Home / Agama / Kajian / Syaikh Haji Djalaluddin; Antara Mursyid Tarekat dan Politisi

Syaikh Haji Djalaluddin; Antara Mursyid Tarekat dan Politisi

“Kiprah beliau di Bukittinggi adalah seorang tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang terlibat di PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), penggagas berdirinya PPTI (Persatuan Penganut Tarekat Islam) sebagai organisasi Tarekat dan PPTI (Partai Politik Tarekat Islam) sebagai Partai Politik”.

Oleh: Muhammad Ilham*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Di tepian danau Maninjau, tepatnya di sebuah Nagari kecil ketika itu, Nagari Koto Baru Tigo, Djalaluddin “kecil” dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1882. la lahir dari keluarga religius.

Ayahnya bernama Imam Mentari, seorang guru tarekat Naqsyabandiyyah berasal dari suku Koto, sedangkan ibunya bernama Kambutiyah, wanita sederhana dari suku Piliang. Sang ayah, Imam Mentari, dikenal sebagai pengikut tarekat Naqsyabandiyyah yang cukup terpandang dan sangat disegani di kampung halamannya.

Dari kecil ia membimbing Ludin (panggilan Syekh Haji Djalaluddin waktu kecil) untuk mendapatkan pendidikan agama secara dini dan intens. Ludin dibimbing ayahnya lebih serius ketika ia berusia 12 tahun. Di tepian Danau Maninjau, Ludin menikmati dinamika religius dan kultural masa kecilnya. Intelektualitas Djalaluddin, sebenamya telah terpupuk dan terlihat dari kecenderungannya sejak kecil meraup ilmu pengetahuan secara antusias.

Ludin ketika kecil dikenal sebagai “pribadi kecil” yang haus akan ilmu. Sejak kecil hingga dewasa, Ludin dijuluki oteh teman-temannya “Kutu Buku”. Sebuah julukan yang menunjukkan bagaimana Ludin adalah anak yang sangat rajin membaca. Ia sangat menyukai buku-buku agama di samping buku-buku umum, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelak ia dikenal sebagai ulama yang memiliki pengetahuan dan wawasannya begitu luas tentang agama. Kemampuannya dalam adu argumen dan produktifitasnya dalam menulis (untuk ukuran zamannya) sebenarnya merupakan akumulasi kelebihan seorang pribadi besar yang tidak hanya terbentuk seketika, akan tetapi merupakan sebuah proses panjang dari kecil. Pribadi Ludin “kecil” hingga Syekh Haji Djalaluddin merupakan pribadi yang senantiasa dan selalu “belajar” sepanjang hidupnya.

Pada tahun 1917 dalam usia 35 tahun, Djalaluddin menikah dengan seorang gadis, Rafiqah namanya. Rafiqah berasal dari keluarga sederhana di Nagari Tanjung Batung, Koto Baru, Maninjau. Ukuran usia yang cukup tua, kala itu, untuk membina rumah tangga. Menurut beberapa orang murid dan keluarganya, keterlambatan Djalaluddin membina keluarga karena “masa remaja” yang banyak dihabiskannya untuk belajar sehingga keinginan untuk berkeluarga ternafikan oleh keinginan untuk terus menuntut ilmu. Pada waktu itu Rafiqah berusia 20 tahun, Mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu : Zahara yang sekarang berdomisili di Palembang, anaknya yang kedua berdomisili di Lampung dan yang ketiga Saituni yang sekarang berdomisili di Malaysia.

Tahun 1923 dalam usia 41 tahun, Djalaluddin pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Saat berada di Makkah inilah, Djalaluddin ditalqin oleh Syekh Ali Ridha Jabal Abi Qubis. Dengan ditalqinnya dalam mata rantai Tarekat Naqsyabandiyyah, maka Djalaluddin menganggap bahwa ia telah syah dan memiliki legalitas menjadi pengikut tarikat Naqsyabandiyyah. Di samping itu telah boleh dan berhak memakai gelar Syekh. Syekh Haji Djalaluddin, sebuah gelar prestisius dan bentuk pengakuan tertinggi bagi orang-orang yang memiliki kemampuan pengetahuan agama yang tinggi. Di samping itu, gelar Syekh pada masa itu membutuhkan justifikasi atau legalitas dari pusat agama Islam. Belum lengkap posisi dan peran penting seorang ulama apabila belum memilki gelar Syekh yang dianugerahkan dari Makkah al-Mukarramah.

Pulang dari tanah suci, Syekh Haji Djalaluddin kemudian berusaha secara maksimal untuk menyebarkan dan mensosialisasikan ajaran-ajaran tarikat Naqsyabandiyyah di kampungnya. Tanggung jawab moral gelar Syekh yang diembannya dari Syekh Ali Ridha Jabal Abi Qubis menuntut beliau secara konsisten menegakkan eksistensi Tarekat Naqsyabandiyyah ini di Minangkabau. Dan sebagai langkah awal sepulangnya dari Mekkah, ia mulai dari kampung halamannya.

Tahun 1926, istrinya, Rafiqah meninggal dunia. Satu tahun kemudian (1927), Syekh Haji Djalaluddin menikah untuk kedua kalinya dengan gadis senagari dengannya yang bernama Nursiam. Gadis sederhana dari keluarga sederhana. Pada waktu itu, Nursiam berumur 24 tahun. Dari perkawinannya yang kedua ini dia memperoleh lima orang anak, yakini Abdul Halim Jalal, sekarang menjadi seorang pengusaha di Jakarta, anak kedua bernama Habibah, seorang akademisi, yang sekarang ini mengelola Universitas Panca Budi di Medan. Kemudian anak yang ketiga, Alida, berdomisili di Malaysia, bersama kakaknya lain Ibu, Sartuni. Anak keempat adalah Aruati, seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta serta anaknya yang terakhir bernama Nasrul Djalal, menjadi seorang wiraswastawan di Jakarta.

Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, pendidikan awal didapatkan Syekh Haji Djalaluddin dari bimbingan ayahnya, Imam Mentari dan pendidikan keluarga serta bimbingan adat kaumnya. Sebagai seorang anak guru tarekat, Syekh Haji Djalaluddin telah dididik untuk mendalami ilmu agama dan juga diperkenalkan dengan tarekat Naqsyabandiyyah sejak ia berusia dini, 12 tahun.

Interaksi yang cukup intens dengan tarekat Naqsyabandiyyah sejak usia dini membuat Djalaluddin “kecil” sangat mencintai amalan dan ajaran­-ajaran tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiyyah. Meskipun saat itu ia ditertawakan oleh orang lain, tetapi ia mempunyai keinginan dan kemauan yang kuat untuk “bertemu” dengan Allah SWT melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual dan kontemplasi sebagaimana halnya ditemui dalam “dunia” tarekat. Untuk memenuhi keinginan dan hasrat hatinya, pada usia 13 tahun ia berguru kepada Imam Sati, seorang guru tarekat Naqsyabandiyyah.

Setelah mengenal ilmu-ilmu agama yang dominan diketahuinya melalui media tarekat, Syekh Haji Djalaluddin “kecil” dimasukkan oleh ayahnya ke Sekolah Rakyat (SR) di nagarinya. Di Sekolah Umum ini, Djalaluddin tergolong anak yang pintar. Kebiasaan untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan membuat ia tidak kesulitan dalam mendalami pelajaran di sekolah. Djalaluddin belum merasa puas dengan ilmu-ilmu yang diperolehnya, apalagi ilmu agama. Setelah berusia dua puluh tahun, Djalaluddin diantar oleh Imam Sati untuk mempelajari ilmu tarekat kepada Syekh Abdullah di Koto Baru, Maninjau. Sejak itu, mulailah Djalaluddin berpetualang dari satu guru ke guru lainnya.

Setelah belajar dari Syekh Abdullah di Koto Baru, ia juga berguru pada Syekh Muhammad Said Bonjol di Pasaman. Atas usulan dari para gurunya ini, Djalaluddin kemudian berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Abdul Djalil. Perjalanan avountourir-nya ini digambarkan Syekh Haji Djalaluddin kemudian dalam majalah Sinar Harapan. la mengatakan:

“Guru saya yang pertama tempat mempelajari tarekat yaitu Syekh Abdul Djalil di negeri Samalanga Aceh. Selanjutnya saya mempelajari tarekat tersebut pada Syekh Muhammad Haris di Banten yang mana beliau tersebut dibuang Belanda ke Bukittinggi. Kemudian saya arungi lagi lautan tarekat di Suralaya Tasikmalaya Jawa Barat, yakni saya bergaul dengan seorang anak muda Abah” (Syekh Muda Haji Ahmad Syahibulwafa Tajul Arfin)”.

Ketika Djalaluddin berada di Aceh, ia juga menuntut ilmu di lembaga formal yakni di Sekolah Guru. Setelah kemerdekaan, oleh Pemerintah Indonesia ia diangkat menjadi guru Sekolah Rakyat di Pariaman, kemudian dipindahkan ke Kamang Bukittinggi. Ketika bertugas di Pariaman, Syekh Haji Djalaluddin rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan oleh Syekh Sulaiman Ar-­Rasuli, ulama kharismatik Minangkabau kala itu, yang datang kesana atas permintaan masyarakat.

Setelah pindah ke Kamang Bukittinggi, Syekh Haji Djalaluddin banyak bergaul dengan pemimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan ulama-ulama tarekat. Dengan ulama-ulama tarekat tersebut, ia juga belajar lebih dalam tentang tarekat Naqsyabandiyyah. la juga pernah menjabat sekretaris umum PERTI dan menjadi “tangan kanan” H. Siradjuddin Abbas, terutama dalam mengasuh majalah Soearti sebagai redaktur. Bahkan ia akrab dengan sesepuh PERTI Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Syekh Haji Djalaluddin pernah mengganti­kan ulama kharismatik ini memberikan pengajian di Masjid Gobah Tilatang Kamang.

Pengalaman yang sangat mengesankan bagi Syekh Haji Djalaluddin dalam usahanya menuntut ilmu terutama ilmu mengenai tarekat Naqsyabandiyyah adalah ketika ia ditalqin oleh Syekh Ali Ridha Jabal Abi Qudis di Mekkah. Syekh Haji Djalaluddin mengatakan:

“Tahun 1923, saya cuti selama 10 bulan di luar tanggungan negara yaitunya untuk menunaikan ibadah haji dan juga untuk menziarahi kuburan ibu saya. Saya bernazar jika sampai ke Mekkah wajib atas saya mengulang sekali lagi menerima talqin tarekat Naqsyabandiyyah. Kalau tidak disebabkan nazar yang syah, Syekh Ali Ridha Jabal Qudis, tidak bersedia untuk mentalqinkan tarekat Naqsyabandiyyah kepada saya”.

Kiprah politik terlihat nyata ketika Syekh Haji Djalaluddin berusaha menyatukan pengikut-pengikut tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiah di Minangkabau dalam sebuah organisasi yang diberinya nama Persatuan Penganut Tarekat Islam (PPTI).

Rencana untuk mendirikan organisasi ini sebenarnya telah dimulai oleh Syekh Haji Djalaluddin sejak tahun 1920, namun baru tahun 1945 niat tersebut terwujud. Rencana ini dimulai ketika PERTI mengadakan konferensi yang dilaksanakan di Bukittinggi pada tanggal 24 s/d 26 Desember 1945. Pertemuan ini dihadiri ulama-ulama PERTI dan guru-­guru tarekat. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan Syekh Haji Djalaluddin untuk menemui utusan ulama-ulama PERTI dan guru-guru tarekat yang sepaham dengannya. Dan usahanya ini berhasil.

Sehari sebelum Konperensi PERTI dilaksanakan, tanggal 23 Desember 1945 bersama-sama dengan teman-temannya yang sepaham dengan beliau membentuk Persatuan Tarekat Islam Malaya (PTIM). Pengambilan nama Malaya didasarkan kepada kenyataan bahwa dukungan yang paling banyak didapatkan oleh Syekh Haji Djalaluddin adalah dukungan dari ulama-ulama dan guru-guru tarekat di Malaya. Namun supaya tidak terkesan diskriminatif dan tidak nasionalis, pada akhirnya PTIM dirobah menjadi Persatuan Penganut tarekat Islam (PPTI).

PPTI selanjutnya berobah statusnya menjadi Partai Politik. Perubahan ini beradasarkan himbauan Wakil Presiden Republik Indonesia, Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 23 November 1945 yang memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik sesuai dengan alam demokrasi pada saat itu. PPTI yang berstatus sebagai organisasi sosial keagamaan kemudian berobah menjadi partai politik dengan nama Partai Politik Tarekat Islam (PPTI).

Di bawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin, perubahan organisasi PPTI dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik tentu saja membawa implikasi positif bagi perkembangan PPTI yang pada mulanya hanya merupakan organisasi yang bersifat lokal, dan ini tertuang dalam misi PPTI diantaranya: Karena status partai-partai politik dalam suatu negara adalah bersifat nasional, maka mau tak mau PPTI harus meningkatkan levelnya sebagai partai nasional.

PPTI harus melebarkan sayapnya ke seluruh Indonesia serta harus membentuk Dewan-Dewan Pengurus Daerah dan juga harus memperbanyak anggotanya, terutama di luar Minangkabau. Karena PPTI merupakan organisasi atau partai politik yang bersifat nasional, maka PPTI harus memindahkan pusat kegiatannya dari Bukittinggi ke Jakarta. Pemin­dahan pusat PPTI ini ke Jakarta baru dapat dilaksanakan sepenuhnya setelah Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Sejak itu Dewan Pengurus yang berada di Bukit tinggi berubah menjadi Dewan Pengurus daerah.

PPTI harus mampu menyiapkan kader-kader politik dan organisatornya harus berbobot karena kompetisi yang sangat kompetitif untuk memasuki lembaga eksekutif dan legislatif. PPTI harus memelihara, menjaga dan memegang teguh kepribadian sebagai partai politik dan tidak mudah terpengaruh dengan gelombang-gelombang politik.

Ketika revolusi fisik berlangsung, PPTI ikut serta dalam memikul tanggung jawab dengan membentuk barisan perjuangan rakyat yang dinamakan Barisan Tentara Allah. Sebuah nama yang sangat perenialis. Kontribusi organisasi ini dalam melawan penjajah cukup berarti. Barisan Tentara Allah ini dikomandani langsung oleh Syekh Haji Djalaluddin.

Dalam perjuangan pada masa revolusi fisik tersebut, banyak anggota PPTI yang gugur, diantaranya:

1. Syekh Ismail al-Khalidi, gugur di Palangki Sijunjung,
2. Haji Ibrahim, gugur di Padang Sibusuk,
3. Haji Umar, gugur di Lubuk Basung,
4. Bahar Munaf, gugur di Tabing Padang,
5. Singa Barantai, gugur pada waktu Agresi Belanda II, dan
6. Zainuddin, gugur di Batu Sangkar.

Dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdirinya PPTI, anggota PPTI telah bertambah. Dengan bertambahnya para anggota PPTI ini otomatis banyak dibentuk cabang-cabang PPTI di beberapa daerah diantaranya: Kalimantan, Sulawesi Selatan, Tapanuli Selatan dan Tanjung Karang, Lampung. Syekh Haji Djalaluddin mengklaim bahwa pada tahun 1952 anggota PPTI telah berjumlah 5.000.000 orang, bahkan tahun 1954 telah mencapai 7.500.000 orang. Puncak dari perjuangan politik PPTI terlihat ketika PPTI masuk ke dalam lembaga DPRS/MPRS Pusat di Jakarta setelah Pemilihan Umum I, tahun 1955. Syekh Haji Djalaluddin berhasil menduduki “kursi” yang merupakan jatah dari PPTI.

“Kepandaian dan insting politik” Syekh Haji Djalaluddin juga cukup tinggi. Syekh Haji Djalaluddin berhasil menjalin hubungan baik dengan Presiden Soekarno. Salah satu usahanya dalam menyebarkan tarekat Naqsyabandiyyah adalah memberikan nama Tarekat Sukarnowiyah. Suatu usaha yang bisa dilihat dari dua sisi, pragmatis dan keluwesan dalam berpolitik. Hal ini membuat banyak khalifah-khalifah tarekat Naqsyabandiyyah mengakui keunggulan Syekh Haji Djalaluddin dan kemudian masuk PPTI dengan alasan keamanan.

Jiwa “kompromis” juga terlihat ketika Syekh Haji Djalaluddin menjalin hubungan baik dengan organisasi Muhammadiyah. Syekh Haji Djalaluddin menghibahkan tanahnya untuk dibangun sebuah masjid yang kemudian diberi nama Baitul Jalal (Rumah Syekh Haji Djalaluddin). Sejak berdiri tahun 1957, masjid tersebut dikelola oleh organisasi Muhammadiyah yang berlokasi di Aua Tajungkang Bukittinggi.

Setelah 15 tahun PPTI berstatus sebagai partai politik, akhirnya PPTI kembali ke khittah, yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. Hal ini disebabkan karena keluarnya himbauan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyederhanakan jumlah partai di Indonesia. Maka PPTI yang semula partai politik berubah menjadi Persatuan Pengamal Tarekat Islam. Aspirasi politik mereka salurkan kepada Golongan Karya (Golkar), suatu hal yang logis dan pragmatis pada waktu itu.

Kemudian pada tahun 1975, PPTI mengalami konflik internal. Hal ini disebabkan karena Syekh Haji Djalaluddin sudah sepuh (waktu itu beliau berusia 89 tahun). Akibatnya, ada sebagian anggota PPTI ingin kembali ke nama semula, Persatuan Penganut Tarekat Islam dan di lain pihak lahir pula nama Persatuan Pembela Tarekat Islam. Untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berkonflik tersebut, akhirnya Golkar (organisasi peserta pemilu yang salah satu onderbouw-nya adalah PPTI) terpaksa “turun tangan” dan menyatukan kembali dalam Persatuan Pembina Tarekat Islam (PPTI juga). Namun perpecahan internal tersebut, walaupun telah mampu didamaikan oleh Golkar, tetap menjadi potensi konflik yang potensial.

Potensi konflik ini menunjukkan bahwa kejayaan PPTI selama di bawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin tidak mampu dipertahankan oleh para penggantinya. Syekh Haji Djalaluddin sebagai pendiri PPTI memimpin organisasi ini dengan berbagai dinamika, berbagai suka duka, dan berbagai “trik politik” yang pada dasarnya sebagai perwujudan kecintaan beliau terhadap Islam dan organisasi yang dipimpinnya, sejak mulai berdiri hingga tahun 1975. Karena sudah dianggap sepuh, pimpinan PPTI diambil alih oleh Azwar St. Amiruddin, dari kalangan famili Syekh Haji Djalaluddin.

Dalam bukunya yang berjudul Seribu Satu Wasiat Terakhir, Syekh Haji Djalaluddin mengemukakan silsilah tarekat Naqsyabandiyyah. Silsilah ini menjadi justifikasi bagi Syekh Haji Djalaluddin untuk mengembangkan ajaran tarekat tersebut. Ia mengatakan bahwa rahasia tarekat ini diturunkan oleh Allah SWT, dengan perantaraan malaikat Jibril kepada:

  • 1. Nabi Muhammad SAW, Rasul terakhir yang kemudian beliau turunkan kepada:
  • 2. Abu Bakar Shiddiq, kemudian diturunkan kepada:
  • 3. Salman al-Farisi, diturunkan kepada:
  • 4. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq, diturunkan kepada:
  • 5. Imam Ja’far ash-Shadiq, diturunkan kepada:
  • 6. Abu Yazid al-Busthami, diturunkan kepada:
  • 7. Abu Hasan al-Kharqani, diturunkan kepada:
  • 8. Abu Ali al-Farimadi, diturunkan kepada:
  • 9. Abu Ya’kub al-Hamdani, diturunkan kepada:
  • 10. Syekh Abdul Khaliq al-Ghajduwani, diturunkan kepada:
  • 11. Syekh Arif Rijukari al-Riwy, diturunkan kepada:
  • 12. Syekh Mahmud Arifin Faghnawi, diturunkan kepada:
  • 13. Syekh Azizan al-Ramithani, diturunkan kepada:
  • 14. Syekh Muhammad Baba Samasi, diturunkan kepada:
  • 15. Syekh Amir Syahid Khulal al-Bukhari, diturunkan kepada:
  • 16. Syekh Bahauddin Naqsyabandiy, diturunkan kepada:
  • 17. Syekh Muhammad Alauddin Athari, diturunkan kepada:
  • 18. Syekh Ya’kub Jarkhi, diturunkan kepada:
  • 19. Syekh Ubaidillah Samarqandy, diturunkan kepada:
  • 20. Syekh Muhammad Zahid al-Bukhari, diturunkan kepada:
  • 21. Syekh Darwisy Muhammad Samarqandiy, diturunkan kepada:
  • 22. Syekh Muhammad Khaujaki Amakanaki, diturunkan kepada:
  • 23. Syekh Muhammad Baqi Billahi, diturunkan kepada:
  • 24. Syekh Muhammad Faruqi Sirhindiy, diturunkan kepada:
  • 25. Syekh Muhammad Ma’shum al-Urwatil Wutsqa, diturunkan kepada:
  • 26. Syekh Syaifuddin Sirhindiy, diturunkan kepada:
  • 27. Syekh Nur Muhammad Badwani, diturunkan kepada:
  • 28. Syekh Muhammad Habibullah Jani Janani, diturunkan kepada:
  • 29. Syekh Abdullah Dahlawiy, diturunkan kepada:
  • 30. Syekh Khalid al-Utsmaniy al-Kurdy al-Baghdadiy, istiqomah di Jabal Qubis, diturunkan kepada:
  • 31. Syekh Abdullah al-Afandi, istiqomah di Jabal Qubis, diturunkan kepada:
  • 32. Syekh Sulaiman al-Qarimi, istiqomah di Jabal Qubis, diturunkan kepada:
  • 33. Syekh Sulaiman Zuhdi, istiqomah di Jabal Qubis, diturunkan kepada:
  • 34. Syekh Ali Ridha, istiqomah di Jabal Qubis, diturunkan kepada:
  • 35. Semoga Allah melimpahkan pula tarekat ini kepada Syekh Haji Djalaluddin, diturunkan kepada:
  • 36. Siapa-siapa yang dikehendaki Allah SWT.

Di samping menyusun silsilah di atas, untuk memperkuat legitimasinya dalam menyebarkan dan mensosialisasikan tarekat Naqsyabandiyyah, salah satu keunikan dari Syekh Haji Djalaluddin adalah memberikan gelar Doktor Rohani kepada khalifah. Doktor Rohani ini diberikan kepada khalifah yang telah berhasil mendalami falsafah Tauhid Ma’rifatullah. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh guru­-guru tarekat lainnya.

Gelar Doktor Rohani ini diberikan oleh Syekh Haji Djalaluddin kepada beberapa orang anggota PPTI, diantaranya:

  • 1. Syekh Abdul Rahman Qodir (62 tahun) dari Majene Sulawesi Selatan,
  • 2. Syekh Muhammad Ali daeng Tula (62 tahun) dari Makassar Sulawesi Selatan,
  • 3. Syekh Muda fansuri (30 thn) dad Banjarmasin,
  • 4. Syekh Muda Darkasyi (40 thn) dari Banjarmasin,
  • 5. Syekh Muda La Beranti (50 thn) dari Sulawesi Tenggara,
  • 6. Syekh Muda La Ode Abdul Halim, dari Sulawesi Tenggara,
  • 7. Syekh Zakaria Syach (61 thn) dari Curup Bengkulu,
  • 8. Syekh Khalid Syach (50 thn) dari Kalimantan,
  • 9. Syekh Mustari M. (27 thn) dari Makassar,
  • 10. Syekh Haji Sobarna (73 thn) dari Cianjur Jawa Barat,
  • 11. Syekh Haji Muhammad Yunus (50 thn) dari Tanjung Karang Lampung,
  • 12. Syekh Muda Abdul Latief (60 thn) dari Lampung,
  • 13. Syekh Haji Mustafa Zuhri (70 thn) dari Sulawesi Selatan, dan
  • 14. Syekh Muda Khatib Berlian (60 thn) dari Sulawesi Selatan.

Syekh Haji Djalaluddin juga menyandang gelar kehormatan tersebut pada tahun 1953 dalam Kongres PPTI yang dilaksanakan di Medan. Kongres ini dibuka oleh Menteri Agama RI, KH. Syaifuddin Zuhri. Sebagai tamu kehormatan, ia diminta untuk mengalungkan gelar Doktor Rohani berupa bintang emas, padahal Menteri Agama tidak mengetahui adanya pemberian gelar tersebut. Kemudian parlemen RI mengetahui permasalahan ini dan meminta pertanggungjawaban Menteri Agama RI yang telah mengalungkan bintang emas Doktor Rohani kepada Syekh Haji Jalaluddin, karena pemberian gelar tersebut berbeda dengan cara-cara yang biasa dilakukan atau diberikan oleh suatu perguruan tinggi. Kemudian pada akhimya kontroversi ini diredam dan diselesaikan.

Dalam menyebarkan tarekat Naqsyabandiyyah, Syekh Haji Djalaluddin banyak melakukan inovasi-inovasi terhadap ajaran-ajaran tarekat tersebut. Pengikut-pengikut Syekh Haji Djalaluddin mayoritas berada di luar Minangkabau seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Lampung. Kalau kita lihat jumlah orang yang mendapatkan gelar Doktor Rohani dari Syekh Haji Djalaluddin, pada umumnya berasal dari luar Minangkabau. Di Minangkabau sendiri, pemikiran Syekh Haji Djalaluddin tidak mendapat tempat di tengah­-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan ajaran-ajaran tarekat yang ditulis Syekh Haji Djalaluddin, menurut ulama-ulama Minangkabau pada masa itu, banyak mengandung kesalahan. Pernah para ulama-ulama yang berasal dari PERTI mengadakan konperensi untuk mengeluarkan keputusan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Syekh Haji Djalaluddin.

Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan rekan-rekannya menerbitkan Tabligh Amanah hasil dari konferensi yang mereka adakan tersebut dan memutuskan: Bahwa buku-buku yang dikarang oleh pengarang tersebut (maksudnya buku-buku yang dikarang Syekh Haji Djalaluddin: ed.) yang berkenaan dengan tarekat banyak mengandung kesalahan. Bahwa yang membaca buku-buku itu diharamkan bagi orang-orang yang belum dapat membedakan antara yang salah dan yang benar sebagaimana tersebut dalam buku-buku itu. Adapun membaca buku-buku agama lain seperti Kristen tidaklah haram, karena sudah diketahui salahnya. Adapun buku-buku tersebut seumpama musang berbulu ayam. Bahwa menaruhkan (menyimpan: ed.) buku-buku tersebut adalah haram jikalau tidak dicoret mana­-mana yang salah. Wajib memberikan kepada orang lain yang belum tahu bahwa isi buku tersebut banyak mengandung kesalahan.

Walaupun Syekh Sulaiman ar-Rasuli (teman Syekh Haji Djalaluddin ketika sama-sama di PERTI) telah memberikan nasehat dan teguran secara pribadi kepada Syekh Haji Djalaluddin, bahkan Syekh Haji Djalaluddin pernah mengakui kesalahannya di depan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, namun Syekh Haji Djalaluddin balik menuding dan menuduh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang mengarang Tabligh Amanah memutarbalikkan fakta. Menurut Syekh Haji Jalaluddin, Syekh Sulaiman ar-Rasuli memutar balikkan keterangan-keterangan dan susunan tulisannya serta memotong keterangan-keterangan tersebut di sana-sini. Hal ini, kata Syekh Haji Djalaluddin justru memberikan gambaran yang tidak sebenarnya dari apa yang dimaksudkan. Keseriusan Syekh Haji Djalaluddin dalam membela pendapatnya terlihat ketika ia menjanjikan untuk memberikan hadiah bagi orang yang dapat membatalkan ajaran tarekat Naqsyabandiyyah.

Akan tetapi, uang hadiah yang dijanjikan oleh Syekh Haji Djalaluddin tersebut tidak pernah diberikan kepada siapapun. Hal ini karena tidak pemah dibentuk Dewan Juri untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, walaupun banyak tulisan-tulisan yang menyanggah buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin tersebut. Ketegangan antara Syekh Haji Djalaluddin dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli serta para pengikutnya, bahkan terkesan semakin meluas. Pertentangan yang terjadi bukan lagi pertentangan pemikiran antara dua figur ini, tapi sudah meluas kepada konflik pemikiran lintas organisasi yaitu pertentangan pemikiran antara PERTI dengan PPTI, ­sama-sama berasal dari Kaum Tua Minangkabau.

Walaupun Syekh Haji Jalaluddin mendapat kritikan dari ulama-ulama Kaum Tua Minangkabau, ia berhasil menyatukan pengikut tarekat Naqsyabandiyyah dalam organisasi PPTI yang kemudian berobah menjadi partai politik. Suatu prestasi yang cukup mengagumkan. Tapi sayang, Syekh Haji Djalaluddin tidak mampu mengembangkan ketokohannya serta organisasi yang dipimpinnya secara maksimal di Minangkabau. Ketokohan Syekh Haji Djalaluddin justru banyak diterima di luar Minangkabau. Dari penjelasan sebelumnya, telah dipaparkan bahwa Syekh Haji Djalaluddin merupakan seorang ulama yang sangat produktif dalam mengeluarkan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan. Hal ini terlihat dari buku-buku karangannya yang banyak diterbitkan.

Buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin yang diterbitkan sekarang (pada umumnya terbitan anumerta setelah Syekh Haji Djalaluddin wafat: ed.) telah ditransliterasikan dari ejaan Arab Melayu kepada EYD (ejaan yang disempurnakan). Buku-buku tersebut diterbitkan oleh organisasi PPTI di Ujung Pandang (Makassar sekarang), Sulawesi Selatan antara lain: Tulisan-tulisan beliau yang berserakan dalam Majalah Sinar Keemasan, kemudian dibukukan menjadi dua jilid. Buku-buku ini berisikan tentang amalan-amalan dalam tarekat Naqsyabandiyyah berupa suluk, wasilah, rabithah, tawajjuh dan juga dijelaskan bagaimana pula teknik pengamalan zikir dan silsilah tarekat tersebut sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh sentral tarekat tersebut.

Buku Penutup Umur (BPU) dan Seribu Satu Wasiat Terakhir. Buku ini berisi tentang tasawuf dan tarekat. Riwayat Bangkai Berjalan Orang Mati Kembali Hidup. Dalam buku ini diceritakan bagaimana eksistensi kehidupan manusia di dunia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Apabila manusia lalai dan tidak lagi melaksanakan zikir kepada Allah SWT, maka ia dipandang sebagai bangkai berjalan. Sebab keberadaan manusia di bumi senantiasa dipenuhi oleh zikir sebagai manifestasi ketundukan dan rasa patuh manusia kepada penciptanya.

Kemudian, ada juga buku Politik Syetan (Iblis) Memperdaya Ummat Manusia, isinya tentang bagaimana tipu daya yang dilakukan oleh syetan untuk menjerumuskan manusia agar jauh dari jalan Allah SWT dan diuraikan pula cara-cara untuk mengantisipasi godaan-godaan syetan tersebut. Wasiat Suami Istri Untuk Mendapatkan Anak Sholeh. Dalam buku ini Syekh Haji Djalaluddin memberikan nasehat apa-apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri untuk mendapatkan anak sholeh dalam suatu perkawinan serta bagaimana membentuk keluarga yang sakinah.

Kemudian, ada buku yang berjudul Pertahanan Tarekat Naqsyabandiah, buku tersebut merupakan buku apologetik yang berisikan tentang pembelaan yang dilakukan oleh Syekh Haji Djalaluddin dari kritikan-kritikan dan kecaman-kecaman yang datang dari ulama-ulama tarekat, khususnya ulama-ulama Minangkabau, seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Rahasia Mutiara Tarekat Naqsyabandiah, memuat uraian tentang tarekat Naqsyabandiah. llmu Ketuhanan Yang Maha Esa, juga berisikan tentang uraian tarekat Naqsyabandiah. Buku-buku karangan Syekh Haji Djalaluddin ini dikenal sebagai karya tulis yang banyak mengundang kritikan, baik yang bersifat apologetik maupun polemik.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

______________

  • Bahan bacaan diambil dari data-data mentah yang berasal dari Sri Ratna Wati (Skripsi, 1997)
  • Penulis adalah Dosen Jurusan SKI di Fakultas Ilmu Budaya-Adab, IAIN Imam Bonjol, Padang.

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...