“Untuk apa nyamuk diciptakan? Agar manusia bisa sesekali menampar pipinya sendiri.” Begitulah lelucon yang pertama kali saya dengar bertahun-tahun lalu. Kapan tepatnya, saya lupa. Namun lelucon tersebut kembali terbetik setelah publik media sosial kita dihebohkan dua peristiwa penamparan yang terjadi beberapa waktu lalu.
Peristiwa pertama berlangsung awal Juli ini, menimpa Jennifer Wehantow, seorang petugas Aviation Security (Avsec) Bandara Sam Ratulangi, Manado. Jennifer yang sedang bertugas ditampar seorang calon penumpang yang menolak melepas jam tangan. Belakangan Joice Warouw, si penumpang meminta maaf atas perbuatannya. Namun sampai tulisan ini dibuat, kasus tersebut masih dalam proses hukum. Dan publik telah terlanjur mengecap si penampar sebagai sejenis orang arogan, karena saat penamparan itu terjadi, ia mengatribusi diri sebagai istri seorang Jenderal polisi. Istri seorang pejabat tinggi.
Peristiwa kedua terjadi hanya berselang tiga hari setelah kejadian pertama. Kali ini di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Seorang dokter militer berinisial AG menampar FSP, petugas Avsec setempat. AG tidak terima dirinya diperiksa manual (body search) oleh FSP. Padahal, prosedur tersebut harus dilakukan sebab sebelumnya lampu indikator walk through metal detector (WTMD) menyala saat sang dokter militer melewati alat tersebut, pertanda ia sedang membawa benda logam, yang dalam penerbangan sipil merupakan material yang harus diawasi secara ketat.
Sejatinya, sebuah tindakan penamparan memiliki dua muatan. Pertama, upaya untuk menimbulkan rasa sakit secara fisik. Kedua, upaya untuk mempermalukan orang lain. Kepala, dalam masyarakat kita, kerap dimaknai bukan hanya sebagai tempat sepasang pipi berada, melainkan juga tempat kehormatan diletakkan.
Beberapa kebudayaan bahkan berprinsip, kalau kehormatan sudah hilang dalam diri seseorang, maka keberadaan sebuah kepala, dan selanjutnya nyawa, menjadi tiada artinya lagi. Itulah mengapa dalam berbagai tradisi, mencopot kepala dengan jalan menebas batang leher adalah satu-satunya cara menegakkan martabat. Dan, jangankan tempeleng, toyoran saja sudah merupakan sebuah penghinaan luar biasa.
Mengingat pentingnya sebiji kepala, menampar menjadi bukan lagi tindakan mengelus dengan agak keras, atau membunuh nyamuk yang tak kelihatan di pipi orang lain. Lebih dari itu, menampar adalah sebuah pertunjukkan kekuasaan. Cara yang krusial untuk mengekspresikan betapa rendah derajat orang yang ditampar itu di mata si penampar.
Soeharto, saat masih seorang Letkol, konon pernah ditampar atasannya, Kolonel Alex Kawilarang, karena telah memberi laporan yang tidak beres tentang kondisi keamanan Kota Makassar. Versi lain menyebut, penamparan itu akibat Soeharto ketahuan hendak melakukan penyelundupan. Konon peristiwa ini diingat terus oleh Soeharto, sehingga ketika menjadi orang nomor satu di negeri ini, tak sekalipun ia mengakui jasa-jasa Kawilarang dalam sejarah kemiliteran Indonesia.
Kita pun mungkin ingat dengan isu Prabowo yang menampar Ahmad Dhani, selepas sang musisi mengenakan seragam NAZI dalam video kampanye sang calon presiden. Bukannya terlihat keren, video tersebut malah dicerca warganet, termasuk oleh penyanyi kondang Anggun C. Sasmi. Elektabilitas Prabowo turun, dan telapak tangan khas Kopassus-nya pun mendarat telak di pipi Dhani.
Contoh-contoh penamparan di atas jelas tak sekadar memberi dampak fisik, melainkan juga pelecehan martabat habis-habisan. Dalam kasus Soeharto, penamparan menimbulkan dendam berbuntut panjang. Karena itu penamparan tak bisa dipandang sepele. Penamparan berikut kontak fisik lainnya yang dilakukan secara tidak sah adalah pelanggaran terhadap otoritas tubuh. Seseorang yang mengalami kekerasan tak lagi memiliki kekuasaan–juga kehormatan–atas tubuhnya sendiri.
Sejak jauh-jauh hari, filsuf Perancis, Jean Jacques Rousseau mengingatkan, “Manusia lahir dengan merdeka, tapi di mana-mana ia berada dalam ikatan. Banyak orang menyangka dirinya merupakan tuan bagi orang lain.” Mungkin inilah sebabnya mengapa keinginan memperbudak orang lain tidak kunjung hilang dari diri kita, meskipun feodalisme telah lama dicampakkan dari sistem politik formal di negeri ini. Secara sosio-kultural, masih ada orang-orang yang merasa berada di atas hirarki, dan merasa boleh menampakkan derajat sosialnya dengan kekerasan.
Sistem pendidikan kita juga seolah melanggengkan watak ini. Kerap kita membaca berita tentang penamparan yang dilakukan oleh sejumlah guru sebagai bagian dari tata cara mendidik dan mendisiplinkan murid. Gaya yang kemudian diadopsi secara serampangan oleh murid-murid senior kepada murid-murid junior, dalam bentuk perundungan dan apa yang lalu disebut “Masa Orientasi Sekolah”.
Saya sendiri mengalami, di tahun-tahun awal ketika saya kuliah di sebuah perguruan tinggi di Makassar, tamparan dari senior menjadi menu rutin. Setidaknya dua atau tiga tamparan sehari, kayak makan obat. Penamparan, berikut penyiksaan-penyiksaan lain, kata senior-senior saya, adalah bagian dari pembentukan karakter.
Karakter lama dibedel dan dipreteli, lalu diganti dengan yang baru. Seolah karakter adalah semacam onderdil mobil, mahasiswa baru adalah mobil penyok, dan organisasi intra kampus adalah bengkel ketok magic. Hasilnya, kampus saya cukup terkenal seantero negeri dengan karakter mahasiswanya yang gemar perang batu antarfakultas.
Di negara-negara libertarian, otoritas atas tubuh menjadi hak asasi yang sangat dijunjung tinggi. Masing-masing orang memiliki batas-batas pribadi tertentu yang tidak boleh dilanggar, bahkan oleh keluarga dekat sekalipun. Seseorang tidak bisa sembarangan mengklaim apa yang bukan miliknya, termasuk tubuh dan hak untuk menyentuh tubuh orang lain.
Bicara soal tubuh sebagai representasi martabat manusia, tentu saja, tak ada satu pun manusia fana di dunia ini yang senang dipermalukan. Jennifer Wehantouw bukanlah Yesus Kristus yang rela memberi pipi kiri setelah pipi kanannya ditampar. Perempuan muda itu bahkan langsung bereaksi hendak melaporkan penamparnya ke polisi. Kejadian tersebut terekam dalam sebuah video amatir berdurasi tak sampai seperempat menit, yang kemudian viral dan memancing reaksi keras publik. Tak kurang Menteri Perhubungan sendiri ikut berkomentar menyayangkan aksi penamparan tersebut.
Namun, peristiwa Jennifer dan FSP, hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Jennifer beruntung penganiayaan dirinya terekam kamera. FSP mujur kasusnya mencuat saat mata media massa sedang terarah ke ruang-ruang terminal keberangkatan bandara. Sementara kasus-kasus kekerasan lain mengendap di bawah permukaan.
Bukan hanya kekerasan yang dilakukan individu satu kepada individu lain, melainkan lebih jauh lagi, antara kelompok satu dengan kelompok lain, juga yang dilakukan negara kepada rakyatnya sendiri. Kekerasan, sebagai budaya unjuk kekuasaan tidak lagi relevan dengan masyarakat demokratis. Setiap orang harus sadar bahwa orang lain adalah pribadi yang merdeka.
Namun, anda yang haus kekuasaan sebetulnya tidak perlu khawatir. Anda sama sekali tidak dilarang untuk berkuasa kok. Bahkan, setiap manusia ditakdirkan jadi penguasa. Yaitu, penguasa bagi diri sendiri. Menguasai diri berarti mengendalikan pikiran dan tindakan sendiri pula. Jika diri ini mulai naik darah dan hendak menampar seseorang, ingatlah kalau satu-satunya pipi yang boleh ditampar adalah pipi sendiri. Pelan saja, kecuali kalau anda memang seorang masokhis.
Sebagai latihan, mungkin kita memang butuh nyamuk. Atau pertanyaan yang perlu ditanyakan setiap hari. Misalnya, pertanyaan yang saya kutip dan pelesetkan sedikit dari salah satu judul buku puisi M. Aan Mansyur berikut ini.
“Sudahkah kau menampar dirimu hari ini?”***
Oleh: Jamil Massa, menulis puisi cerpen dan esai. Memiliki minat terhadap kajian-kajian kebudayaan, sastra, film, dan media massa. Tinggal di Gorontalo dan sehari-hari mengelola blog www.jamilmassa.wordpress.com