Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
“Bagi seorang Salik ghibah itu perbuatan dzalim yang menjauhkan dari Allah SWT”.
Ghibah yaitu menyebut sesuatu yang ada pada diri seseorang yang tidak disukainya andaikata didengarnya, baik engkau menyebutnya dengan lisanmu, atau dalam bentuk tulisan ataupun dengan isyarat mata, tangan maupun dengan isyarat kepala.
Ghibah adalah membuka atau membeberkan aib dan kekurangan yang ada pada diri orang seperti cacat fisik, garis keturunan, perbuatan, perkataan, agama, hak milik seperti rumah, perhiasan, pakaian, atau hewan peliharaannya.
Ghibah termasuk perbuatan dzalim meskipun apa yang engkau katakan benar adanya.
Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurat : 12)
Allah SWT mengumpamakan pelaku ghibah dengan pemakan daging manusia yang sudah mati. Dalam perumpamaan ini terdapat petunjuk bahwa kehormatan dan harga diri manusia adalah seperti darah dan daging. Hati manusia akan dipenuhi rasa sakit apabila kehormatannya diciderai, seperti halnya apabila anggota badan terluka.
Rasulullah SAW bersabda,
قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
”…Jika padanya terdapat kekurangan seperti yang engkau katakan, maka engkau telah berbuat ghibah, dan jika hal itu tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.”
Agar terhindar dari perbuatan ghibah, hendaklah engkau berfikir dan melakukan introspeksi diri: adakah aib dan kekurangan pada dirimu? Apakah dirimu telah sedemikian bersih dari dosa dan maksiat?
Abdullah bin Abbas r.a. berkata : “Apabila engkau ingin menyebut keburukan temanmu, maka sebutkanlah terlebih dahulu keburukan dirimu.”
Apabila engkau tidak suka keburukanmu diketahui dan dibicarakan oleh orang, maka mereka pun tidak menyukai jika engkau mengetahui dan membicarakan keburukan mereka. Oleh karena itu, tutupilah keburukan orang lain, niscaya Allah SWT akan menutupi keburukanmu.
Apabila engkau membeberkan aib dan keburukan orang lain, niscaya Allah SWT akan menurunkan orang-orang yang tajam lisannya dan mencemarkan kehormatanmu di dunia, kemudian Allah SWT akan mencemarkan namamu di akhirat kelak di hadapan semua makhluk-Nya.
Jika engkau melihat dirimu secara lahir dan batin, kemudian engkau tidak menemukan kekurangan, maka ketahuilah bahwa ketidakmampuanmu mengetahui aib dan kekurangan yang ada pada dirimu adalah puncak dari kebodohan, karena tidak ada aib yang lebih besar daripada kebodohan. Seandainya Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirimu, niscaya Dia akan menjadikanmu mengetahui segala aib dan kekuranganmu. Apabila engkau merasa puas dan rela akan segala aib dan kekurangan yang ada pada dirimu, sedangkan engkau tidak berusaha untuk memperbaikinya, maka keridhaanmu adalah puncak dari kebodohan dan kedunguanmu.
Umar bin Khaththab r.a berkata : “Hendaklah kamu sering menyebut nama Allah SWT, karena itu adalah obat. Dan jauhkanlah dirimu dari ghibah dan menyebut keburukan orang lain, karena itu adalah penyakit.”
(* Sumber : Maraqi al-Ubudiyyah, Syarah atas Kitab Bidayatu-l Hidayah-Imam Al Ghazali, Syaikh Nawawi al-Bantani).
Kututup dengan do’a sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
اَللَّهُـمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ يَوْمِ السُّوْءِ، وَمِنْ لَيْلَةِ السُّوْءِ، وَمِنْ سَاعَةِ السُّوْءِ، وَمِنْ صَاحِبِ السُّوْءِ، وَمِنْ جَارِ السُّوْءِ فِيْ دَارِ الْـمُقَامَةِ
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hari yang buruk, malam yang buruk, waktu yang buruk, teman yang jahat dan tetangga yang jahat di tempat tinggal tetapku.” (HR. At-Thabrani).
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ، عَيْنَاهُ تَرَيَانِي وَقَلْبُهُ يَرْعَانِي، إِنْ رَأى حَسَنَةً دَفَنَهَا، وَإِنْ رَأى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari teman dekat yang suka menipu, matanya melihatku tetapi hatinya mencurigai aku. Jika ia melihat kebaikanku, ia sembunyikan. Tetapi jika ia melihat kejelekanku ia sebarkan”.