بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Syekh Nurjati Dalam Naskah-Naskah Kuno Nusantara
Syekh Nurjati dikenal sebagai tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati. Sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah utara Kota Cirebon. Tepatnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.
Sebelumnya, Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Baghdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra-putri. Dari Baghdad beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya: Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang berbentuk tembang di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren. Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M.
Syekh Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka, Pertengahan Abad ke-14
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abdul Jalil). Jadi Syekh Datuk Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar. Maulana Isa adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke tujuh belas dari jalur Zaenal Abidin.
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekkah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah Cirebon, serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.
Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah
Sehubungan dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekkah, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekkah.
Syekh Nurjati Pergi ke Baghdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah
Setelah menuntut ilmu di Mekkah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Baghdad. Di Baghdad, Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim putra dari Jamaluddin al-Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaluddin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan), Fatimah (yang bergelar Syarifah Baghdad), dan Syekh Datuk Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datuk Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Baghdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Baghdad karena menikahi putri mahkota raja Baghdad.
Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14-15 dan pernah bermukim di Baghdad (sekarang Baghdad merupakan ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Baghdad pada rentang abad 14-15 sedang mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut membentuk keluasan pikir Syekh Nurjati. Hal ini membantu kelancaran dakwahnya.
Di Baghdad, Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikaruniai empat orang putra-putri. Kemudian Syekh Nurjati diutus oleh Raja Baghdad untuk berdakwah di tanah Jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, Syarifah Halimah, pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan/Syahbandarnya bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/Nyi Rara Api.
Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
Perkampungan yang dekat dengan pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Baghdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan izin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
Di tempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai da’i mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan pria tersebut, Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria tersebut meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pondok Pesantren Pesambangan Jati adalah pondok pesantran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan pondok pesantren tertua kedua se-Jawa Barat (saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), setelah Pondok Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/Syekh Mursahadatillah).
Syekh Quro adalah saudara sepupu Syarifah Halimah. Syekh Quro adalah putra dari Dyah Kirana dengan Syekh Yusuf Sidik (Wali Malaka). Sedangkan Dyah Kirana adalah putri Imam Jamaludin al-Husain dari Kamboja (kakek Syarifah Halimah).
Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri Amparan Jati
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina, dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam.
Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Gerakan dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling bantu membantu. Syekh Quro mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan makam Penghulu Karawang di Amparan Jati.
Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan:
- Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebaidi Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
- Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.
- Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura.
Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Raden Pamanah Rasa melamar sang puteri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang lahirlah tiga orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang, dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang. (Bersambung)
Oleh: Ki Aji Saptorenggo