بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Syekh Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Di kawasan tersebut ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua Somadullah).
Setibanya di tempat yang dituju, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo’tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
Keesokan harinya, setelah shalat Subuh, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah mulai bekerja membabat hutan hingga ke pedalaman yang dipenuhi binatang buas. Untuk memperoleh keselamatan, Somadullah mengucapkan kalimat: fa anjayna; artinya, aku telah selamat. Karena itu, tempat yang dibabatnya kemudian bernama Panjunan asal kata dari fa-anjayna. Demikian pula tempat-tempat lain dinamai berdasarkan hal-hal yang dialami oleh Pangeran Walangsungsang; antara lain, pekerjaan membabat hutan diteruskan hingga ke tempat yang tidak diketahui lagi. Setelah berdoa kemudian tampak ada jalan, ia berucap: fasyamula; artinya, maka mengetahuilah. Dari ucapan ini lahirlah tempat yang bernama Pasayangan; ketika di suatu tempat ia berfikir kemudian mengucapkan; fakkarnaa; artinya, aku berpikir, tempatnya disebut Pekarungan yang berasal dari kata fakkarnaa. Ketika tiba di suatu tempat yang menyenangkan, ia berucap fa amma sirri jamarin samarin, sesungguhnya perasaanku merasa senang karenanya tempat tersebut dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar. Di suatu tempat yang apabila sudah menjadi perkampungan mudah memperoleh rizki, ia mengucapkan doa farjanaa, artinya, Ya Allah berilah rizki pada hamba, sehingga tempat tersebut dinamakan Parujakan. Di suatu tempat ketika ia tidak ingat apa-apa, ia berucap: fakholanaa, artinya, aku lupa, tempat tersebut kemudian disebut Pekalangan. Ketika ia mendapat petunjuk, ia berucap: fahandaasna (faha-dayna), aku mendapat petunjuk, menjadi tempat bernama Pandesan. Ketika di suatu tempat ia merasa senang, ia berucap: rokibuna rumata illaihi farihin, yang kemudian menjadi tempat bernama Kebon Pring. Ketika ia melihat dua tanda dari dua Kanoman dan Kasepuhan, ia berucap: farutu aajataini, artinya aku melihat dua tanda sehingga tempatnya tersebut Anjatan. Ketika di suatu tempat ia melihat ada musuh di depannya, ia berkata: falaa sasaraynaa; artinya, aku tidak terus berjalan sehingga tempat tersebut dinamakan Pulasaren dan di dekatnya dinamakan Jagasatru, musuh yang berjaga-jaga.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.
Dengan semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walasungsang dapat menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir diberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadi pangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan Ki Cakrabumi.
Somadullah/ Ki Cakrabumi adalah pada siang hari bekerja membabat hutan dan pada malam hari bekerja mencari ikan di tepi laut, sementara istri dan adiknya bekerja menumbuk rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Perkampungan yang dibangun Somadullah berkembang menjadi perkampungan besar yang disebut Grage, yang berarti negara gede.
Perkampungan Somadullah dan usahanya membuat terasi diketahui oleh Raja Galuh. Ia mengutus patihnya untuk menyelidiki perkampungan di pesisir pantai yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Apabila rakyatnya telah mencapi 69 orang, perkampungan tersebut telah menjadi sebuah desa dan diharuskan membayar pajak setiap tahun serta mempersembahkan tumbukan rebon halus sewakul (sekitar 45 kilogram).
Dalam pertemuan antara utusan Raja Galuh dan Somadullah dibicarakan status perkampungan baru yang ternyata telah dihuni oleh 70 orang penduduk sehingga perlu dibentuk satu desa di bawah pimpinan seorang kuwu (kepala desa). Desa tersebut kemudian dipimpin oleh Ki Pangalangalang sebagai kuwu karena Cakrabumi tidak bersedia menjadi kuwu.
Selesai upacara pengukuhan kuwu, diadakan perjamuan. Rombongan Kerajaan Galuh menikmati garagal (tumbukan) rebon beserta air rebon. Utusan kerajaan Galuh sangat menikmati air rebon yang dalam bahasa sunda disebut Cairebon, dari kata cai dan rebon. Ketika Ki Pangalangalang meninggal, ia diperlakukan secara Islam oleh Ki Cakrabumi. Perlakuan jenazah secara Islam ini merupakan awal dari penyebaran ajaran Islam kepada penduduk Cirebon. Sejak itu, setiap malam diadakan pengajian oleh Ki Cakrabumi.
Sepeninggal Ki Pangalangalang, datanglah utusan karajaan Galuh untuk mengganti kedudukan Ki Pangalangalang sebagai kuwu Cirebon. Melalui kesepakatan, akhirnya Ki Cakrabumi terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang dan mendapat gelar Cakrabuana memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon.
Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah di atas laut). Sekarang letak masjid tersebut sekarang berada tepat di sebelah luar dinding Keraton Kasepuhan, di Kelurahan Kasepuhan, Kota Cirebon.
Seusai membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di Kebon Pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan berhasil menemui Syekh Ibrahim di Campa.
Di Campa Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh Ibrahim, selanjutnya Syekh Ibrohim menyuruh keduanya untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
Setelah berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/Syarif Abdullah.
Tak lama kemudian, pernikahan antara Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah dilangsungkan di kerajaan Bani Israil yang disaksikan oleh Haji Abdullah Iman dan alim-ulama beserta pembesar kerajaan. Syarifah Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan Nyi Rara Santang ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajaan ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.
Syekh Bayanullah (Adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
Syekh Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari, putri Surayana, penguasa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, Penguasa Kuningan. Ratu Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak
Bratawijaya (Arya Kemuning). Mereka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang.
Kedatangan Pangeran Panjunan
Bagian ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid mempelajari Ilmu Tasawuf yang tidak disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon. Akhirnya, Syarif Abdurrahman diusir dari kerajaan. Syarif Abdurrahman mengadukan pengusiran ayahnya kepada gurunya, Syekh Juned. Menurut Syekh Juned, tidak ada tempat lain yang harus dituju kecuali Cirebon, tempat yang tentram dan di masa yang akan datang akan diduduki oleh para wali.
Sementara itu Haji Abdullah Iman berniat kembali ke tanah Jawa. Dalam perjalanan kembali ke tanah Jawa, ia mengunjungi Syekh Ibrahim Akbar di Campa dan dijodohkan dengan putrinya dan di bawa pulang ke Cirebon. Kelak keduanya dikaruniai tujuh orang putri yang setelah dewasa bermukim di beberapa tempat menjadi sesepuh desa.
Haji Abdullah Iman membangun sebuah keraton di Cirebon yang diberi nama Keraton Pakungwati yang diambil dari nama anaknya yang baru lahir buah perkawinannya dengan Nyi Indang Geulis. Setelah pembangunan keraton selesai, Haji Abdullah Iman diangkat oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, menjadi Ratu Sri Mangana dan diberi payung kebesaran.
Syarif Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan menuju Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga orang adiknya dan 1.200 orang pengikutnya yang diangkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan minta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan. Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan.
Masjid Panjunan selain memiliki keunikan berwarna merah, juga memilki keunikan lain. Arsitektur pada gapura masjid tersebut asimetri dan memilki candrasengkala berupa srimpedan, yang juga dimiliki oleh Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan Syarif Abdurrakhim bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarifah Bagdad menetap di Gunung Jati.Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putranya diangkat menjadi putra mahkota. Namun kedua putranya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/syahid dalam usia muda. (Bersambung)
Oleh: Ki Aji Saptorenggo