“Suatu ketika, Syaikh Abdus Salam ibn Al-Masyisyi memerintahkan mandi kepada seorang ulama besar yang ingin menjadi muridnya, yakni Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, Imam Abu Hasan As-Syadzili (w. 1258 M) ketika memasuki puncak karier intelektualnya, suatu hari ingin menepi dari hiruk-pikuk duniawi. Ia memulai pengembaraan spiritualnya. Tujuannya adalah mengaji lagi kepada seorang guru agung, Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi (w. 1227 M), seorang sufi asketik yang tinggal dalam kesunyian di atas puncak gunung Jabal Alam, Maroko.
Imam As-Syadzili saat itu sudah menjadi bagian elite intelektual, seorang ulama yang sudah masyhur. Ia berjalan kaki menuju Jabal Alam, dengan maksud ingin lebih mendalami ilmu agama. Sesampainya di puncak, beliau mengetuk pintu rumah calon gurunya. Perjumpaan yang sudah lama dinantikan akhirnya terjadi, beliau menyampaikan keinginannya untuk belajar di bawah asuhan Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi. Tanpa diduga sang (calon) guru mengatakan, “Pergilah dan ightasil!” Ightasil dalam bahasa Arab secara harfiah adalah kata kerja perintah (fi’l al-amri) yang berarti cucilah, mandilah, bersihkanlah.
Dengan perasaan sedikit kecewa tapi dengan penuh kecintaan, Imam As-Syadzili mengikuti titah calon gurunya. Padahal waktu itu Imam As-Syadzili sudah menjadi ulama besar, karyanya sudah viral, tetapi “ditolak” secara halus ketika ingin belajar. Akhirnya Imam As-Syadzili turun lagi ke kaki gunung untuk mandi di sana.
Usai mandi, Imam As-Syadzili naik lagi ke puncak menemui Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi. Pintu diketuk lagi, respons sang guru masih sama seperti perjumpaan awal, “Pergilah dan mandilah!” Imam As-Syadzili kaget bukan kepalang, dia sudah mandi di bawah gunung. Padahal perjalanan dari sumber mata air di kaki gunung ke puncak memakan waktu seharian.
Untuk kali kedua Imam As-Syadzili turun gunung untuk mandi. Usai mandi ia kembali ke atas gunung, mengetuk pintu rumah untuk ketiga kalinya. Di luar dugaan, ternyata jawabannya masih seperti yang pertama. Dengan kondisi badan yang masih bersih karena sudah dua kali mandi, ternyata ia masih disuruh mandi lagi oleh calon gurunya. Setelah tiga kali turun gunung dan mandi sesuai permintaan Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi, Imam As-Syadzili kembali ke puncak dan mengetuk pintu rumah calon gurunya tersebut untuk ketiga kalinya. Lalu Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi berkata;
“Pergilah dan ightasil!, pergilah mandi, bersihkan dirimu, bersihkan rasa tahumu, bersihkan rasa bahwa kau mengetahui segalanya, bersihkan rasa sombong dari ilmu yang sudah dimiliki, bersihkan dari selubung ilmu yang membuatmu merasa lebih tau dari orang lain, karena wadah yang sudah terisi penuh tidak akan bisa diisi apapun.”
Jadi, pengertian mandi di atas adalah “Mandi Hakikat” dan menjadi prasyarat bagi mereka yang ingin berguru kepada seorang Mursyid.
Singkat cerita, Imam As-Syadzili pun diterima menjadi murid Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi. Lewat tempaan sang guru, Imam Abu Hasan As-Syadzili menjadi salah satu ulama sufi agung yang dicatat sejarah. Ia kemudian mendirikan Thariqah Syadziliyyah, yang menjadi salah satu thariqah mu’tabarah (tarekat yang dikenal sanadnya bersambung (muttashil) kepada Rasulullah SAW) di dunia.
Imam As-Syadzili tidak hanya memiliki keluhuran intelektualitas, tapi juga kedalaman spiritualitas. Didikan seperti inilah yang kelak membuatnya melahirkan ulama kelas dunia. Muridnya yang terkenal adalah Abul Abbas Al-Mursi (w. 1287) guru dari Syaikh Ibn Athaillah As-Sakandari (w. 1309 M), penulis Al-Hikam. Tanpa wasilah didikan dari Syaikh Abdus Salam ibn al-Masyisyi, barangkali nama Imam As-Syadzili tidak akan sebesar dan seharum hari ini.
Di sini pentingnya rendah hati dan tawadhu’. Seorang murid harus selalu andap asor terhadap gurunya. Apa pun statusnya, setinggi apa pun capaiannya, seelite apa pun jabatan intelektualnya, murid adalah murid, yang harus ta’dzhim kepada gurunya. Meskipun murid lebih pintar, lebih cerdas, lebih tua dari segi usia, lebih kaya, lebih terhormat secara status sosial, dst. Dan itu bagian dari standar operasional prosedur (SOP) dalam tarekat.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, semoga Allah SWT melimpahkan kesadaran berguru dengan benar kepada seorang Mursyid, sehingga dapat menerima pantulan Cahaya Allah melalui wasilah Mursyid. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Bagi mereka yang ingin bertemu dengan guru Mursyid, bacalah doa ini:
اَللّٰهُمَّ دُلَّنِيْ عَلَى مَنْ يَدُلُّنِيْ عَلَيْكَ وَأَوْصِلْنِيْ إِلَى مَنْ يُوْصِلُنِيْ إِلَيْكَ
Allãhumma dullanî ‘alã man yadullunî ‘alaik, wa aushilnî ilã man yûshilunî ilaik
“Wahai Allah, tunjukkilah aku kepada orang yang dapat menunjukkan aku kepada Engkau, dan sampaikanlah aku pada orang yang dapat menyampaikan aku kepada Engkau”.