven Angels Ask: A Journey to Islamin America1 bertutur bahwa dengan harapandapat memperdalam wawasankeislamannya, ia tinggal beberapa lama diSaudi Arabia untuk mengenal –secara lebihdekat dan intens—komunitas Muslim yanghidup di sekitar bayt Allah, tempat Islamdilahirkan. Namun akhirnya, dia kembali keAmerika dengan rasa kecewa karena“menyadari” bahwa pemikiran Islam yangtumbuh berkembang di Amerika –baginya—lebih terasa cocok dan menantangketimbang pemahaman Islam yangberkembang di Saudi Arabia yang lebihditujukan pada masa lalu. Di Arab Saudi,Islam berhenti hanya sebagai kekuatanuntuk perkembangan kepribadian, dankenyataan itu –tulis Lang—membuat imansaya kehilangan daya hidupnya
Zakiyuddin Baidhawy menuliskan(Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Kultural vs Imperialisme Islam Murni IslamLib.com Jum’at, 30 Juli 2004)
Satu lagi kejumudan modernisme semakin memperoleh afirmasi, dan kini diperlihatkan oleh sebuah gerakan Islam modernis bernama Muhammadiyah, yang terjebak dalam perangkap imperialisme dan ideologi. Mentahbiskan diri sebagai gerakan tajdid dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah seolah seperti Portugis atau Spanyol, yang merasa mempunyai legitimasi mission sacre dari Paus untuk menguasai belahan dunia Timur dan Barat. Kekuatan imperialis yang memperoleh “mandat Tuhan” untuk melakukan hegemoni, kolonisasi, dan penindasan demi keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.
Gagasan pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur puluhan tahun yang lalu kini nampak urgensinya dan kebenarannya ketika Indonesia dihadapkan oleh serangan arabisasi, modernisasi westernisasi dari barat dan gerakan transnasional yang akan merubah paradigma Nusantara kepada paradigma asing atau eropa atau bahkan arab (timur tengah)
Lebih lanjutZakiyuddin Baidhawy menuliskanMuhammadiyah yang awalnya menolak wacana Pribumisasi Islam nyatanya mulai terbuka hatinya pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada 24-27 Januari 2002 tentang pentingnya dakwah kultural, hal itu merupakan lompatan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es kejumudan tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari pimpinan dan warga. Meskipun mereka tidak mau dikatakan mengokor kepada Gus Dur (pen)
Gus Dur mengatakan bahwa memakai batik adalah sunnah dengan alasan Nabi SAW memakai baju yang sama seperti yang dipakai oleh kaumnya. Dia tidak memakai baju yang berbeda yang menunjukan bahwa dia adalah Rosulullah. Dari paparan diatas tentunya kita bisa memilah dan memilih mana yang jiwa dan raganya adalah Indonesia bukan raga makan dan minumnya di Indonesia tetapi jiwanya adalah arab. Itulah tanda konsistensi Gus Dur. Gus Siapa sih sampeyan?