Home / Ensiklopedia / Analisis / Sisi Lain Konflik Rusia-Ukraina (1)

Sisi Lain Konflik Rusia-Ukraina (1)

Antara Teori Mackinder, Jalur Sutra dan Gas Weapon

Teori (geopolitik) Sir Halford Mackinder (1861-1946) dalam buku The Geographical Pivot of History (1904) menyatakan:

Who rules East Europe, command the Heartland; who rules the Hearland, command the World Islands; who rules the World Island, commond the world”.

Terjemahan bebasnya begini:

“Siapa mengatur Eropa Timur, akan mengendalikan Jantung Dunia (Asia Tengah); siapa mengatur Jantung Dunia/Asia Tengah, maka akan mengendalikan Pulau Dunia (Timur Tengah); siapa mengatur Pulau Dunia/Timur Tengah bakal memimpin dunia”.

Inti ajaran Mackinder di atas ialah, aturlah Eropa Timur terlebih dulu sebelum mengendalikan kawasan Heartland (Asia Tengah) dan World Island (Timur Tengah) —anda akan menguasai dunia— dan pintu masuknya melalui Ukraina. Kenapa?

Selain merupakan geopolitical of pipeline terutama jalur pipa gas lintas benua/antarnegara yang berasal dari Rusia ke Eropa, juga faktor geoposisi (posisi geografi). Inilah takdir geopolitik Ukraina di panggung global. Seperti halnya posisi Suriah yang merupakan ‘titik simpul’ di Jalur Sutra, Timur Tengah, di mana ke timur melaju hingga Maroko, arah ke utara lanjut sampai ke Eropa.

Nah, Ukraina pun lintasan Jalur Sutra yang menuju Eropa. Makanya, skenario, pola dan modus konflik di Suriah hampir mirip dengan konflik di Ukraina terutama konflik 2014-an kemarin. Bahkan dalam beberapa hal, pemain dan aktornya pun sama (Silahkan baca: “Ukraina adalah Suriah Yang Lain”-nya Dina Sulaeman).

Secara market, Eropa — baik Timur maupun Eropa Barat selain dinilai pasar potensial bagi gas Rusia (50%); jadi, secara geopolitik, Eropa memiliki ketergantungan terhadap (gas) Rusia. Dari aspek ini saja sudah dapat dibaca, bahwa geopolitik Eropa sudah tergerus dan digerus oleh Rusia melalui gas.

Maka, istilah ‘gas weapon’ alias senjata gas sempat menghantui negara-negara Uni Eropa yang tergantung pada gas Rusia. Ilustrasinya, dengan sekali putar kran —di musim dingin, misalnya— Eropa bisa beku karena kekurangan gas. Itulah gas weapon Rusia atas Eropa. Makanya, NATO pun agak ngeri bila melawan Rusia, karena faktor gas weapon tersebut.

Antara Perang Modern, Sanksi dan Negeri Autarki

Esensi (teori) perang modern yaitu barang siapa kalah canggih mesin perang dan peralatan tempur serta kalah dalam jumlah personel, maka identik dengan kalah perang. Jangan berharap menang. Akan tetapi, teori ini tidak mutlak. Tidak (bersifat) hitam putih. Di beberapa peristiwa atau isu malah berbanding terbalik.

Perang antara Rusia versus Georgia (2008), contohnya, merupakan implementasi perang modern pada satu sisi. Siapa kalah canggih peralatan perang dan kalah jumlah pasukan, identik kalah perang. Terbukti. Hanya perlu waktu dua minggu, Rusia berhasil menduduki Georgia. Ura, uraa, uraaaa!

Dan tampaknya, kemungkinan Ukraina akan bernasib sama dengan Georgia. Takhluk dalam hitungan minggu. Kenapa demikian, karena Amerika Serikat (AS) dan NATO tidak ikut campur tangan dalam konflik Rusia versus Ukraina, mengapa? Khawatir memicu perang dunia. Uraaaaaa!

Sementara di sisi lain, mundurnya AS dan NATO dari perang di Afghanistan setelah bertempur versus Taliban selama 20-an tahun (2001-2021) ialah bukti atas “patah”-nya teori perang modern di atas. Sekali lagi, memang tidak mutlak. Taliban yang bukan militer profesional —di Indonesia, sekelas pesantren— ternyata mampu memukul mundur AS dan NATO yang didukung oleh militer profesional dalam jumlah besar serta berbekal mesin dan peralatan perang canggih. Nah, itulah dua contoh praktik atas (teori) perang modern yang bersifat tidak mutlak.

Tak boleh dipungkiri, Rusia ialah Negeri Autarki. Negara yang mempunyai kedaulatan mutlak baik pemerintahan maupun ekonomi. Swasembada. Rusia hampir tak memiliki ketergantungan kepada negara lain. Jadi, manakala sanksi ekonomi dijatuhkan oleh AS, NATO dkk kepada Rusia, sanksi tersebut kurang begitu berpengaruh. Kami punya segalanya, kata Dubes Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva. Ia pun mempertanyakan, apakah ada negara yang dijatuhkan sanksi, kemudian mengubah kebijakannya? Jawabannya, tidak ada.

“Kami, Rusia, adalah negara besar. Memang sanksi akan menyusahkan kami, tetapi ingatlah bahwa Uni Soviet selama 70 tahun dijatuhkan sanksi dan kami memiliki power besar. Kami memproduksi segalanya,” ujar Lyudmila.

Itulah sisi lain konflik Rusia dan Ukraina yang kudu dicermati.

Oleh: M Arief Pranoto, pengkaji geopolitik, Global Future Institute
Source: The Global Review

 

 

About admin

Check Also

Kemenyan Arab untuk Reproduksi Wanita

“Kemenyan Arab atau Thibbun Nabawi bukan sekedar berfungsi sebagai aroma terapi namun bisa bermanfaat untuk ...