بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Kisaran tahun 40 Hijriyah, terjadi konspirasi besar di antara kelompok Khawarij. Mereka berkumpul untuk merundingkan satu misi yang sangat rahasia dan berbahaya. Yaitu membunuh tiga pemimpin besar Islam; Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash.
Pembunuhan ini masing-masing akan dieksekusi oleh Abdurahman bin Muljam sebagai pembunuh Ali, Hajjaj bin Abdallah as-Sharīmī (yang dijuluki al-Burk) sebagai pembunuh Muawiyah dan yang terakhir seorang budak dari Bani al-Anbar Zadawaih atau Amr bin Bakr -menurut Ibn Katsir- sebagai pembunuh Amr bin Ash. Sebelumnya, mereka telah bersepakat untuk tidak lari (berkhianat) sampai mereka berhasil membunuh atau dibunuh.
Pada awalnya pembunuhan ini dilandasi rasa kekecewaan mereka terhadap tiga pemimpin Islam. Muawiyah di Syam, Ali di Kuffah, dan Amr bin Ash di Mesir. Menurut kelompok Khawarij, mereka bertiga adalah sumber kekacau-balauan yang terjadi di daerah Islam saat itu. Kelompok Khawarij berasumsi bahwa hanya dengan membunuh mereka bertiga itu akan menyembuhkan rasa kekecewaannya, terlebih akan meredamkan kekacauan yang melanda Jazirah Arab kala itu. Namun, membunuh bukanlah cara satu-satunya agar kekacauan bisa cepat mereda. Alih-alih dialog sebagai solusi.
Jika ditarik ke belakang, kekacauan dan perpecahan umat muslim serta perang saudara dipicu oleh tragedi pembunuhan Usman bin Affan. Mula-mula, dari kekosongan kursi khalifah, masing-masing dari mereka mengklaim sebagai khalifah yang sah. Di samping umat Islam dibuat bingung dengan keabsahan masing-masing klaim. Seterusnya, banyak dari mereka yang berbeda pendapat tentang penebusan (Qishas) dari darah Utsman.
Dari Ali sendiri menginginkan untuk ditangguhkan sembari menanti waktu yang ideal untuk mengeksekusi para pembunuh Utsman, di pihak lain menginginkan untuk segera dilaksanakan tanpa melihat situasi yang masih memanas. Menurut penulis, sikap Ali sudah benar, yaitu menangguhkan masalah qishas karena ditakutkan akan menambah perpecahan yang saat itu sudah sangat kacau. Ibarat rumah sedang terbakar, bukannya disiram air, justru ditambah minyak tanah, apakah itu tindakan yang tepat?.
Kira-kira dua faktor ini yang secara tidak langsung menjerumuskan umat Islam pada perpecahan. Di antaranya perang Jamal (36 H) antara pasukan Aisyah dengan pasukan Ali. Setahun kemudian disusul perang Shifiin (37 H) antara pasukan Ali dengan pasukan Muawiyah. Perang yang terakhir ini, yang pada nantinya mencetuskan satu kelompok yang membahayakan tatanan Islam di masa depan, yaitu Khawarij.
Singkatnya, Khawarij adalah pasukan Ali yang kecewa atas persetujuannya untuk tahkim (Arbitrase) dengan pasukan Muawiyah. Mereka berpandangan bahwa Ali seorang yang sudah dzhalim karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk membunuh musuh Allah, hingga pada akhirnya mereka keluar dari barisan Ali dan menganggap Ali beserta pengikutnya sebagai musuh Allah yang halal darahnya.
Setahun kemudian (38 H), mereka semakin naik pitam dengan fakta kekalahannya melawan pasukan Ali di Nahrawan. Banyak dari kelompok Khawarij yang gugur di medan perang. Maka sempurnalah kebencian mereka terhadap Ali beserta pengikutnya.
Untuk itu, mereka akhirnya berunding (berkonspirasi) untuk sebuah misi pembunuhan. Dan setelah perundingan yang mereka lakukan selesai dan mencapai kata sepakat, masing-masing dari mereka akan pergi ke tempat sasarannya tadi. Ibn Muljam ke Kuffah, Hajjaj bin Abdallah ke Damaskus, Zadawaih ke Mesir.
Dan dari ketiga misi ini hanya Ibn Muljam dan Hajjaj yang sukses melaksanakan aksinya. Sedangkan Amr bin Ash tidak berhasil dibunuh, karena pada waktu itu Amr bin Ash sakit perut dan tidak keluar untuk melaksanakan shalat di masjid, sehingga Zadawaih salah sasaran. Yang terbunuh saat itu justru pengawalnya, Khorijah bin Abi Habibah.
Karena Ibn Muljam bertugas membunuh Ali, maka ia bergegas menuju Kuffah. Di tengah perjalanan, Ibnu Muljam tidak sengaja bertemu saudara sepupunya atau anak pamannya yang bernama Qottom binti Sujnah. Kebetulan sekali, perempuan ini cantik nan jelita dan juga gemar beri’tikaf di masjid. Sehingga dapat meluluhkan hati seorang Ibn Muljam dan melalaikannya dari misi untuk membunuh Ali sebagaimana yang ditulis Ibn Katsir dalam Tarikhnya.
Akhirnya Ibn Muljam bertekad untuk melamar, karena sudah kadung cinta. Tetapi siapa sangka, ternyata perempuan cantik ini justru meminta mahar 3000 dirham, satu budak lelaki dan satu budak perempuan serta kepala Ali. Untuk mahar yang terakhir sebagai bentuk “balas dendam” -batin Qottom- lantaran ayah dan saudaranya (Qottom) telah dibunuh Ali pada tragedi Nahrawan.
Dari sini terlihat bagaimana Ibn Muljam termotivasi kembali untuk membunuh Ali setelah melupakannya. Dari yang sudah lupa akan misinya, kembali bangkit berkat syarat mahar yang diajukkan calon istrinya. Andai kata untuk meneguk cintanya tanpa membunuh Ali, niscaya pembunuhan ini takkan terjadi pada Ali. Karena dalam lubuk hatinya yang paling dalam Ibn Muljam pun tahu, bahwa membunuh Ali akan sangat sulit.
Akhirnya, eksekusi pembunuhan Ali tetap dilakukan dan itu terjadi pada malam 17 Ramadhan Tahun 40 Hijriyah. Dengan rencana Ibn Muljam akan menerkamnya dari belakang saat Ali sedang shalat fajar.
Mula-mula, ia mengajak Syabib bin Najdah dari daerah Asyja’i untuk membantunya membunuh Ali, lalu ia menerimanya, setelah sebelumnya sempat terjadi tarik-ulur dengan Ibn Muljam, karena semua orang mengakui kehebatan dan keluhuran Ali dalam segala hal. Disusul Majasyi’ bin Wirdan atas rekomendasi dari Qottom untuk membantunya membunuh Ali.
Malam harinya mereka sudah bersiap di pintu masjid Agung Kuffah. Di situlah Ali biasanya melaksanakan jamaah shalat. Dan terjadilah apa yang terjadi. Ibn Muljam menerkam dari belakang, ia dengan lihai mengayunkan pedangnya mengenai kepala bagian atas Ali atau keningnya sampai berdarah-darah, sambil meneriakan “Tidak ada hukum selain hukum Allah dan juga tidak ada untukmu wahai Ali!”.
Untungnya saat kejadian itu Ali tidak sendiri, sehingga pengikut setianya langsung menangkap Ibn Muljam. Ia dipukul ramai-ramai diantaranya oleh Mughirah bin Novel bin Haris bin Abdul Muthalib sampai pingsan, lalu dihadapkan ke Hasan. Sedangkan Syabib dan Wirdan kabur. Adapaun Wirdan berhasil menyelundupkan diri bersama khalayak ramai, sampai-sampai ia tidak dicurigai. Untuk nasib Syabib cukup tragis; dibunuh oleh pamanya sendiri. Tatkala ia mengabarkan kejadian yang ia perbuat kepada Abdullah bin Najdah (pamannya dari Bani Najdah). Alih-alih sebagai pamannya akan membantunya, justru pedang terhunus yang menyambutnya.
Sejarawan mencatat, Ali meninggal di tangan orang-orang Khawarij 4 hari pasca terjadinya penyerangan di malam 17 Ramadlan. Ia meninggal -riwayat al-Masudi pengarang Muruj ad-Dhahab- pada umur 72 tahun ada juga yang mengatakan 62 tahun. Lalu Hasan sebagai anak tertua menshalatinya dengan tujuh takbir. Kemudian dikebumikan di masjid Agung Kuffah.
Hal yang menakjubkan, wafatnya tidak banyak meninggalkan harta tirkah selain 150 dirham, mushaf serta pedangnya. Inilah potret akhir kehidupan seorang khalifah yang dijuluki Nabi SAW sebagai Babu Madinah al-‘Ilm (Pintu Gerbang Kota Ilmu), sederhana nan zuhud.
Namun ironisnya, di akhir hayatnya -lebih tepatnya setelah tragedi Arbitrase- ia mengalami banyak cobaan dan fitnah yang selayaknya tidak terjadi padanya. Kini kepergianya membawa luka dan duka bagi umat muslim, khususnya bagi para penganut Syi’ah. Selain itu, kematiannya menjadikan tampuk kekhalifahan setelahnya mengalami guncangan dahsyat.
Dan terakhir, konsekuensi yang didapatkan sang pembunuh Ali cukup sadis. Diarak ke tengah pasar lalu dibakar hidup-hidup setelah sebelumnya dipotong tangan dan kakinya oleh Abdullah bin Ja’far kemudian dilumuri minyak tanah.
Hemat penulis, yang bisa disimpulkan adalah jangan berlebihan ketika mencintai sesuatu (fanatik buta), boleh mencintai tapi sekadarnya saja, tentunya dibarengi dengan ilmu. Agar perpecahan umat dengan motif cinta seperti di atas tidak terulang lagi. Potret pertama cinta yang berlebihan yaitu ketika Ibn Muljam terlampau mencintai Qottom bin Sujnah. Seharusnya ia sudah melupakan misi berbahayanya jika syarat menikahinya bukan kepala Ali, atau bisa saja ia tidak usah menuruti cintanya (bucin).
Yang kedua, cinta kaum Syi’ah terhadap Ali yang menjadikan mereka terlampau benci kepada kelompok Khawarij (yang membenci Ali). Seandainya cinta itu dibarengi dengan perilaku bijak nan luhur, seharusnya Ibn Muljam tidak sampai bernasib setragis itu, sehingga tidak menimbulkan balas dendam di kemudian hari. Namun jika mata harus dibalas dengan mata mau sampai kapan semua manusia yang lahir akan buta?.
Source: Alif.Id