Home / Budaya / Asal Usul / Strategi Perang Raja Jawa

Strategi Perang Raja Jawa

Perang dalam sejarah kemanusiaan adalah sebuah cara penaklukan. Jika tidak disebut sebagai cara klasik yang tidak beradab, maka perang dalam arti sebuah cara pembebasan dari keterjajahan sangatlah dibenarkan.

Hingga detik ini, literatur perang tetaplah diakui sebagai sebuah cara untuk menegakkan kedaulatan sebuah bangsa ketika harga dirinya dijajah. Karena itu, dalam hukum internasional, perang diatur keberadaannya dengan hukum-hukum yang disebut sebagai humaniter.

Dalam catatan sejarah tradisional Nusantara, perang menghiasi kewibawaan bangsa ini untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Karenanya, dalam literatur tradisional perang pun dipelajari teknik-tekniknya dan strategi-strateginya.

Ada banyak sumber yang mengetengahkan perang sebagai sebuah displin ilmu yang mesti dipelajari, ditelaah dan dijadikan rujukan dasar untuk dikembangkan lebih jauh, lebih modern dan lebih canggih.

Di Nusantara, dalam literatur kesusasteraan Jawa Kuno disebutkan adanya strategi perang frontal yang disebut wyūha. Sebuah teknik perang klasik yang mendasari teknik-teknik perang lanjutan yang lebih kompleks dan artistik.

Salah satu contoh, misalnya dalam Kakawin Bhāratayūddha. Disana disebutkan adanya 10 macam wyūha, yaitu;

(1) wukir sagara wyūha (susunan pasukan berbentuk bukit dan samudera),
(2) wajratikśna wyūha (susunan pasukan berbentuk wajra),
(3) kagapati/garuda wyūha (susunan pasukan berbentuk garuda),
(4) gajendramatta/gajamatta wyūha (susunan pasukan berbentuk gajah ngamuk),
(5) cakra wyūha (susunan tentara berbentuk cakra),
(6) makara wyūha (susunan pasukan berbentuk makara),
(7) sūcimukha wyūha (susunan pasukan yang ujungnya seperti jarum),
(8) padma wyūha (susunan pasukan berbentuk bunga teratai),
(9) ardhacandra wyūha (susunan pasukan berbentuk bulan sabit), dan
(10) kānannya wyūha (susunan pasukan berbentuk lingkaran berlapis).[1]Wiryosuparto 1968:30–40.

Namun dalam karya Sastra Kamandaka hanya menyebutkan 8 macam wyūha, yaitu:

(1) garuda wyūha,
(2) singha wyūha (susunan pasukan berbentuk singa),
(3) makara wyūha,
(4) cakra wyūha,
(5) padma wyūha,
(6) wukir sagara wyūha,
(7) arddhacandra wyūha, dan
(8) wajratikśna wyūha.[2]Wirjosuparto 1968:29; Kats 1923:240

Siasat makara wyūha[3]Sumadio 1993:418, cat. no, 89 yaitu dengan melancarkan serangan dari dua arah, dari utara dan selatan. Pasukan yang menyerang dari utara hanya merupakan siasat yang memancing agar pasukan kerajaan Singhasāri keluar dari keraton.

Siasatnya ini berhasil, karena dengan adanya serangan dari utara, maka pasukan Singhasāri di bawah pimpinan Raden Wijaya 7 dan Arddharaja, anak Jayakatwang yang juga menantu Kěrtanagara, menyerbu ke utara dan mengejar musuh yang selalu bergerak mundur.

Pada waktu kekuatan di keraton Singhasāri lemah, lalu pasukan Jayakatwang yang berada di selatan menyerang keraton dan dapat membunuh Kértanagara yang sedang melakukan upacara keagamaan

Selain strategi yang melakukan serangan secara tiba-tiba, juga ada strategi perang yang dilakukan secara frontal, yaitu serangan yang dilakukan dengan berhadap-hadapan dan terbuka.

Dari kesusateraan Jawa Kuna didapatkan gambaran bahwa dalam perang frontal, pasukan yang maju ke medan perang diiringi oleh tetabuhan. Sebagai contoh dalam Kakawin Arjunawiwāha pupuh 23: 2-3 digambarkan situasi bagaimana di antara ramainya suara barisan tentara yang bersorak-sorai terdengar bunyi gendang, ketipung (terompet), gong, dan gemuruh tambur.[4]Poerbatjaraka 1926: 45–46; Wiryamartana 1990: 104, 160

Selama peperangan, tabuh-tabuhan tersebut terus dibunyikan, ini terlihat dari kalimat pada pupuh 25: 5 yang menggambarkan bagaimana bunyi gong dan riuh genderang tidak lagi terdengar karena terkalahkan oleh oleh bunyi perisai berdentang-dentang, gemerincingnya golok, dan gelegar konta mengenai gajah. Ditambah dengan lenguhan orang yang menghembuskan nyawa, yang mengaduh, dan pekikan orang yang menyerang.[5]Poerbatjaraka 1926:49; Wiryamartana 1990:107, 164

Sementara itu, jenis-jenis strategi perang yang disebutkan dalam Arthaśāstra adalah:

(1) dańůa (susunan pasukan seperti alat pemukul),
(2) bhoga (susunan pasukan seperti ular),
(3) mańůala (susunan pasukan seperti lingkaran),
(4) asamhata (susunan pasukan yang bagian-bagiannya terpisah),
(5) pradara (susunan pasukan untuk menggempur musuh),
(6) ůŕůhaka (susunan pasukan dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang),
(7) asahya (susunan pasukan yang tidak dapat ditembus),
(8) garůda (susunan pasukan berbentuk garuda),
(9) sañjaya (susunan pasukan berbentuk busur),
(10) wijaya (susunan pasukan menyerupai busur dengan bagian depan menjolok),
(11) sthūlakarńna (susunan pasukan yang berbentuk telinga besar),
(12) wiśālawijaya (susunan pasukan yang disebut kemenangan mutlak, susunannnya sama dengan sthūlakarńna, hanya bagian depan disusun dua kali lebih kuat),
(13) camūmukha (susunan pasukan dengan bentuk dua sayap yang berhadapan muka dengan musuh),
(14) jhashāsya (susunan pasukan seperti camūmukha, hanya sayapnya ditarik ke belakang),
(15) sūcimukha (susunan pasukan yang ujungnya seperti jarum),
(16) walaya (susunan pasukan seperti sūcimukha hanya barisannya terdiri dari dua lapis),
(17) ajaya (susunan pasukan yang tidak terkalahkan),
(18) sarpāsarīi (susunan pasukan seperti ular yang bergerak),
(19) gomūtrika (susunan pasukan yang berbentuk arah terbuangnya air seni sapi),
(20) syandana (susunan pasukan yang menyerupai kereta),
(21) godha (susunan pasukan berbentuk buaya),
(22) wāripatantaka (susunan pasukan sama degan syandana, hanya semua pasukannya terdiri dari barisan gajah, kuda, dan kereta perang),
(23) sarwatomukha (susunan tentara berbentuk lingkaran),
(24) sarwatobhadra (susunan pasukan yang serba menguntungkan),
(25) ashőānīkā (susunan pasukan yang terdiri dari 8 divisi),
(26) wajra (susunan pasukan berbentuk wajra),
(27) udyānaka (susunan pasukan berbentuk taman yang terdiri dari 4 divisi),
(28) ardhacandrika (susunan pasukan berbentuk bulan sabit yang terdiri dari 3 divisi),
(29) karkāőakaśrěnggi (susunan pasukan berbentuk kepala udang),
(30) ariśőa (susunan pasukan dengan garis depan ditempati pasukan kereta perang, pasukan gajah, sedangkan pasukan berkuda menempati baris belakang),
(31) acala (susunan pasukan yang menempatkan barisan infanteri, pasukan gajah, pasukan kuda, dan pasukan kereta perang, berbaris ke belakang),
(32) śyena (susunan pasukannya sama dengan garuda),
(33) apratihata (pasukan kuda, pasukan kereta perang, dan pasukan infanteri berbaris ke belakang),
(34) chāpa (susunan pasukan berbentuk busur), dan
(35) madhya chāpa (susunan pasukan berbentuk busur dengan inti kekuatan berada di bagian tengah).[6]Sharmasastry 1923:434–435; Wirjosuparto 1968:27–29

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Meluruskan Sejarah Syeikh Siti Jenar

“Jika Agus Sunyoto memiliki berbagai ilmu ‘linuwih’ yang tak dimiliki orang awam, maka hal itu ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *