بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, kembali kita pada kajian tentang menyusuri jaringan Ulama Nusantara. Satu persatu kita angkat tokoh-tokoh Ulama yang berjasa melalui ilmu dan keikhlasannya, sehingga Allah SWT menjadikan Tanah Air Indonesia ini menjadi berkah.
Sejak awal abad ke-19, banyak ulama dari Nusantara yang menduduki posisi penting di Tanah Suci. Salah seorang di antaranya adalah Syekh Junaid al-Batawi.
Dia merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi imam besar Masjid al-Haram. Selama puncak kariernya, ulama yang lahir di Pekojan, Jakarta, itu digelari sebagai gurunya para guru (Syaikhul Masyakih) para muballigh mazhab Syafi’ie dari pelbagai penjuru dunia, khususnya Nusantara.
Oleh karena itu, tokoh tersebut juga dipandang sebagai poros silsilah ulama Betawi. Malahan, nama Betawi menjadi masyhur di Tanah Suci berkat reputasi besarnya.
Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011) menerangkan, tahun kelahiran Syekh Junaid al-Batawi belum dapat diketahui secara pasti. Demikian pula dengan tanggal wafatnya.
Alwi Shahab, jurnalis senior yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta, menyebutkan, 1840 merupakan tahun meninggalnya Syekh Junaid al-Batawi. Artinya, usianya mencapai lebih dari satu abad.
Pendapat yang berbeda disampaikan budayawan Ridwan Saidi. Mantan ketua umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengatakan, pada periode 1894-1895 syekh tersebut telah berusia hampir 90 tahun. Fakta itu merujuk pada catatan orientalis Snouck Hurgronje yang pernah tinggal di Makkah pada 1880-an.
Lebih lanjut, Hurgronje mengaku sempat berkirim surat kepada Syekh Junaid al-Batawi karena ingin bertemu. Akan tetapi, yang menerima surat itu menolaknya.
Belakangan, penasihat politik pemerintah kolonial Belanda itu merangkum kisahnya dalam buku Mecca in the Latter Part of 19th Century. Disimpulkannya, Syekh Junaid tinggal di Makkah selama 60 tahun sejak 1834.
Ulama berdarah Betawi itu menikah dengan Siti Rohmah. Mereka dikaruniai empat orang anak. Yang laki-laki bernama Asad dan Said. Yang perempuan ada dua orang.
Salah seorang di antaranya kelak menikah dengan murid Syekh Junaid, yakni Syekh Mujitaba al-Batawi. Sementara itu, putrinya yang lain dijodohkan dengan Abdurrahman al-Mishri, yang kendati bergelar Mesir, sesungguhnya orang Indonesia keturunan Arab.
Selama bermukim di Makkah, Syekh Junaid al-Batawi berhasil membangun reputasi yang baik di tengah-tengah masyarakat, utamanya kalangan alim Masjid al-Haram. Menurut Alwi Shahab, tokoh ini mulai hijrah dari tanah kelahirannya ke Makkah kala usianya 25 tahun.
Dia berangkat ke Tanah Suci dengan didampingi beberapa anggota keluarga. Sejak saat itu, dia terus menempa diri dengan belajar ilmu-ilmu agama.
Di puncak kariernya, Syekh Junaid al-Batawi memang sesuai dengan julukan Syaikhul Masyakih. Pasalnya, cukup banyak di antara murid-muridnya yang kelak menjadi tokoh besar. Sebut saja, Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1897) dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1916). Masing-masing kelak mengikuti jejak gurunya, yakni pernah menjadi pengajar di Masjid al-Haram. Malahan, mereka akhirnya menurunkan murid-murid yang kemudian dikenang sejarah sebagai ulama kharismatik.
Adapun murid-muridnya yang berasal dari tanah kelahiran yang sama, Betawi, juga tidak sedikit. Sejarah mengenangnya sebagai alim ulama yang disegani. Di antara mereka adalah dua orang yang cukup masyhur, yakni Syekh Mujitaba bin Ahmad al-Betawi dari Kampung Mester dan Guru Mirshod.
Syekh Mujitaba akhirnya menjadi menantu Syekh Junaid, sedangkan Guru Mirshod kelak menurunkan Guru Marzuki. Da’i yang mengajar di Cipinang Muara, Jakarta, itu lantas menghasilkan ulama terkemuka, semisal KH Abdullah Syafi’ie (pendiri Perguruan asy-Syafiiyah) dan KH Thohir Rohili (pendiri Perguruan Thohiriya Bukit Duri Tanjakan).
Informasi dari Snouck Hurgronje menyebutkan, Syekh Junaid al-Batawi ketika berusia antara 35 dan 40 tahun memboyong istri dan keempat anaknya ke Makkah. Itulah awal mulanya figur penting ini berkiprah di Tanah Suci. Ketika Hurgronje berupaya menemuinya -yang akhirnya ditampik- usia Syekh Junaid diketahui hampir 90 tahun. Walaupun begitu, komunitas ulama Makkah masih memintanya untuk memimpin zikir dan doa, terutama setiap acara pertemuan berlangsung.
Pengakuan akan reputasi Syekh Junaid juga disampaikan pemimpin politik Makkah dan Madinah. Pada 1925, huru-hara politik terjadi di dua kota suci itu sehingga menumbangkan kekuasaan Syarif Ali.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ibnu Saud mulai menancapkan pengaruhnya dan terus berupaya menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Sebelum mengakui kekalahan, Syarif Ali mendesak Ibnu Saud agar meneguhkan komitmen sehingga transisi pemerintahan dapat berjalan lancar.
Di antara syarat-syaratnya adalah, keluarga Syekh Junaid al-Batawi akan terus dihormati, bahkan selayaknya karib kerabat Ibnu Saud sendiri. Penguasa baru itu pun menyanggupinya. Demikian pemaparan Buya Hamka dalam sebuah seminar di Jakarta pada Mei 1987.
Oleh karena itu, sampai sekarang penduduk Makkah menganggap keturunan Syekh Junaid seperti halnya bangsawan. Anak cucu alim besar itu banyak berkiprah di dunia usaha, termasuk perhotelan dan pertokoan.
Bila anda ke Makkah atau Madinah kini, para penjual di sana kerap menyeru; “Siti Rohmah…, Siti Rohmah…” ketika melihat jamaah haji perempuan berwajah Indonesia. Siti Rohmah yang dimaksud adalah nama istri Syekh Junaid al-Batawi.
Wafatnya
Sama halnya dengan tahun kelahirannya, tahun meninggalnya Syaikh Junaid juga tak diketahui pasti. Menurut Direktur Islam Nusantara Center (INC), A. Ginanjar Sya’ban, Syaikh Junaid meninggal pada akhir abad ke-19 Masehi.
Adapun makam Syaikh Junaid, kata Dosen Filologi dari Universitas Padjajaran itu, berada di kompleks Pemakaman Al-Ma’la, tak jauh dari Masjidil Haram.
Mari kita berdo’a dan membaca Surat al-Fatihah untuk beliau:
نَسْأَلُ اللّٰهَ بِأَنَّهُ يَتَغَشَّاهُ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ وَيُسْكِنُهُ الْجَنَّةَ، وَيَنْفَعُنَا بِأَسْرَارِهٖ وَأَنْوَارِهٖ وَعُلُوْمِهٖ وَنَفَحَاتِهٖ وَبَرَكَاتِهٖ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، آمِيْنَ، وَإِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَلْفَاتِحَةَ أَثَابَكُمُ اللّٰهُ … ۞
“Kami mohon kepada Allah, bahwa sesungguhnya Allah menganugerahi kepada beliau rahmat, ampunan, dan memberikan tempat di surga, dan dapat limpahan manfaat kepada kami segala rahasia-rahasianya, cahaya-cahayanya, ilmu-ilmunya, harum semerbak kedudukannya dan keberkahannya dalam agama, dunia dan akhirat, Ya Allah perkenankanlah doa ini, dan dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW, bacalah Surat al-Fatihah semoga kalian mendapat balasan…”
Wallâhu A’lam