بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang ke Amparan Jati
Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa, “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Di antara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu-Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula.
Dalam naskah lainnya diterangkan, Syekh Nurjati mengajarkan membaca syahadat dengan arti dan maksud secara mendalam. Selain itu ada sebuah pesan yang berbunyi:
“Apabila engkau berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau orang yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah sebuah doa yang artinya: “Wahai Tuhan, Engkau yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang rendah dan lemah yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan pertolongan-Mu. Wahai Tuhan tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti engkau menundukkan Fir’aun terhadap Nabi Musa as. Lunakkanlah hatinya seperti engkau telah melunakkan besi terhadap Nabi Daud as. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu melainkan dengan seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu”.
“Syekh Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang berbunyi: Yã ayyuhal ladzîna ãmanû udkhulû fis-silmi kãffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan). Kemudian, ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni shalat lima waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah haji, umrah, perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawwuf (penyucian diri)”.
Ajaran Perang Sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut:
Setelah ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fikih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam. Pelajaran ini masih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarekat, hakekat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut mazhab fiqih Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat, tarekat Syattariah masuk ke wilayah Cirebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
Dari pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, istri, dan adiknya mendapat anugerah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Walangsungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusyu’ menekuni wejangan-wejangan yang diterimanya, yakni tentang dua kalimah syahadat, shalawat dan dzikir, zakat fitrah dan munggah (ibadah) haji, puasa di bulan Ramadhan, shalat lima waktu, dan membaca al-Qur’an, kitab fiqih dan tasawuf. Inilah di antara ajaran yang diterima dari Syekh Nurjati.
Sebelum menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada para pendeta Buddha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu-ilmu Islam.
Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat berupa reinterpretasi ajaran-ajaran non-Islam dari para guru Pangeran Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandang Islam. Hal ini terungkap pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada ketiga orang tersebut, yaitu sebagai berikut:
“Hai Somadullah, sesungguhnya engkau memperoleh rahmat Islam itu memang sudah kepastian sejak zaman azali, dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi dan bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmat yang penting ialah bahwa engkau akan bertemu dengan alim ulama yang menjadi warisan ambiya. Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil menerima pusaka berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk mengetahui perkara gaib dan dapat digunakan untuk “merawat” sesuatu dengan keadaan selamat”.
“Nama ampal itu diambil dari perkataan fa’ti bimã anfa’un nãsi, artinya: usahakanlah apa yang sekiranya membawa manfaat bagi manusia. Dan engkau menerima Baju Kamemayan yang antara lain kepentingannya ialah agar engkau disegani dan disayang oleh segenap makhluk. Itu memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya begini, ‘barang-siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rejeki dengan tak diduga-duga dan tanpa susah payah”.
“Kalau engkau ingin jangan dibenci orang, pegang teguhlah ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah hidupmu, dan engkau menerima lagi Baju Pengabaran yang antara lain kepentingannya engkau tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh yang bagaimanapun banyaknya, karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya: “Dan berbaktilah kepada Tuhanmu hingga saat ajalmu datang”. Sedangkan, orang yang berpegang pada ayat tersebut dengan keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi musuh yang bagaimana pun”.
“Lalu engkau menerima pula Baju Pengasihan yang gunanya agar semua mahluk, baik jin maupun setan siluman apa saja tunduk kepadamu. Itu betul, jika engkau ingin ditakuti oleh semua makhluk, amalkanlah ayat tersebut”.
“Selain dari Sang Hyang Danuwarsih, engkau mendapat pula beberapa pusaka dari Sang Hyang Naga berupa azimat Ilmu Kadewa. Namanya itu diambil dari perkataan Dawãud dîni, artinya, obatnya agama. Dalam hal ini, yang dimaksud bahwa orang yang beragama itu harus berilmu. Ada sya’ir Arab yang artinya, “Barangsiapa yang berbuat sesuatu tidak didasarkan ilmu, amal perbuatannya itu tidak akan diterima oleh Allah”.
Sedikit keterangan bahwa orang yang memegang agama itu sama dengan orang yang memegang negara. Apabila ia dapat memegang agama, ia akan dapat memegang negara. Tetapi tidak sebaliknya, orang yang dapat memegang negara, belum tentu ia akan dapat memegang agama.
Selanjutnya Syekh Nurjati berkata kepada Somadullah, “Engkau menerima pula dari Sang Hyang Naga berupa Ilmu Kapilisan, yang diambil dari perkataan falaysa lil-insãni nisyãnudz dzikri, yang artinya tidak patut bagi seorang manusia melupakan dzikir kepada Allah SWT.
Makna lebih lanjut dari Ilmu Kapilisan adalah,
kirang mimang ing batuk ingsun sari sedana ing lambe ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada welas pada asih kabeh maring ingsun kelawan berkahe kalimat llaa ilaha illallahu muhammadur rosulullahi.
Doa ini hendaknya dibaca dengan tekad yang bulat turut pada ketika membaca kalimat thayyibah, hendaknya seluruh jiwa raga dihadapkan kepada Allah dan setelah doa itu selesai dibaca lalu diusapkan ke dahi. Selain itu, engkau diberi juga Ilmu Keteguhan, diambil dari perkataan falaisa lil-ghaniyyi bãkhilun, artinya tidak patut pagi seorang kaya untuk berlaku kikir. Lalu, engkau diberi pula golok cabang yang ia dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan kekuatan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap.
Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqa lisab’ati asyyã’i”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara. Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud. Jelasnya, jika engkau ingin mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.
Selanjutnya, engkau sampai di Gunung Kumbang dan bertemu dengan Sang Hyang Naga, kemudian engkau diberinya macam-macam azimat …..diikuti tutur katanya. Kemudian engkau diberi azimat Ilmu Kesakten guna keselamatan agar tutur katamu dituruti. Kemudian engkau diberinya lagi azimat Limunan untuk dapat bersembunyi di dalam terang. Artinya, jangan mempunyai perasaan benar sendiri. Kemudian engkau diberi azimat yang diberi mana Aji Titi Murti, berasal dari kata fa’ti bimã umirta; kerjakanlah olehmu segala perintah yang baik-baik, agar dapat mengusahakan segala sesuatu yang rumit-rumit dan sesuatu yang sukar-sukar menjadi mudah.
Kemudian, engkau diberi lagi azimat Aji Dwipa guna mengetahui dan memahami segala pembicaraan, seperti gunanya topong itu dipakai, maka engkau tidak akan dilihat manusia lagi. Kemudian engkau menerima pula Baju Pusaka Waring yang dapat digunakan untuk terbang, dan engkau menerima pusaka berupa Umbul-umbul Waring yang antara lain kepentingannya agar selamat rahayu dari senjata musuh dan dapat melemahkan tenaga-tenaga musuh. Artinya, bila tidak ingin kelihatan segala rahasia dan keburukan oleh orang lain harus mengikuti ucapan: ud’u lillãhi ‘alã jamî’an nãsi bit-taqwã; ajaklah semua manusia untuk melakukan taqwa kepada Allah.
Baju Pusaka Waring bertuliskan qalbul khãsyi’i mabrûrun; artinya hati seorang yang khusyu’ dapat diterima oleh Tuhan. Umbul-umbul Waring memiliki tulisan: ‘Hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja. Azimat Panjang dari Ratu Bangau artinya dalam menyebarkan agama Islam akan dibantu oleh para wali; Pendil petunjuk ke arah agama yang hak dan Bareng artinya dalam segala aktivitas harus mengikuti tiga perkara: syariat, tarekat, dan makrifat.”
Syekh Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi pejuang yang saleh dan tangguh.
Syekh Nurjati merasa Pangeran Walasungsang bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan iman.
Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agama Islam. (Bersambung)
Oleh: Ki Aji Saptorenggo