HARI kesaktian Pancasila, merupakan produk politik rezim Orde Baru. Ini adalah antitesa dari peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yaitu G30S/PKI. Dari titik inilah rangka bangun pemerintahan Orde Baru ditegakkan. Meski akhirnya pada tahun 1998, kita sepakat untuk menumbangkan rezim ini, namun tak satupun dari kita mempertanyakan, apalagi menggugat “kesaktian Pancasila”.
Mungkin jauh di kedalaman alam bawah sadar, kita sangat meyakini dan menyepakati frasa ini. Mungkin Pancasila sejatinya adalah kita. Nilai-nilainya secara genetis mengalir deras dalam nadi rakyat Indonesia. Hanya memang, manusia-manusia tidak bertanggung jawab kerap menunggangi nilai-nilai ini demi kepentingan pribadi yang bersaifat sesaat. Ini sebabnya, setiap bertemu hari kesaktian Pancasila, sebagian kita hanya menolak konteksnya, namun kita tidak mungkin mengingkari esensinya.
Menurut Bung Karno, Pancasila yang merupakan landasan ideologi bangsa itu, merupakan nilai-nilai kebudayaan yang digali dari masa ribuan tahun lalu dari tanah nusantara, bukan diimpor dari negeri antabarantah. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dideklarasikan oleh founding father kita, bukanlah negara cangkokan. Bukan sebuah produk impor yang dipaksakan untuk diterima oleh semua lapisan suku, agama, ras, dan golongan di negara ini. NKRI hanyalah sebuah bingkai. Lukisannya sudah ada, yaitu kebhinekaan yang terobjektivikasi dalam nilai berkebudayaan dengan tingkat toleransi sangat tinggi. NKRI hanya sentuhan kuas terakhir untuk membingkai kebudayaan ini agar solid, lestari dan adaptif.
Oleh sebab itu, mempersoalkan perbedaan di NKRI ini adalah perkara yang sangat sulit diterima akal sehat manapun. Apalagi saat isu ini dijadikan alasan untuk mendiskreditkan, menghina dan melakukan agresi. Sebab ini “given”, sebuah pemberian yang tak bisa dipilih atau ditolak.
Sebagaimana akal adalah identitas kemanusiaan, kebhinekaan juga adalah esensi identitas ke-Indonesia-an. Bukanlah manusia bila tidak berakal, dan bukan Indonesia bila tidak berkebhinekaan. Menolak kenyataan bahwa esensi indonesia adalah kebhinekaan, sama halnya dengan menolak proposisi bahwa manusia adalah mahluk berakal.
Akal dan Kebhinekaan
Akan tetapi, sama seperti akal yang bisa berakibat buruk bila tidak sehat, kebhinekaan juga akan bisa berdampak buruk bila tidak sehat. Akal yang tidak sehat adalah akal yang tidak menjadi penglima dalam diri manusia. Kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh marah, rasa sakit yang tak tertanggung, atau dalam tekanan yang sangat hebat. Saat akal tidak menjadi panglima dalam mengambil keputusan-keputusan hidup manusia, maka keputusan-keputusan itu pasti akan merusak masa depan kehidupan manusia bersangkutan.
Sama halnya dengan akal bagi manusia, kebhinekaan yang sakit juga akan berdampak pada masa depan kehidupan NKRI. Dalam kerangka ini, Kebhinekaan yang sehat adalah yang “Tunggal Ika”, yang merekatkan, yang menyatukan, yang dapat membuat semua perbedaan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Saat kebhinekaan justru menjadi alasan mendiskreditkan, menolak kelompok lain dan bahkan berkonflik, maka kebhinekaan ini pasti sedang sakit. Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak hal, bisa saja karena segregasi sosial yang sangat tajam dan tidak cepat ditanggulangi, bisa juga karena provokasi politik dan kepentingan lainnya, atau bahkan bisa disebabkan oleh impitan kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat timpang.
Kita tidak usah panjang lebar merancang masalah. Kebhinekaan ini ada dari ujung Sabang sampai Marauke sana. Semua berpotensi untuk dipecah belah, dirusak, atau dimanipulasi untuk kepentingan politik apapun. Kebhinekaan ini bisa menjadi bahan bakar yang paling potensial untuk meledakkan konflik sosial. Masalah-masalah kecil sekalipun bisa saja menjadi faktor katalis yang dapat menyulut terjadinya konflik dalam skala besar. Apalagi bila masalah-masalah itu justru ditimbulkan oleh kebijakan yang salah dari pemerintah pusat. Maka cakupan dan spektrumnya-pun bisa saja berkembang ke arah yang tidak terduga.
Jangankan negara dengan ragam perbedaan yang begitu kompleks seperti Indonesia, negara seperti Rwanda yang hanya terdiri dari 2 suku besar saja (Hutu dan Tutsi), bisa mengalami bencana kemanusiaan berupakan genosida yang dilakukan Suku Hutu (mayoritas) kepada Suku Tutsi (minoritas). Kasus ini, hingga sekarang masih menyisakan PR bagi para ilmuan sosial dan politik. Untuk itu, negara dengan tingkat keberagaman sangat kompleks seperti Indonesia membutuhkan pemerintahan yang tidak hanya tanggap dalam merespons konflik, tetapi juga memiliki ketelatenan tinggi dan keterampilan yang baik dalam merawat kebhinekaannya.
Sebagaimana manusia akan menemukan eksistensinya saat akal menjadi panglima. Kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia juga akan baik pada saat kebhinekaan menjadi panglima. Pada saat kebhinekaan yang menjadi alat navigasi dalam membuat keputusan, bukan kepentingan kelompok tertentu. Bila kebhinekaan menjadi landasan dalam merancang strategi pembangunan, bukan pesanan dari kelas sosial tertentu. Dan bila kebhinekaan menjadi alasan bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya, bukan kebanggaan atas etnis tertentu, agama tertentu, atau golongan tertentu.
Sebagaimana manusia, sedang berjalan menuju kebinasaan saat akalnya tidak lagi digunakan dengan baik, maka NKRI pun sebenarnya akan mengalami hal serupa saat kebhinekaan sudah tidak dijadikan landasan pemikiran dalam membuat sebuah keputusan, tidak dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam memilih dan menyikapi suatu keadaan, dan saat Kebhinekaan sudah tidak lagi menjadi harmoni. Dengan kata lain, “Kebhinekaan (yang) Tunggal Ika” itulah sumber Kesaktian Pancasila. Wallahu A’lam bisshawab
Oleh: Wim Tohari Daniealdi, Staff Pengajar di FISIP Universitas Pasundan Bandung
Source: Pikiran Rakyat