“Akal yang mencoba menjelaskan tentang cinta tak ubahnya seekor keledai dalam payah dan pena yang digunakan untuk menggambarkannya akan hancur berkeping-keping.”
Oleh: Abdur Rahmad*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Manifestasi Konsep Cinta
Bagaimanakah cara untuk menerangkan sebuah cinta? Akal yang mencoba menjelaskan tentang cinta tak ubahnya seekor keledai dalam payah dan pena yang digunakan untuk menggambarkannya akan hancur berkeping-keping, beginilah kalimat pembuka Rumi dalam kitab Matsnawi:
“Bagaimanakah keadaan seorang pencinta?” Tanya seorang lelaki. Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu sobat; bila engkau seperti aku, tentu engkau pun tahu ketika Dia memanggilmu, engkau pun akan memanggil-Nya” (D2733).
Cinta merupakan sesuatu yang Pra-abadi, cinta memiliki sifat layaknya magnet, sejurus lamanya cinta akan menghilangkan jiwa, kemudian ia pun menjadi sebuah perangkap bagi burung- jiwa, yang kepada burung-jiwa inilah cinta akan menawarkan minuman anggur realitas, dan semua ini hanyalah permulaan dari cinta, tak seorang pun dapat menyentuh ujung dari cinta. Rumi sering bercengkrama dengan cinta guna mencari tahu bagaimana rupa dari cinta itu sendiri:
Pada suatu malam kutanya cinta: “Katakan, siapa sesungguhnya dirimu?”. Katanya: “Aku ini adalah kehidupan abadi, aku memperbanyak keindahan hidup itu”. Kataku: “Duhai engkau yang di luar tempat di manakah rumahmu?”. Katanya: “aku ini bersama dengan api hati, dan di luar mata yang basah, aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi berubah jadi warna kuning, akulah seorang utusan yang meringankan kaki, sedangkan sang pencinta adalah seekor kuda kurusku. Akulah marah padamnya bunga tulip. Harganya barang itu, akulah manisnya meratap, penyibak segala yang tertabiri.” (D1402).
Menurut Rumi yang diciptakan pertama kali oleh Tuhan ialah cinta. Atas dasar inilah Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasar yang menyusup dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka. Cinta juga yang bertanggung jawab atas terjadinya evolusi alam yang awalnya anorganik yang berstatus rendah menuju level tertinggi pada diri manusia.
Bagi seorang Rumi, cinta merupakan penyebab dari gerakan dalam dunia materi, bumi, dan langit berputar demi cinta. Ia berkembang dalam tumbuhan dan gerakan dalam makhluk hidup, cinta pula yang menyatukan partikel-partikel kecil suatu benda. Berkat cinta tumbuhan dapat tumbuh, juga membuat semua hewan berkembang biak seperti dalam ucapannya:
Cinta adalah samudra (tak bertepi) tetapi langit menjadi serpihan-serpihan busa; (mereka gelisah) bagaikan perasaan Zulaikha terhadap Yusuf. Ketahuilah langit yang berputar, bergerak oleh deburan gelombang cinta; seandainya bukan karena cinta, dunia akan (mati) membeku. Bagaimana benda mati lenyap (karena perubahan) menjadi tumbuhan? Bagaimana tumbuhan rela mengorbankan jiwanya demi menjadi jiwa (yang hidup)? Bagaimana jiwa mengorbankan dirinya demi nafas yang merasuk ke dalam diri Maryam yang sedang hamil? Masing-masing (dari mereka) akan mengeras menjadi sebagaimana es bagaimana mereka terbang dan mencari seperti belalang? Setiap manik-manik adalah cinta dengan kesempurnaannya dan segera menjulang seperti pohon.
Cinta bagi Rumi bukanlah milik manusia dan makhluk hidup saja melainkan juga semesta seisinya. Cinta yang mendasari segala eksistensi ini disebut “Cinta Universal”, cinta ini muncul saat Tuhan mengungkapkan keindahan-Nya pada semesta yang masih dalam alam potensial.
Keindahan dari cinta tak akan mampu untuk diungkapkan dengan cara apapun, walaupun kita memujinya dengan seratus lidah. Begitulah kata Rumi, seorang pecinta dapat berkelana dalam cinta dan semakin jauh langkah kaki seorang pencinta maka akan berbanding lurus dengan besarnya kebahagiaan yang ia dapatkan. Karena cinta itu tak terbatas pada Ilahiah dan lebih besar dibandingkan dengan seribu kebangkitan. Kebangkitan itu merupakan sebuah hal yang terbatas sedangkan cinta tak terbatas.
Tak jarang Rumi menggambarkan cinta sebagai rahasia-rahasia Tuhan yang menjadikan sebuah petunjuk bagi manusia untuk mencari kekasihnya. Karena itulah cinta membimbing manusia kepada-Nya. Dan menjaganya dari gangguan orang lain. Cinta kata Rumi adalah astrolabe misteri-misteri Tuhan. Kapan pun cinta, entah dari sisi duniawi maupun sisi langit-Nya, namun pada akhirnya kita akan membawanya ke sana.
Dalam bayangan Rumi, kadangkala cinta digambarkan sebagai api yang melahap segala yang ada di depannya kecuali sang kekasih. Karena itu, cinta Ilahiah dapat menjauhkan kita dari sifat syirik dan mengangkatnya menuju tingkatan tertinggi dari tauhid.
Menurut Rumi, cinta adalah sayap yang mampu menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa dan dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian dari bumi ke angkasa. Bila cinta ini menapakkan kakinya di atas gunung maka gunung pun akan bergembira dan menari dengan riangnya.
Cinta merupakan penyakit, tetapi ia mampu membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit. Apabila seseorang terjangkit penyakit cinta ini, maka ia tidak akan tertimpa penyakit lain lagi, keadaan rohaninya menjadi sehat bahkan nyawa merupakan kesehatan bagi dirinya yang bagi orang lain ingin untuk memilikinya. Demikian beliau menyampaikan pesan lewat syairnya:
“Perih cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta; tiada penyakit yang menyamai duka cinta ini; cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah isyarat dan astrolabium rahasia-rahasia ilahi. Apakah dari jamur laut atau bumi, cintalah yang pada akhirnya menimbang kita ke sana pada akhirnya; akal akan sia-sia bahkan menggelepar untuk menerangkan cinta, bagai keledai dalam lumpur; cinta merupakan penerang bagi pecinta itu sendiri; bukankah matahari yang menyatakan ia adalah matahari, perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana”.
Cinta merupakan sebuah penawar dari kebanggaan dan kesombongan juga pengobat seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta yang sepenuhnya tidak memperhatikan diri. Sesungguhnya cinta menjadi satu-satunya kesadaran transformasi. Dalam syairnya ia berkata:
“Melalui cinta duri jadi mawar, dan melalui cinta cuka menjadi anggur manis, melalui cinta tonggak jadi duri, melalui cinta kemalangan nampak seperti keberuntungan, melalui cinta penjara nampak seperti jalanan yang rindang, melalui cinta tempat perapian yang penuh abu layaknya sebuah taman, melalui cinta api yang menyala bagaikan cahaya yang menyenangkan, melalui cinta setan menjadi Houri, melalui cinta batu keras menjadi sebuah mentega yang lembut, melalui cinta duka menjadi kesenangan, melalui cinta hantu makam menjadi malaikat, melalui cinta sengatan lebah menjadi madu, melalui cinta singa menjadi sejinak tikus, melalui cinta penyakit terasa sehat, melalui cinta sumpah serapah adalah balas kasih”.
Cinta itu layaknya samudra yang tak memiliki tepian, meskipun gelombangnya terdiri dari darah dan api. Sebagai seorang pencinta yang berenang-renang ke sana layaknya seekor ikan yang sedang bersuka ria, seberapa banyak pun ikan itu meminum air di samudra tersebut airnya tidak akan berkurang sedikit pun, karena dalam samudra tersebutlah semua berawal dan berakhir.
Cinta juga dapat dimaknakan sebagai aliran sungai yang deras sehingga mampu untuk membersihkan segalanya, jika ungkapan di atas cinta dapat membersihkan layaknya api maka cinta pun juga dapat membersihkan layaknya air. Sesungguhnya cinta sangat merindukan jiwa-jiwa yang kotor supaya cinta mampu membersihkan noda-noda yang ada dalam diri mereka.
Cinta dapat tampil sebagai kekuatan yang feminim, sebab ia adalah ibu yang melahirkan manusia, cinta merupakan Maryam yang pra-abadi yang mengandung ruh suci dari seorang ibu yang merawat anaknya dengan penuh kelembutan.
Cinta adalah anggur yang sekaligus menjadi pelayan minuman dan meminum racun sekaligus obat penawar ia adalah anggur keras dan membawa manusia menuju keabadian. Akibat anggur seperti itu, “setiap orang akan merasa kepanasan sehingga pakaiannya nampak terlalu ketat dan kemudian ia melepaskan penutup kepalanya dan membuka ikat pinggangnya”. Pecinta akan terisi anggur cinta, bahkan pecinta menjadi botol anggur itu sendiri.
Proses Peningkatan Cinta Rumi
Menurut Abu al-Shiraj cinta terbagi dalam tiga tahapan. Pertama adalah al-Mahabbah al-‘Ãmmah, yaitu cintanya kaum awam, yang berawal dari perilaku baik dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Kedua ialah al-Mahabbah ash-Shãdiqîn al-Muhaqqiqîn, yaitu cinta yang berasal dari perenungan hati tentang kemandirian, cinta yang mampu menghilangkan sekat antara seorang hamba dan Tuhan dengan menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu memenuhi hatinya dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu akan kehadiran-Nya. Ketiga ialah al-Mahabbah ash-Shãdiqîn al-Ãrifîn, yakni cinta yang timbul akibat pengetahuan tentang sifat keazalian dan kemutlakan cinta Tuhan kepada mereka. Karenanya, cintanya para ash-Shãdiqîn al-Ãrifîn itu tanpa ‘illat, tanpa reserve, billãh wa lillãh.
Semenjak kecil Rumi sudah mendapatkan didikan dalam bidang agama yang baik dari ayahnya sendiri yaitu Bahaudin walad juga dari kawan-kawan ayahnya karena ayah Rumi sendiri adalah seorang guru sufi yang cukup terkenal pada waktu itu. Saat usianya masih cukup belia pada waktu itu ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap nilai-nilai religius dalam kehidupan, dalam kondisi inilah ia mengalami cinta pada level yang pertama.
Sepeninggal ayahnya Rumi mengambil peran yang dilakukan sang ayah sebagai seorang guru spiritual di bawah bimbingan Burhanudin murid sang ayah. Rumi yang waktu itu masih berusia dua puluh lima tahun sudah menunjukkan keantusiasannya dalam disiplin keagamaan khususnya sufi. Setelah itu Rumi memutuskan untuk mengajar di Madrasah yang ia pimpin dan mendakwahkan keilmuan Islam kepada murid-muridnya.
Namun kehebatan yang Rumi miliki belum juga memuaskan dahaga jiwanya yang rindu akan kedamaian. Pada titik ini ia menyadari bahwa keilmuan saja tidak cukup untuk mengubah dan mengembangkan kualitas hidup seseorang. Ia mulai yakin bahwa hukum dan akal hanyalah alat yang mudah mendatangkan keburukan. Pada titik ini Rumi sudah mulai tidak tertarik lagi dengan teologi karena menurutnya teologi hanya akan mempersibuk manusia dengan formalitas sehingga mereka mengabaikan makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi memuaskan kaum awam dan menguasai mereka. Pada fase ini Rumi menyelami peningkatan cinta yang kedua.
Pada tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang yang bernama Syamsudin Tabriz, pada titik ini dunia spiritual Rumi mengalami evolusi besar-besaran. Syams dinilai sebagai orang yang memberikan didikan spiritual yang melegakan dahaga Rumi. Walaupun sudah sejak lama Rumi mempelajari sufisme, namun setelah pertemuannya dengan Syams inilah ia semakin yakin untuk melangkahkan kaki dalam dunia kesufian. Pertemuan dengan Syams ini menjadi tingkatan level ketiga bagi Rumi dalam kitab Matsnawi, Rumi menyampaikan pesan dalam Syairnya: “Syams dari Tabriz menunjukkanku jalan kebenaran dan imanku tidak lain adalah anugerah dari-Nya”.
Dalam pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari dari pencarian diri sejatinya, dalam Syair di bawah ini Rumi mengisyaratkan intensitas pencariannya dengan hasil yang mengejutkan dirinya karena ternyata selama ini yang ia cari sudah ada dalam dirinya sendiri:
“Salib dari sudut ke sudut telah kuatasi. Aku bukanlah penganut salib. Rumah berhala telah kukunjungi, kuil kuno pun tak ada rasa yang bisa kutangkap; aku mengunjungi pegunungan Herat dan Kandahar; aku lihat dia tidak sedang di kedalaman jurang maupun di atas pegunungan dengan niat kudaki puncak gunung Qaf; di tempat itu tidak ada apa-apa kecuali “Angga”, kualihkan pencarianku menuju Ka’bah; dia bukan berada di tempat orang tua maupun muda yang mendapat ilham itu. kutanyakan kepada Ibnu Sina tentangnya, dia di luar pengetahuan Ibnu Sina. Aku mengunjungi ruang persidangan; dia tidak ada di pengadilan agung itu, aku tilik ke dalam hatiku di sanalah aku menemukannya; dia tidak ada dimana-mana”.
Syair di atas pada intinya menjelaskan bagaimana perjalanan spiritual yang dialami oleh seorang Rumi dari ruang lingkup eksternal agama hingga inti batinnya. Dalam tahapan inilah rumi menyadari banyak kekurangan tentang ha-hal yang ia anggap hakiki selama ini.
____________
* Penulis: Alumnus Pesantren Nurul Jadid
* Source: LSF Discourse