بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
“Takdir dan manusia seperti siput dan cangkangnya. Ke mana pun pergi, takdir mengikuti manusia. Bila sesekali siput melepaskan diri dari cangkangnya, semata karena ada takdir tersembunyi yang mesti dipenuhi”
Membahas takdir memang berat, meski “tidak seberat menjalaninya”. Karena, takdir senantiasa berkaitan dengan “peran” dan “peristiwa”.
Dalam takdir, “peristiwa” seringkali tidak berkaitan sama sekali dengan “peran”, begitu pula sebaliknya. Ini karena setiap peristiwa telah tertakar dengan cermat oleh Yang Mahakuasa untuk diberikan kepada siapa dan bagaimana: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22).
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيرٌ ۞
Mungkin kita sering berharap memperoleh pekerjaan sesuai dengan gelar kita, tetapi peristiwa hidup yang mengitari kita kadang malah membawa kita pada “peran” hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Dari segi bahasa, takdir punya makna yang luas. Ia bisa berarti kadar, kemampuan, derajat, nilai, harga, sedang, kedudukan, dan kehormatan. Dari sini kita dapat menangkap bahwa dalam takdir ada keluasan, ada pula penyempitan. Keduanya hadir bergantian.
Artinya, misalnya, para petani bisa saja memperoleh takaran hasil yang berbeda meskipun tanah garapan mereka sama luas dengan metode pengolahan yang sama pula. Demikian pula dosen, dokter, guru, pengusaha, dan profesi lainnya. Dengan profesi yang sama, kita dapat melihat dengan jelas bahwa di antara mereka ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang dikunjungi banyak pasien, ada yang sepi pasien. Inilah keunikan takdir.
Meski begitu, kita sesekali boleh saja “menguji” takdir kita. Misalkan, dengan melakukan alih profesi yang tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Karena manusia, dalam kedudukannya sebagai makhluk jasmani, memang musayyar (tidak bisa menolak bentuk), tetapi dalam kedudukannya sebagai makhluk ruhani bersifat mukhayyar (dapat memilih apa yang akan dilakukan), karena ada kelengkapan indra ruhani (hati, jiwa, akal). Dalam posisi ini, kita memang dituntut memiliki pengetahuan yang cukup tentang diri kita sendiri. Bila kita tidak mengenal potensi diri, alih-alih memperoleh “kesuksesan”, yang ada justru kekecewaan.
Seperti siput, sesekali keluar tetapi jangan terlalu jauh dari cangkangnya. Begitu juga kita, setinggi apapun pengetahuan kita, jangan pernah jauh dari takaran atau kadar yang telah Allah tentukan. Karena takdir-Nya meliputi pengetahuan (al-‘ilm), penetapan (al-kitabah), kehendak (al-masyiah), dan penciptaan (al-khalq) yang sesungguhnya terukur dalam keseimbangan.
Wallahu A’lam
Referensi tulisan: “Matahatiku Matahariku, Panduan Sederhana untuk Hidup Lebih Bijaksana”, Imam Sibawaih El-Hasany; Jakarta : Zaman, 2009.
Source: Demi Maha Cinta