Tewasnya Santoso di tangan TNI di hutan poso Sulawesi meninggalkan pertanyaan besar di kalangan ummat Islam, apakah Santoso tergolong mati syahid atau tidak. Ada yang meyakini bahwa Sontoso adalah syahid, tentu surga tempatnya dengan berbagai alasan. Orang yang berkeyakinan bahwa Santoso mati syahid salah satunya Jonru. “Santoso boleh dituduh teroris. Namun fakta pada video yang saya temukan pada akun FB seorang teman ini justru membuktikan hal yang berbeda. Terus-menerus berkeringat, tubuh lemas tidak kaku, dan wajah tersenyum, adalah beberapa ciri dari orang yang meninggal sebagai syuhada,” tulis Jonru seperti dikutip, Senin, 25 Juli 2016.
“Matinya seorang mukmin adalah dengan berkeringat dahinya.” (HR. Ahmad, AN-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu MAjah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan ath-Thayalusi dari Abdullah bin Mas’ud). Sungguh, di negeri ini banyak orang baik yang dituduh teroris. sedangkan teroris yang sebenarnya justru tetap bebas berkeliaran di luar sana,” tambahnya. (Post-Metro)
Ada juga yang berkeyakinan bahwa Santoso tidak termasuk mati syahid, bahkan termasuk kematian yang sia-sia. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Ahmad Syafii Maarif menegaskan bahwa klaim-klaim simpatisan paham kekerasan terorisme bahwa teroris Santoso mati syahid itu salah besar. Artinya syahid itu hanya versi mereka, bukan syahid yang sesuai dengan ajaran islam rahmatan lil alamin.
“Menurut mereka (teroris) tapi itu syahid yang dibuat-buat. Itu terjadi karena teroris itu menganut teologi sesat. Dia sudah membunuh banyak orang, tentara dibunuh, orang islam dibunuh, dan banyak lagi masyarakat yang tidak salah dibunuh. Apakah itu syahid?” kata Buya Syafii Maarif dalam Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS Bersama Muhammadiyah di Yogyakarta, kemarin. (Republika)
Kalau saya ditanya apakah Santoso mati syahid atau bukan, saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut karena urusan syahid atau tidak itu adalah wewenang Allah SWT. Manusia hanya bisa menilai berdasarkan batas kemampuannya dan tentu pendapat tersebut bukan kebenaran mutlak.
Lewat tulisan ini saya ingin mengajak sahabat semua untuk merenungi kembali makna syahid, yang selama ini diartikan semata-mata sebagai orang yang mati dalam Jihad, berjuang di jalan Allah. Saya memaknai Syahid dalam padangan sufi sesuai dengan ilmu yang saya pahami. Sebenarnya judul awal tulisan ini “Syahid Dalam Pandangan Sufi” agar nanti orang tidak terjadi perdebatan panjang, kemudian saya persingkat menjadi “Syahid” saja, tentu tetap definisi syahid dalam pandangan sufi.
Secara umum Syahid (kata tunggal Bahasa Arab: شَهيد, sedangkan kata jamaknya adalah Syuhada, Bahasa Arab: شُهَداء) merupakan salah satu terminologi dalam Islam yang artinya adalah seorang Muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah.
Syahid dalam arti lain adalah menyaksikan atau memandang. Hakikat Syahid adalah telah sampai kepada memandang atau menyaksikan Wajah Allah SWT. Inilah pahala tertinggi bagi seorang hamba yaitu menyaksikan keagungan wajah-Nya. Bukankah pahala tertinggi bagi penduduk surga adalah menyaksikan wajah Allah?
Orang yang bersungguh-sungguh di jalan Allah (Mujahadah) atau berjihad akan mendapat sebuah penghargaan sangat tinggi dari Allah yaitu Syahid, dimana Allah memperkenalkan hamba untuk menyaksikan wajah-Nya.
Berdasarkan definisi ini, tentu kita tidak berani menduga-duga apakah Santoso atau orang lain sampai ke tahap Musyahadah (Menyaksikan) atau meninggal dalam keadaan gelap tanpa cahaya-Nya. Orang yang bisa menyaksikan di akhir hayat tentu orang yang telah berulang kali dan setiap saat menyaksikan dikala hayat masih di kandung badan. Menyaksikan di akhir hayat ibarat seperti sebuah ujian akhir, menentukan lulus atau tidak seorang hamba.
Sama halnya jika kita maknai hadist Nabi barangsiapa yang mengucapkan Kalimah Taybah di akhir kalam maka dijamin masuk surga. Tentu orang yang bisa mengucapkan kalimah tersebut adalah orang yang dalam keseharian setiap saat menyebut menyebut nama Allah, kebetulan di akhir ucapannya terucap juga nama yang sering disebut dalam keseharian. Tidak mungkin orang yang sehari hari tidak pernah berzikir, tidak pernah bersyahadat tiba-tiba di akhir hayat mengucapkan syahadat.
Seperti dalam tulisan yang lalu “Buta Mata Hati” bahwa Syahadat itu menjadi sah dan sempurna setelah sampai kepada maqam musyahadah, benar-benar telah menyaksikan bukan hanya sekedar mengucapkan. “Tidak ada mobil yang paling bagus selain Mercy” hanya sah di ucapkan oleh orang yang telah melihat, menyentuh atau pernah mengendarai Mercy, barulah haqqul yakin. Kalau hanya sekedar mengucapkan maka semua orang dengan mudah mengucapkan, mengalun-alunkan dengan merdu namun ketika ditanya bagaimana Mercy bagus yang anda maksud, dia tidak bisa menjawab sama sekali.
Jadi syahadat di akhir hayat dan syahadat di dalam hayat, di dalam keseharian harus benar-benar terjadi, bukan hanya sekedar di ucapkan sehingga kita tidak tergolong kepada orang yang bersaksi palsu.
Kembali kepada Syahid, di zaman Nabi perintah perang atau berjihad itu langsung keluar dari mulut Nabi, sudah pasti perintah tersebut berasal dari Allah karena tidak mungkin Nabi mengucapkan sesuatu tanpa persetujuan dari Allah. Karena perintah dari Allah maka jaminan Syahid itu pasti di dapat. Kemudian hari perintah Jihad itu keluar dari ulama yang mempunyai kontak rohani dengan Nabi, sehingga nilai syahid itu juga mendapat garansi. Namun pertanyaan sekarang siapa yang menyuruh melakukan teror, membunuh dan menyakiti sesame muslim? Apakah perintah tersebut keluar dari seorang yang dekat dengan Allah yang kontak rohaninya tersambung langsung dengan Rasulullah SAW? Atau perintah tersebut keluar dari hati yang dipenuhi oleh setan, kebencian dan keputus-asaan sehingga kalau mati dalam mengikuti perintah itu langsung disambut oleh setan yang dengan sabar menunggu jiwa-jiwa tersesat.
Jika ingin mendapatkan Syahid, cara terbaik adalah dengan bermujahadah (Berjihad terus menerus) melawan hawa nafsu (Jihad Akbar), melawan setan yang bersemayam dalam dada setiap insan, sampai Allah berkenan membukakan hijab sehingga tersikap tirai penghalang yang selama ini menutupi hati kita sehingga tidak bisa menyasikan keagungan-Nya. Jika hal ini telah kita alami maka akhir hayat hanya menunggu saatnya tiba saja, sedangkan SYAHID telah lebih dulu kita dapat.
Semoga Bermanfaat…