بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Wejangan Syekh Nurjati Kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 (Ada naskah yang menyebut 1470) mendarat di Amparan Jati dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya.
Tetapi sebelumnya, Pangeran Walangsungsang memberi nasihat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petujuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam. Di tempat Syekh Nurjati mereka menerima wejangan-wejangan yang berharga. Antara lain, Syekh Nurjati berkata:
”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha. Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda. Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at, hakekat, tarekat, dan ma’rifat”.
Demikian wejangan dari Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah. Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muridnya:
”Wahai murid-muridku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimanakah pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat Islamiyah itu?”.
Para murid dalam anggota sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat Islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun”, yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berpesan bahwa Syekh Khafid adalah pengganati Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi.
Beberapa saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurjati yang meninggal dunia. Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, disingkat Syekh Jati.
Semasa hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamanati setiap santri yang akan meninggalkan Pangguron, dengan perkataan’’settana’’ artinya pegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari Pangguron Islam Gunung Jati, jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pesambangan dengan nama Settana Gunung Jati.
Namun karena pada akhirnya Gunung Jati itu digunakan untuk pemakaman, terutama makam Syekh Nurjati sendiri, maka penduduk Jawa Barat yang sebagian besar berbahasa Sunda, sebutan Settana diganti menjadi Astana yang artinya kuburan. Walaupun demikian, penduduk yang berbahasa Jawa Cirebon masih banyak yang menyebutnya Settana. Dengan demikian Kampung Pesambangan yang mencakup Gunung Jati sampai sekarang dinamakan Kampung atau Desa Astana.
Sebagai bukti penghormatan umat Islam, yang berziarah ke Astana (baik ke komplek pemakaman Gunung Jati maupun komplek pemakaman Gunung Mursahadatillah), dan secara khusus disampaikan kepada ruh pemimpin dan penghulu kami Syekh Datul Kahfi, dan kepada ruh Syekh Bayanillah, dan kepada seluruh ruh para wali, sultan, ahli kubur yang disemanyamkan di Gunung Jati dan Gunung Sembung, dan orang tua mereka, para pendoa mereka, dan orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka, Yã Allah… tolonglah kami semua dengan perantaraan (izin Allah, akan kemuliaan mereka, aku memohon (hanya) kepada Engkau, (memohon) barakah, syafa’at, karamah (kemuliaan), ijazah (kelulusan dan pengakuan), dan keselamatan, segala sesuatu hanya milik Allah, bagi mereka Syaiul lillãhi lahumul Fãtihah…
Kalau kita simak doa tersebut, maka ada penghormatan terhadap :
- Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
- Nyi Mas Ratu Rarasantang (Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, Pendiri Caruban)
- Syarifah Bagdad/Fatimah (Nyi Mas Penatagama Pesambangan, istri Sunan Gunung Jati, putri Syekh Nurjati)
- Pangeran Cakrabuana (paman Syarif Hidayatullah, pendiri Caruban)
- Syekh Quro/Syekh Hasanudin (Syekh Mursahadatillah, pendiri Pondok Pesantren Karawang, Sahabat Syekh Nurjati )
- Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang dan mertua Sunan Gunung Jati)
- Syekh Bayanillah (adik Syekh Datuk Kahfi, pendiri Pondok Pesantren di Kuningan)
Kita bisa mencermati bahwa doa tersebut di atas ditujukan kepada sekelompok elit ulama perintis dakwah Islamiyah di Cirebon.
Gapura Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15-17 Masehi. Karya adi luhung ini merupakan karya dekoratif yang sebenarnya lumrah di pesisir pantai utara Jawa.
Pintu yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya, maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia (ruh) untuk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagi lambang kematian merupakan gambaran yang sangat tepat dan sesuai dengan peribahasa Arab yang berbunyi: “al-mautu bãbun wa kullun nãsi dãkhiluhu”, maut adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
Jika pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambang bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al-Quran bahwa para malaikat itu bersayap.
Sumur Jalatunda
Di Pesambangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, yakni sumur Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa: seumur atau sepanjang kehidupan. ”Jala” dari bahasa Arab ”jalla” yang berarti luhur atau agung, ”tundha” artinya titipan, sedangkan ”tegangpati” berarti serah jiwa. (Sekian)
Oleh: Ki Aji Saptorenggo