Mengapa para [pensiunan] jenderal, para cukong dan pengusaha, juga orang-orang pintar itu selalu menempatkan diri sebagai orang penting dan karena itu merasa perlu memberikan kriteria tentang sosok yang pantas dan tidak pantas dipilih sebagai presiden RI?
Ada yang menarik di acara peluncuran buku “Mengawali Integrasi Mengusung Reformasi” di Balai Kartini, Jakarta, Selasa malam lalu. Memberikan sambutan mewakili teman-temannya alumni Akabri 1970 [yang sebagaian ikut menulis buku itu], pensiunan jenderal Luhut Panjaitan menyarankan Presiden SBY agar menyiapkan calon presiden untuk maju ke Pemilu 2014.
Luhut juga meminta presiden agar mengingatkan bahwa presiden berikutnya haruslah sosok yang memiliki rekam jejak yang bersih. “Punya success strory. Jangan punya masa lalu yang kelam,” kata Luhut.
Siapa Luhut dan mengapa dia merasa perlu berbicara tentang sosok presiden mendatang?
Luhut adalah pensiunan letnan jenderal. Sebagian besar karirnya di tentara dihabiskan di kesatuan Baret Merah. Di masa presiden Gus Dur, dia menjabat menteri perindustrian, dan kini menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera. Itu perusahaan tambang yang berkantor di Lantai 17, Gedung Wisma Bakrie 2, Kuningan-Jakarta. Jabatan Luhut yang lain adalah wakil ketua Dewan Pertimbangan [Partai] Golkar.
Ketua Dewan Penasehat Golkar, Akbar Tanjung akhir tahun silam pernah menyatakan kepada wartawan, Luhut bersama para pensiunan jenderal alumni Akabari 1970 ditugaskan untuk mempersiapkan Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie [Ical] sebagai presiden. Tempo.co pernah menulis, Luhut dan kawan-kawan bahkan punya kantor khusus di Gedung Wisma Bakrie 2 [lihat: “Siapa saja jenderal yang dirangkul Ical”].
Akan terlalu lekas tentu, bila menafsirkan pernyataan Luhut itu sebagai bagian untuk mempromosikan Ical sebagai calon presiden. Pernyataannya, bisa saja dibaca hanya sebagai sebuah bentuk keprihatinan atau kepedulian dari seorang “tokoh” melihat minimnya calon presiden yang bermutu. Akan tetapi juga terlalu naif, bila pernyataan Luhut sama sekali tidak berhubungan dengan latar belakang politiknya sebagai orang Golkar yang seharusnya berkepentingan menempatkan Ical sebagai calon presiden.
Di acara malam itu terlihat hadir banyak pensiunan tentara yang sebagian besar adalah lulusan Akabri 1970 teman-teman seangkatan Luhut, juga pejabat dan tokoh politik. Antara lain, Presiden SBY dan Ibu Ani; Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono; Kapolri, Jenderal Timur Pradopo; Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro; Ketua DPR, Marzuki Alie; eks wakil presiden, Try Sutrisno; dan eks panglima TNI, Endriartono Sutarto.
Dari deretan nama itu, hanya Endriartono yang namanya mulai disebut-sebut berpotensi menjadi calon presiden. Sejak September silam, dia telah bergabung dengan Partai Nasional Demokrat. Itu adalah partai yang diprakarsai dan digerakkan oleh Surya Paloh. Nama yang disebut terakhir hengkang dari Golkar setelah kalah telak dari Ical dalam pemilihan ketua umum Golkar di Pekanbaru, Riau, 3 tahun silam. Dia lalu memboyong sebagian gerbong orang-orang Golkar ke Nasdem, dan hubungannya dengan Ical sejak itu memburuk.
Dengan cantolan politik Endriartono dan hubungan Ical-Paloh yang terus menjauh, sulit membayangkan Luhut dengan pernyataan politiknya, bermaksud menggandeng Endriartono untuk berpasangan dengan Ical, atau sebaliknya. Keduanya bahkan harus ditempatkan sebagai dua calon yang [mungkin saja] akan bersaing di Pemilu 2014.
Kemungkinan terbesarnya adalah, Luhut sedang “menasehati” SBY sebagai pendiri dan ketua Dewan Pembina Demokrat. Semacam isyarat kepada SBY dan Demokrat [yang hingga kini belum memiliki calon kuat untuk dimajukan ke Pemilu Presiden 2014] agar membentuk koalisi dengan Golkar, dengan harapan SBY dan Demokrat bisa mendukung Ical sebagai calon presiden. Untuk keperluan itu, Demokrat bisa mendapat “jatah” posisi calon wakil presiden. Calon yang mendampingi Ical bisa siapa saja, termasuk pensiunan jenderal TNI-AU, Djoko Suyanto [kini Menkopolhukam] dan KASAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo [ipar Presiden SBY].
Bagaimana dengan Prabowo, yang juga ramai dibicarakan orang sebagai calon presiden dari Partai Gerindra?
Di acara peluncuran buku Selasa malam lalu itu, dia tampaknya dilupakan. Setidaknya, Luhut menyatakan, Prabowo memang sengaja tidak diundang karena keterbatasan tempat. Itu adalah sebuah pernyataan yang terus-terang, kendati Luhut pernah menjalin hubungan bisnis dengan Prabowo di PT Kiani Kertas, perusahaan pengelola pabrik kertas yang berlokasi di Mangkajang, Kalimantan Timur. Dan ketika Luhut menyatakan calon presiden mendatang haruslah sosok yang memiliki rekam jejak bersih dan tak punya masa lalu yang kelam, itu pula bisa dibaca sebagai pesan kepada khalayak agar tidak memilih Prabowo di Pemilu 2014.
Sama dengan Luhut, Prabowo adalah pensiunan letnan jenderal. Di kesatuan Baret Merah, Kopassus, dia yunior Luhut. Jabatan terakhirnya adalah Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI, setelah dicopot sebagai Panglima Kostrad menyusul huru-hara Mei 1998. Hingga sekarang, banyak pihak menuding Prabowo bertanggungjawab atas kerusuhan itu, dan juga untuk kasus penculikan 13 orang yang hingga kini belum ditemukan, kendati Prabowo mengakui hanya menculik 9 aktivis dan semuanya sudah dilepaskan. Dia juga dipecat dari TNI, dan sekitar setahun sebelum musim Pemilu 2009 mendirikan Partai Gerindra. “Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik,” kata Prabowo, dalam pembelaannya.
Pertanyaannya: efektifkah “seruan”Luhut?
Di musim Pemilu 2014, mereka yang lahir pada 1997 untuk kali pertama akan mulai menggunakan hak politiknya. Mereka adalah bayi berusia setahun ketika kerusuhan Mei 1998 membakar di Jakarta dan di beberapa kota. Orang-orang boleh berspekulasi tentang peluang Prabowo menjadi Presiden RI, tapi seberapa besar para pemilih pemula itu menaruh perhatian atau peduli terhadap kerusuhan berdarah yang berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI, itu?
Lalu apakah dengan pernyataan Luhut di depan puluhan pensiunan jenderal Selasa malam lalu itu tentang kriteria calon presiden mendatang, juga bisa dapat menempatkan Ical sebagai sosok yang memiliki rekam jejak yang bersih dan terbebas dari masa lalu yang kelam, sehingga karena itu pantas berkantor di Istana Merdeka?
Pertanyaan yang tak kalah penting: mengapa para [pensiunan] jenderal, para cukong dan pengusaha, juga orang-orang pintar itu, selalu menempatkan diri sebagai orang penting dan karena itu merasa perlu memberikan kriteria tentang sosok yang pantas dan tidak pantas dipilih sebagai presiden RI? Mengapa khalayak, tidak diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pilihan mereka, yang tidak harus [pensiunan] jenderal, politisi dan pengusaha busuk; melainkan orang yang biasa-biasa saja, misalnya?
Atau inikah saatnya mereka perlu mendengar orang kebanyakan berseru “Sudahlah jenderal, para cukong, dan orang-orang pintar… cukup sudah kalian berkuasa dan mendikte kami?”
http://rusdimathari.wordpress.com/