Home / Agama / Kajian / Sifat-Sifat Para Nabi dan Posisi Rasulullah (6)

Sifat-Sifat Para Nabi dan Posisi Rasulullah (6)

Tablig Yang Dilakukan Rasulullah SAW

A. Dasar-dasar Terpenting dalam Dakwah Rasulullah

Dalam melakukan dakwah dan tablig, terdapat beberapa landasan penting yang perlu diperhatikan. Sebagian dari dasar-dasar itu telah kami jelaskan di bagian sebelumnya. Tapi mari sekarang kita kembali mengulang secara singkat dasar-dasar yang sudah dijelaskan itu agar kita dapat menyempurnakan pembahasan ini dengan beberapa landasan dakwah dan tablig yang belum kita bicarakan.

Pertama: kecerdasan (al-fathanah) dalam dakwah dan tablig. Anda dapat menyebut sifat para nabi yang satu ini sebagai “logika kenabian” (manthiq al-nubuwwah).

Kedua: teladan yang baik dalam berdakwah. Karena seseorang yang menyebarkan dakwah, harus menjalankan semua ajaran yang didakwahkannya kepada orang lain. Sebelum berdakwah kepada orang lain, hendaklah seorang dai terlebih dulu melaksanakan semua yang dia sampaikan dalam dakwahnya.

Ketiga: sasaran yang hendak dicapai dari dakwah adalah ridha Allah Swt. semata. Seorang pelaku dakwah tidak boleh memiliki tendensi lain dalam dakwahnya, tak terkecuali berharap masuk surga. Artinya, dakwah harus dilakukan dengan mengorbankan semua potensi baik materiil maupun immateriil.

1- Kecerdasan Internal (al-Fathanah al-Dâkhiliyyah)

Dalam dakwah Rasulullah tentu terdapat aspek kecerdasan. Tapi kecerdasan yang dimaksud di sini bukanlah kecerdasan yang jumud, tapi berupa kecerdasan yang menjangkau seluruh aspek lahir dan batin bahkan seluruh aspek dunia dan akhirat.

Selain memiliki sisi rasionalitas, manusia juga memiliki sisi emosional. Itulah sebabnya orang-orang yang berdialog hanya dengan menyentuh sisi emosional, biasanya akan gagal ketika ternyata terdapat cacat pada sisi rasionalitas. Sementara itu, Rasulullah mampu berdialog dengan menyentuh sekaligus aspek emosional, rasionalitas, dan intuisi.

Rasulullah tidak pernah mengabaikan hal-hal materiil ketika berhadapan dengan seseorang. Bahkan beliau berhasil menggunakannya sebagai pintu masuk untuk menjangkau hati orang yang bersangkutan. Rasulullah sangat piawai menggunakan akal dan selalu menyeru umat untuk menggunakan akal. Beliau sangat memperhatikan penggunaan logika dan kaidah nalar serta menggunakannya untuk berdialog dengan nurani manusia. Siapapun yang mendengar suara Rasulullah di kedalaman hatinya pasti akan mampu mencapai hakikat dalam waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan yang dilakukan siapapun.

Posisi para filsuf seperti Pascal, Bergson, dan lainnya yang ingin mencapai Tuhan dengan menggunakan intuisi selalu jauh tertinggal di belakang murid-murid didikan Rasulullah Saw., meski sebenarnya masalah ini menjadi “daerah garapan utama” para filsuf tersebut. Bahkan dalam urusan akhlak dan keutamaan, para filsuf itu tidak dapat ditempatkan sejajar dengan seorang mukmin yang paling awam.

Selain tidak mungkin mencapai keluhuran Rasulullah Saw. dalam semua bidang, kita juga melihat bahwa kondisi ini juga berlaku pada ranah kecerdasan. Dengan ketajaman pandangan yang beliau miliki, Rasulullah selalu lebih unggul dibandingkan musuh-musuh beliau dan berhasil membuat mereka menyerah.

Suatu ketika Rasulullah pernah mengacungkan jari ke arah berhala sesembahan kaum musyrik seraya berseru kepada mereka: “Apa yang kalian harapkan dari bongkahan batu, kayu, dan debu itu?!”

Setelah memancing rasionalitas lawan bicaranya, Rasulullah lalu menyentuh hati orang yang bersangkutan dengan cara yang tidak biasa atau terkadang dengan menggunakan mukjizat. Setelah itu, barulah beliau akan melangkah lebih jauh dengan mengungkapkan ketenangan dalam iman agar orang tersebut dapat merasakan nikmatnya keimanan sampai akhirnya ia berubah menjadi pribadi baru yang menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama.

Mari kita selisik riwayat Umar ibn Khaththab ra. Ketika Umar masih kafir, Rasulullah pernah berkata kepada Umar bahwa beliau tidak pernah dapat memahami bagaimana mungkin orang secerdas Umar dapat hidup jauh dari hidayah dan terus berharap pada batu dan patung.

Dengan sabda beliau itu, terlihat jelas bagaimana Rasulullah mengawali kata-katanya dengan pujian kepada Umar. Tapi kemudian beliau melontarkan ucapan yang mengusik logika. Lewat sabda itu, seakan-akan Rasulullah menggamit Umar dengan tangan lalu menyuntikkan kata-kata lembut ke dalam hati Umar yang akan menerbitkan perasaan nyaman dan percaya. Pada tahap ketiga, barulah Rasulullah dengan kualitas ubudiyah beliau yang dalam, berhasil membuat Umar yang pada masa jahiliyah dikenal sebagai pribadi yang keras, bersedia duduk di hadapan beliau sebagai murid yang patuh di depan guru besarnya.

Sebelum melanjutkan ke pembahasan berikutnya, izinkan saya mengetengahkan contoh berikut ini:

Suatu ketika datanglah seorang pemuda menemui Rasulullah Saw. Para sahabat memang tidak pernah menyebutkan nama pemuda itu, tapi setelah saya meneliti semua riwayat yang ada, saya menemukan fakta bahwa pemuda itu bernama Julaibib ra.

Berikut ini kutipan lengkap dari hadits yang saya maksud:

Diriwayatkan dari Abu Umamah, dia berkata:

Seorang pemuda mendatangi Rasulullah lalu berkata: “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berzina.”

Beberapa orang sahabat langsung mengumpat pemuda itu dengan berseru: “Mah… mah!”

Namun Rasulullah buru-buru menukas: “Biarkan pemuda itu mendekat.”

Pemuda itu pun mendekat dan duduk di hadapan Rasulullah.

Rasulullah lalu bertanya: “Apakah kau senang jika yang berzina itu ibumu?”

“Tentu tidak,” sahut pemuda itu, “Demi Allah aku rela jika Allah menjadikan aku sebagai penebusmu.”

Rasulullah berkata: “Demikianlah pula semua orang tidak ada yang suka jika yang berzina adalah ibu-ibu mereka.” Lalu Rasulullah bertanya lagi: ” Apakah kau senang jika yang berzina itu putrimu?”

“Tentu tidak, wahai Rasulullah,” sahut pemuda itu, “Demi Allah aku rela jika Allah menjadikan aku sebagai penebusmu.”

Rasulullah berkata: “Demikianlah pula semua orang tidak ada yang suka jika yang berzina adalah putri-putri mereka.” Lalu Rasulullah bertanya lagi: “Apakah kau senang jika yang berzina itu saudarimu?”

“Tentu tidak, wahai Rasulullah,” sahut pemuda itu, “Demi Allah aku rela jika Allah menjadikan aku sebagai penebusmu.”

Rasulullah berkata: “Demikianlah pula semua orang tidak ada yang suka jika yang berzina adalah saudari-saudari mereka.” Lalu Rasulullah bertanya lagi: “Apakah kau senang jika yang berzina itu bibimu dari jalur ayah?”

“Tentu tidak,” sahut pemuda itu, “Demi Allah aku rela jika Allah menjadikan aku sebagai penebusmu.”

Rasulullah berkata: “Demikianlah pula semua orang tidak ada yang suka jika yang berzina adalah bibi-bibi mereka dari jalur ayah.” Lalu Rasulullah bertanya lagi: ” Apakah kau senang jika yang berzina itu bibimu dari jalur ibu?”

“Tentu tidak,” sahut pemuda itu, “Demi Allah aku rela jika Allah menjadikan aku sebagai penebusmu.”

Rasulullah berkata: “Demikianlah pula semua orang tidak ada yang suka jika yang berzina adalah bibi-bibi mereka dari jalur ibu.”

Rasululah lalu meletakkan tangan beliau di tubuh si pemuda seraya berkata: “Wahai Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.” Setelah itu, si pemuda sama sekali tidak pernah melirik apa-apa lagi.[1]

Dengan dialog logis seperti ini, Rasulullah berhasil membuat si pemuda merasa nyaman terhadap Rasulullah yang kemudian membimbingnya ke arah kebenaran. Rasulullah bahkan mendoakan pemuda itu dengan berkata: “Wahai Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.” Sejak saat itu, Julaibib ra. menjadi teladan bagi umat Islam dalam menjaga kesucian diri.

Tapi rupanya tak ada seorang pun yang bersedia menikahkan putrinya dengan Julaibib karena semua orang telah mengetahui betapa bejatnya pemuda itu sebelum masuk Islam. Rasulullah lalu menikahkan Julaibib dengan seorang wanita.[2] Tapi tidak lama setelah pernikahan dilangsungkan, Julaibib gugur sebagai syahid dalam perang pertama yang diikutinya.

Setelah perang usai, Rasulullah bertanya kepada para sahabat: “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Ya,” jawab para sahabat, “Kami kehilang si fulan dan si fulan…”

Tapi Rasulullah mengulangi lagi pertanyaannya: “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Ya,” jawab para sahabat, “Kami kehilang si fulan dan si fulan…”

Tapi Rasulullah mengulangi lagi pertanyaannya: “Apakah kalian masih kehilangan seseorang?”

“Tidak,” jawab para sahabat.

“Tapi aku masih kehilangan Julaibib,” tukas Rasulullah, “Lekaslah kalian cari dia!”

Maka para sahabat pun mencari Julaibib di antara para prajurit yang tewas. Tak lama kemudian, mereka berhasil menemukan jasad Julaibib tergeletak di tengah tujuh mayat prajurit musyrik. Rupanya, Julaibib berhasil menghabisi ketujuh prajurit kafir itu sebelum dirinya gugur sebagai syahid. Rasulullah lalu mendatangi jasad Julaibib dan kemudian beliau bersabda: “Dia telah membunuh tujuh orang ini, lalu musuh membunuhnya. Dia dariku dan aku darinya. Dia dariku dan aku darinya.”[3]

Ya. Dengan kecerdasannya, Rasulullah telah berhasil menyelamatkan seorang pemuda dari tepi jurang perzinaan dan dosa. Bahkan kemudian dalam waktu singkat beliau berhasil mengangkat pemuda tersebut ke ketinggian martabat. Tentu saja hal ini membuat kita takjub!

Bayangkan seandainya semua ahli pendidikan dan psikolog terhebat di dunia berkumpul di semenanjung Arab, apakah mereka mampu mendidik dan membentuk pribadi-pribadi berakhlak mulia seperti yang telah dilakukan Rasulullah Saw. dalam waktu singkat? Tentu tidak! Mereka pasti takkan mampu melakukan itu. Bahkan para ilmuwan itu bukan hanya akan gagal mewujudkan pendidikan terbaik dan pekerti yang luhur, namun juga tidak akan berhasil menerapkan satu atau dua prinsip pendidikan seperti yang Rasulullah terapkan. Pengalaman sejarah telah membuktikan pernyataan saya ini.

Rasulullah hidup di sebuah era ketika moral umat manusia begitu busuk sehingga merasuk ke dalam diri dan menjadi tabiat mereka. Tapi ternyata Rasulullah bukan hanya berhasil mengenyahkan moral bejat bangsa Arab kala itu, melainkan juga mengubahnya menjadi pekerti yang sangat baik. Sampai kapanpun, umat manusia tidak akan pernah menyaksikan lagi keluhuran akhlak seperti yang dimiliki umat Islam di masa Rasulullah Saw. Sejarah Islam yang panjang menjadi saksi yang membenarkan pernyataan ini dan memberi kita begitu banyak contoh. Tampaknya, kegagalan masyarakat modern untuk menghilangkan prilaku buruk juga dapat menjadi saksi akan kebenaran Rasulullah.

Mari kita ambil satu contoh…

Saat ini, banyak negara yang mengerahkan segenap kemampuan untuk menghilangkan kebiasaan buruk merokok. Kita saksikan begitu banyak kementerian di berbagai belahan dunia berjibaku untuk menghapuskan kebiasaan merokok di negara mereka masing-masing. Bahkan entah sudah berapa kali kita mendengar bahwa para ahli kesehatan melangsungkan seminar dan menerbitkan berbagai macam tulisan yang berisi penjelasan tentang bahaya merokok. Tapi apa hasil dari semua itu? Nihil!

Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi pada komunitas yang dibentuk oleh Rasulullah Saw., dan betapa sabda Rasulullah begitu cepat terimplemenasi dalam kehidupan nyata. Saya akan menyampaikan satu contoh.

Anas ra. menuturkan:

…pada saat itu aku sedang berdiri sembari menuangkan khamar untuk Abu Thalhah, si fulan, dan si fulan. Tiba-tiba seseorang muncul seraya berkata: “Hai, apakah kalian telah mendengar sebuah berita?”

“Berita apakah gerangan?” tanya kami.

Lelaki itu menjawab: “Khamar telah diharamkan.”

Sontak kami berkata: “Buanglah semua yang masih tersisa ini wahai Anas.”

Kami mematuhi perintah itu begitu saja. Kami tidak pernah bertanya tentang itu dan tidak pernah minum khamar lagi sejak kami mendengar ucapan lelaki tersebut.[4]

Ya. Para sahabat Rasulullah melakukan semua itu dengan sedemikian mudahnya. Jadi, bagi orang-orang yang tidak suka mendengar penjelasan ini, saya ingin mengatakan kepada mereka sambil menunjuk semenanjung Arab: “Jika kalian ingin melakukan sesuatu, tolong kalian lakukan sepersejuta saja dari apa yang telah dilakukan Rasulullah di daerah itu!”

Mereka pasti takkan mampu melakukannya.

2- Implementasi Dakwah pada Diri Sendiri sebagai Langkah Awal

Salah satu metode dinamis yang digunakan Rasulullah Saw. dalam dakwah adalah membentuk gaya hidup pribadi yang persis sejajar dengan posisi beliau. Jadi teladan yang beliau berikan yang bersesuaian dengan apa yang beliau katakan dan serukan kepada manusia, memang benar-benar sempurna hingga mencapai taraf yang mampu membuat seseorang yang melihat beliau akan langsung beriman kepada Allah tanpa perlu mendengarkan penjelasan dalil-dalil yang pelik. Bahkan hanya dengan melihat Rasulullah satu kali saja, seseorang dapat langsung mengakui bahwa beliau memang benar-benar Utusan Allah.

Abdullah ibn Rawahah ra. pernah berkata dalam syairnya:

Kalau pun ayat-ayat yang menjelaskan tidak pernah turun
Maka perilakunya akan memberi tahukan kebenaran padamu
[5]

Ingatlah, orang-orang yang beriman dan patuh kepada Rasulullah serta selalu memanggil beliau dengan ucapan: “Wahai Rasulullah…” adalah orang-orang yang menguasai dunia sepeninggal Rasulullah.

Jadi ternyata keberhasilan yang dicapai Rasulullah bukan hanya terbatas pada segelintir sahabat saja. Di antara mereka itulah terdapat Abu Bakar ra., Umar ibn Khaththab ra., Utsman ibn Affan ra., dan Ali ibn Abi Thalib ra. Padahal masing-masing dari keempat sahabat ini adalah pribadi-pribadi agung yang mampu mengendalikan seluruh dunia.

Hebatnya, para sahabat itu selalu dengan enteng menyerahkan kepemimpinan kepada sahabat lain yang lebih terkemuka. Ketika ada salah seorang dari mereka –selain Rasulullah- yang berdiri untuk menjadi imam, maka tak ada seorang pun dari mereka yang merasa lebih unggul dan lebih berhak menjadi imam. Di antara para sahabat itulah terdapat Ali ibn Abi Thalib ra. yang pernah berkata: “Seandainya tabir penutup itu tersingkap, maka hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”[6] Ali adalah sosok yang keimanannya telah mencapai tingkat “haqqul yaqîn“. Menurut saya, iman kepada Rasulullah seperti yang dimiliki Ali ini dapat dijadikan bukti ketajaman pribadi Rasulullah Saw.

Sungguh seluruh perawakan Rasulullah memiliki kesan yang sedemikian kuat sampai-sampai ketika si alim Yahudi Abdullah ibn Salam melihat wajah Rasulullah untuk pertama kali, dia langsung berkata: “Ketika kulihat wajahnya, aku langsung mengetahui bahwa wajah itu bukanlah wajah seorang pendusta.”[7]

Ya. Dengan melihat Rasulullah saja sudah cukup untuk beriman kepada beliau. Orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk menyampaikan suara dan pendapat mereka kepada orang lain pasti mengerti betapa sulitnya mencapai apa yang dimiliki Rasulullah itu, yaitu kemampuan membuat orang beriman pada perjumpaan pertama. Sebagian besar orang-orang seperti itu telah menghabiskan waktu hidup mereka dengan terus berusaha sekuat tenaga untuk dapat mempengaruhi orang lain, tapi mereka hanya berhasil meyakinkan beberapa orang saja yang jumlahnya tak lebih hitungan jari tangan.

Coba Anda lihat Rasulullah Saw. Apakah ada manusia selain beliau yang namanya terus disebut sedikitnya lima kali sehari di menara-menara masjid di seantero dunia? Jadi jelaslah bahwa umat manusia memang begitu mencintai Rasulullah dan mereka menyatakan kecintaan itu lima kali sehari. Dan keistimewaan Rasulullah tetap seperti apa adanya walaupun banyak kelompok dan individu yang menentang beliau.

Ya. Meski apapun yang terjadi, nama Rasulullah Muhammad Saw. tetap bertahta di singgasana hati kita. Karena beliau selalu lebih dulu melakukan apapun yang beliau sampaikan kepada umat, dan beliau menjalani hidup sebagai teladan atas semua prinsip yang beliau sampaikan. Itulah sebabnya ucapan Raslullah selalu mampu menembus kedalaman hati umat manusia untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan.

Rasulullah benar-benar telah memberi teladan terbaik dalam urusan ibadah kepada Allah ketika beliau menyeru manusia untuk beribadah. Dalam sebuah riwayat yang memuat keterangan Aisyah ra. berkenaan dengan ibadah yang dilakukan Rasulullah dikatakan sebagai berikut:

…lalu Rasulullah berkata: “Biarkanlah aku beribadah untuk Tuhanku.”

Maka aku pun berkata: “Demi Allah, sungguh sangat suka berada di dekatmu, dan aku suka kau beribadah kepada Tuhanmu.”

Maka Rasulullah pun bangkit menuju geriba lalu berwudhu tanpa menuang air banyak-banyak. Lalu beliau shalat dan kemudian menangis hingga jenggotnya basah. Lalu beliau bersujud dan menangis hingga membasahi lantai. Lalu beliau berbaring dan menangis. Sampai akhirnya ketika Bilal datang memberi tahu Rasulullah bahwa waktu subuh segera tiba, Bilal yang melihat Rasulullah menangis langsung bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa kau menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?” Rasulullah pun menyahut: “Waihak kau Bilal! Apa yang dapat menghalangi menangis padahal malam tadi telah turun kepadaku ayat yang berbunyi: ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal‘. (QS Ali Imran [3]: 190).” Lalu Rasulullah melanjutkan: “Celakalah orang yang membaca ayat itu tapi tidak merenungkannya.”[8]

Rasulullah pernah melakukan shalat sampai kedua kaki beliau bengkak. Dan ketika pada suatu hari beliau ditanya tentang hal itu dengan berkata bahwa beliau telah mendapatkan pengampunan atas semua dosa yang lalu dan yang akan datang, Rasulullah menyahut: “Kenapa aku tidak menjadi hamba yang pandai bersyukur?”[9]

Rupanya gerbang syukur telah dibuka di hadapan Rasulullah sehingga beliau menjadikan seluruh kesungguhan ibadahnya untuk bersyukur.

Ibunda kita Aisyah ra. berkata: “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah Saw. Aku pun mengira bahwa dia mendatangi salah satu istrinya, maka setelah mencarinya aku pun kembali. Tapi ternyata dia sedang rukuk atau sujud seraya berkata: ‘Subhânaka wa bihamdika lâ ilâha illâ anta‘ (Mahasuci Engkau dengan segala puji bagi-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau).” Maka aku pun berkata: “Demi ayah ibuku, sungguh aku sedang berada dalam satu urusan (cemburu), sedangkan kau berada dalam satu urusan yang lain.”

Dalam sebuah riwayat lain Aisyah berkata:

Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah Saw. dari atas kasur. Maka aku pun mencarinya sampai akhirnya tanganku terantuk kakinya yang sedang bersujud seraya berkata: “Wahai Allah, aku berlindung pada keridhaan-Mu dari murka-Mu, dan pada pengampunan-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung pada-Mu dari-Mu. Aku tak mampu menghitung pujianku pada-Mu sebagaimana Kau memuji diri-Mu sendiri.”[10]

Kalau saja Rasulullah mau, sebenarnya beliau sangat bisa meraih kehidupan yang makmur seperti raja-raja. Bahkan ketika di Mekah Rasulullah pernah ditawari kehidupan semacam itu sebagai imbalan jika beliau mau berhenti berdakwah. Tapi ternyata Rasulullah lebih memilih hidup yang sulit dan sengsara daripada hidup yang sentosa dan bergelimang harta. Semua itu beliau jalani demi dakwah…[11]

Rasulullah lebih memilih untuk hidup sebagai hamba yang sekaligus rasul (al-abd al-rasûl); yang ketika lapar khusyuk berdoa dan yang ketika kenyang selalu bersyukur, daripada hidup sebagai raja yang sekaligus rasul (al-malik al-rasûl).[12] Tapi justru gaya hidup Rasulullah yang sangat sederhana itulah yang telah membuat umat manusia merasa memiliki keterikatan dengan beliau.

Demikianlah pula jejak Rasulullah diikuti oleh Umar ibn Khaththab ra. yang menjalani hidupnya dengan sangat sederhana. Semuanya berasal dari apa yang disaksikan Umar pada kehidupan Rasulullah yang membuat orang sekeras dirinya menitikkan air mata.

Umar ra. menuturkan:

…kulihat beliau berbaring di atas sehelai tikar tanpa pelapis apa-apa. Di bawah kepala beliau hanya ada segumpal bantal kulit dengan isi sabut kelapa. Bagian kaki beliau dilapisi sehelai daun qarazh. Di atas kepala beliau tergantung selembar ahab. Lalu kulihat urat tikar membekas di sisi tubuh beliau sehingga aku pun menangis. Rasulullah lalu bertanya: “Kenapa kau menangis?” Kujawab: “Wahai Rasulullah, Kisra dan Kaisar bergelimang kesenangan, sementara engkau adalah seorang Utusan Allah.” Rasulullah pun menukas: “Tidakkah kau rela jika mereka memiliki dunia, sementara kita memiliki akhirat?”[13]

Adalah benar jika dikatakan bahwa sebagai muslim kita wajib memegang tali kendali dunia. Rasulullah Saw. lebih mengetahui tentang hal itu dibandingkan siapapun. Tapi ternyata Rasulullah menjalani hidup beliau dengan sangat sederhana. Bahkan pada hakikatnya, Rasulullah sama sekali tidak hidup untuk dirinya, tapi untuk orang lain. Bukankah teladan yang ditunjukkan Rasulullah dalam dakwah dengan cara seperti itu menjadi daya tarik terkuat bagi umat manusia?

Tak diragukan lagi, di dalam kehidupan, perilaku, tingkah laku, dan gaya hidup Rasulullah terkandung pelajaran yang sangat berharga bagi para dai. Ya. Syarat utama untuk dapat menjangkau hati manusia adalah dengan mengimplementasikan nilai-nilai dakwah pada diri sendiri seperti yang dilakukan Rasulullah Saw.

Jika Anda ingin menjelaskan kepada seseorang arti dari takut kepada Allah (makhâfatullâh), maka Anda harus lebih dulu membiasakan diri bangun malam dan membasahi sajadah Anda dengan air mata. Jika Anda melakukan hal itu lalu Anda mengajak orang lain melakukan hal yang sama, Anda pasti akan terkejut dengan kekuatan kata-kata Anda. Tapi kalau tidak, maka Anda akan tertampar oleh ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” (QS al-Shaff [61]: 2). Dan Anda takkan memberi pengaruh apapun kepada orang lain, sehebat apapun retorika Anda.

3- Tidak Menunggu Imbalan

Sikap Rasulullah yang tidak pernah menanti imbalan, baik imbalan duniawi maupun ukhrawi, dalam perjuangan dakwah dan tablig adalah bukti kebenaran risalah yang beliau bawa. Karena beramal tanpa pamrih adalah salah satu ciri akhlak para nabi. Para dai sejati yang muncul setelah masa Rasulullah adalah mereka yang memiliki akhlak seperti beliau. Al-Qur`an memerintahkan kita untuk mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta imbalan dari siapapun.[14]

Sayyidah Khadijah ra. mendermakan seluruh hartanya di jalan Allah. Rasulullah tidak pernah meminta imbalan apapun untuk dirinya. Abu Bakar ra. yang merupakan sahabat karib Rasulullah, ketika menemani beliau berhijrah ke Madinah, dia menyewa hewan tunggangan untuk Rasulullah. Tapi beliau menolak naik hewan tersebut sampai ongkos sewanya dilunasi.[15] Bayangkan, di tengah situasi genting yang biasanya seseorang hanya akan memikirkan keselamatan dirinya, Rasulullah justru risau dengan pelunasan ongkos sewa kendaraan. Bukankah hal itu menunjukkan betapa tebalnya keikhlasan beliau? Karena bagaimana mungkin seseorang sempat memikirkan hal yang “remeh” seperti itu di tengah kondisi gawat yang mengancam jiwanya. Sungguh peristiwa itu telah menjadi pelajaran berharga bagi para dai masa kini yang harus mereka sadari.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

Suatu ketika aku menemui Rasulullah yang sedang shalat sambil duduk. Aku berkata: “Wahai Rasululah, kulihat kau shalat sambil duduk. Ada apa denganmu?” Rasulullah menjawab: “Aku kelaparan, wahai Abu Hurairah.” Aku pun menangis mendengar itu. Tapi Rasulullah menukas: “Janganlah kau menangis. Karena kerasnya Hari Kiamat tidak akan menyentuh orang yang kelaparan jika dia bersabar atas apa yang menimpanya itu.”[16]

Rupanya rasa lapar telah menjadi sahabat Rasulullah yang tak pernah meninggalkan beliau.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia menuturkan:

Pada suatu malam Rasulullah keluar rumah dan tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Rasulullah lalu bertanya: “Apa yang menyebabkan kalian meninggalkan rumah di saat seperti ini?”

Abu Bakar dan Umar menjawab: “Karena lapar wahai Rasulullah.”

Rasulullah berkata lagi: “Demikian pula aku. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku keluar rumah disebabkan apa yang telah menyebabkan kalian keluar rumah.”[17]

Ya. Laparlah yang telah membuat mereka bertemu saat itu. Tiga orang yang telah mendermakan seluruh harta yang mereka miliki di jalan Allah, sampai-sampai tak tersisa apa-apa lagi meski sekedar hanya untuk mengganjal perut. Dan ketika rasa lapar kian menghimpit, mereka bertiga tak dapat tidur dan keluar ke jalanan kota Madinah.

Sikap seperti inilah yang dulu menjadi soko guru penopang dakwah dan tablig. Jadi dakwah Islam saat ini membutuhkan soko guru yang sama agar mampu mendorong dan menyebarkan dakwah ke seluruh umat manusia.

Sekarang mari kita lihat Fathimah ra. putri Rasulullah yang pernah disebut dalam sabda beliau: “Fathimah bagian dari diriku. Siapapun yang membuatnya marah, maka ia telah membuatku marah.”[18]

Fathimah selalu melakukan pekerjaan rumah tangga mulai dari mengangkut air hingga menggiling tepung sendiri karena ia tidak memiliki seorang pembantu hingga membuat tangannya kapalan dan bahunya membungkuk. Ali ibn Abi Thalib ra., suaminya pun merasa kasihan kepadanya tapi dia tak dapat berbuat banyak karena tak memiliki apa-apa. Demikianlah hal itu berlangsung sekian lama, tanpa pernah sedikit pun Fathimah mengeluh karena rupanya dia mewarisi akhlak ayahandanya sebagaimana halnya Fathimah adalah juga menjadi orang yang paling mirip dengan Rasulullah dari gaya berdirinya, duduknya, dan berjalannya.[19]

Sampai ketika kaum muslimin mendapatkan pampasan dan tawanan perang, para tawanan itu lalu digelandang menuju Madinah. Setibanya di Madinah, semua orang yang berkebutuhan ramai-ramai menghadap Rasulullah untuk meminta ini itu. Pada saat itu, Ali meminta agar Fathimah menghadap Rasulullah untuk meminta seorang pembantu yang dapat menolongnya menyelesaikan pekerjaan rumah…

Mari kita dengar penjelasan Ali ibn Abi Thalib ra. tentang kejadian itu.

Fathimah mengadu padaku tentang tangannya yang kapalan disebabkan tangkai alat penggiling gandum. Pada saat itu Rasulullah didatangi seorang tawanan perang. Maka Fathimah mendatangi Rasulullah, tapi tidak berhasil menemui beliau dan hanya bertemu Aisyah. Fathimah lalu memberi tahu Aisyah tentang masalahnya. Beberapa saat kemudian setelah Rasulullah datang, Aisyah menyampaikan masalah Fathimah kepada beliau. Rasulullah mendatangi kami yang saat itu sudah hendak tidur. Ketika kulihat Rasulullah masuk, aku berniat untuk bangun. Tapi Rasulullah berkata: “Tetaplah kalian di situ.” Rasulullah kemudian duduk di antara kami berdua hingga kurasakan dingin kaki beliau di dadaku. Rasulullah berkata: “Bagaimana jika kuajari kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Jika kalian sudah akan tidur, bacalah takbir tiga puluh tiga kali –di riwayat lain disebutkan tiga puluh empat kali-, tasbih tiga puluh tiga kali, dan tahmid tiga puluh tiga kali. Itu semua lebih baik daripada seorang pembantu.”[20]

Suatu ketika Rasulullah pernah melihat Fathimah ra. sedang memegang sebuah kalung emas. Rasulullah pun berkata: “Wahai Fathimah! Apakah kau senang jika orang-orang berkata bahwa putri Rasulullah sedang memegang sebuah kalung dari api neraka?” Seketika itu juga Fathimah membawa kalung itu ke pasar dan menjualnya. Uang hasil penjualan itu lalu dia gunakan untuk memerdekakan seorang budak. Ketika hal itu sampai di telinga Rasulullah, beliau pun bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari api neraka.”[21]

Dalam penjelasan tentang ketiga landasan ini, ada satu hal yang perlu kita perhatikan yaitu bahwa selain tidak pernah mengharapkan imbalan dari siapapun, Rasulullah juga sangat tabah dalam menghadapi perlawanan dan serangan orang-orang musyrik.

Berapa kali orang-orang kafir menaburkan debu ke kepala beliau ketika satu-satunya orang yang menolong beliau adalah Fathimah? Berapa kali kaki Rasulullah terluka disebabkan duri yang dilemparkan kaum kafir ke jalan yang beliau lewati? Bahkan pada suatu kali ketika Rasulullah sedang shalat di Ka’bah, beberapa orang musyrik berkumpul di sekeliling beliau. Lalu salah seorang dari mereka melilitkan sehelai serban ke leher Rasulullah dan kemudian mencekiknya kuat-kuat. Pada saat itu datanglah Abu Bakar ra. membela Rasulullah seraya berkata: “Apakah kalian mau membunuh seorang laki-laki yang berkata ‘Tuhanku adalah Allah’ dan dia telah menyampaikan penjelasan dari Tuhan kepada kalian.”[22]

Tapi semua serangan itu sama sekali tidak menggoyahkan Rasulullah dari dakwah beliau. Itulah sebabnya Rasulullah pernah berkata kepada putrinya, Zainab yang menangis disebabkan perlakuan buruk kaum musyrik terhadap ayahnya: “Wahai putriku, janganlah kau takut ayahmu akan terbunuh atau terhina…”[23]

Allah memang tidak akan pernah menyia-nyiakan Rasulullah atau merendahkan martabat beliau. Alih-alih, Allah justru akan selalu menjadikan cinta kepada Rasulullah kekal abadi di dalam jutaan pengikut beliau.

Sebelum kita beralih ke topik lain, berikut ini kami ketengahkan beberapa hal seputar dakwah dan tablig.

Sampai bagian ini, kami telah berusaha menjelaskan bahwa dakwah adalah tujuan diutusnya para nabi, khususnya Rasulullah Saw. Para nabi memang diciptakan Allah untuk melakukan dakwah dan tablig. Ketika kita melakukan dakwah dan tablig, kita melakukannya atas dasar tanggung jawab tertentu yang harus kita tunaikan. Tapi tidak demikian dengan para nabi. Mereka melakukan dakwah dan tablig karena mereka memang tercipta untuk itu. Jadi, dakwah dan tablig memang menjadi tujuan hidup para nabi.

Dalam penjelasan mengenai topik ini kami juga telah berusaha menjelaskan bahwa risalah yang dibawa Rasulullah memang telah berstempel “Muhammad Rasûllâh“. Kami juga telah menjelaskan beberapa metode dan strategi yang dipakai Rasulullah dalam menyampaikan risalah yang beliau emban. Bahkan kemudian strategi yang beliau gunakan itu menjadi bukti kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah. Dari situlah kemudian kami dapat menunjukkan jalan terbaik yang tidak akan membuat para dai tersesat. Kami yakin sepenuhnya bahwa jika kita menginginkan keberhasilan yang berkesinambungan, maka tak ada pilihan lain bagi kita selain dengan mengikuti metode dan strategi dakwah yang dulu digunakan Rasulullah Saw. Apalagi ribuan kejadian telah membuktikan bahwa keberhasilan mustahil diraih jika kita menempuh jalan lain. Jadi, kami ingin mengingatkan kita semua sekali lagi bahwa para dai yang ingin menjadi pembimbing bagi umat manusia, harus selalu mengikuti jejak Rasulullah Saw. Beliaulah sang pembimbing yang sejati. Dan jalan yang beliau tempuh adalah jalan hidayah yang lurus. Semua itu dapat terjadi karena beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu, sebab semua kata-kata beliau adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt.

B. Tablig sebagai Fitrah Rasulullah SAW

Bagi Rasulullah Saw., tablig adalah fitrah. Jiwa Rasulullah akan terasa gersang jika tidak menemukan hati bersih yang mau mendengar dakwahnya, sebagaimana halnya kita akan merasa gelisah jika tidak menemukan makanan, minuman, atau udara untuk bernafas. Tapi bagi Rasulullah, makan minum bukanlah kebutuhan utama sehingga beliau sering melakukan puasa tanpa henti.[24] Bahkan ketika makan, Rasulullah hanya akan bersantap sekedar agar dapat mengganjal perut dan untuk bertahan hidup.[25]

Rupanya jiwa Rasulullah yang biasa ditempa oleh getirnya perjuangan dakwah telah membuat beliau tidak telalu bernafsu pada makanan. Jadi dapat dikatakan bahwa jika malaikat hidup dengan bacaan tasbih, maka Rasulullah hidup dengan dakwah. Ketika Rasulullah menemukan hati yang terbuka pada seruan dakwah, jiwa beliau pun sedang dan bergairah. Mengenai hal ini Al-Qur`an menyatakan: “Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (QS al-Syu’arâ` [26]: 3).

Dalam ayat lain dikatakan: “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur’an).” (QS al-Kahf [18]: 6).

Ya. Setiap kali Rasulullah melihat seseorang yang menentang Allah dan menolak untuk tunduk pada-Nya, beliau akan langsung merasakan nyeri di kedalaman hati beliau. Karena sikap orang tersebut telah menyebabkan duka yang mendalam bagi beliau. Watak seperti itu telah tertanam begitu kuat di dalam diri Rasulullah jauh sejak beliau belum diangkat menjadi rasul, dan semakin kuat setelah beliau menjadi rasul.

Seiring dengan sikap patuh atas semua perintah, ajaran, dan aturan agama, kita dapat menyimak sebuah jawaban penuh makna yang dilontarkan oleh salah seorang murid Rasulullah yang telah merasakan penderitaan sekaligus memiliki banyak impian atas umat Islam di masa kini,[26] ketika ada orang yang bertanya ihwal alasannya tidak kunjung menikah. Dia berkata:

“Sungguh karena saya begitu banyak memikirkan dan disibukkan oleh penderitaan dan pelbagai kesulitan yang dihadapi umat Islam, maka saya tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk memikirkan urusan pernikahan.”

Ya. Seperti inilah keadaan para nabi dan para pewaris mereka. Saya yakin bahwa sang alim selalu menunggu seperti halnya orang-orang yang hatinya menyala dengan getirnya dakwah dan berbagai masalah di sekitarnya.

Ketika kita telah sampai di sini pada topik bahasan ini, maka perkenankan saya untuk menyampaikan sebuah contoh yang sering saya ulang karena contoh ini dapat memberi dimensi lain pada bahasan kita. Begini kisahnya…

Salah seorang rekan saya yang baik hati tinggal di tengah sebuah keluarga di Jerman. Ternyata dengan jiwanya yang bersih dan sikapnya yang tulus –dan tentu saja berkat pertolongan Allah- dia berhasil memberi kesan baik pada keluarga yang ditumpanginya dan menjadi jalan hidayah bagi mereka. Si ayah menjadi yang pertama masuk Islam, lalu diikuti oleh si ibu dan anak-anak sehingga akhirnya rumah yang didiaminya itu menjadi sepotong surga di bumi.

Pada suatu hari, ketika tuan rumah sedang duduk-duduk bersama rekan saya itu, tiba-tiba si tuan rumah yang telah merasakan datangnya hidayah Islam berkata: “Wahai temanku, sungguh aku menyayangimu. Aku benar-benar mencintaimu sampai-sampai aku berharap aku dapat membelah dadaku dan kuserahkan hatiku padamu. Aku rela melakukan itu karena kau menjadi jalan datangnya hidayah bagiku, sehingga aku dan keluargaku dapat merasakan kehidupan yang abadi. Tapi di saat yang sama, aku juga merasakan kemarahan luar biasa terhadap dirimu, sampai-sampai aku ingin memukulmu sampai babak-belur.”

Rekan saya diam saja mendengar itu. Si tuan rumah melanjutkan…

“Mungkin kau bertanya kenapa aku bersikap begini? Baiklah akan kujelaskan padamu. Beberapa saat sebelum kau tiba di rumah ini, ayahku meninggal dunia. Padahal dia jauh lebih pantas untuk menjadi muslim dibandingkan aku. Dia memiliki jiwa yang tulus dan selalu menjalani hidup dengan bersih . Kalau saja engkau datang ke sini sebelum ayahku itu wafat, kau pasti akan dapat menjadi jalan baginya untuk menerima hidayah Islam. Itulah sebabnya aku sangat marah padamu disebabkan kedatanganmu yang terlambat!”

Apa yang dikatakan si Jerman itu terdengar seperti rintihan bangsa Eropa, bahkan seluruh dunia. Sungguh saya sangat khawatir kalau ubun-ubun saya akan dicabut paksa lalu saya akan dihisab atas semua ini. Itu mungkin terjadi karena saya belum bisa menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia dengan cara yang tepat.

C. Gairah dalam Berdakwah

Rasulullah Saw. adalah sosok yang sangat bergairah dalam berdakwah. Beliau sama sekali tidak ingin membiarkan ada seorang pun yang tidak mendengar seruan kebenaran. Itulah sebabnya dalam bertablig dan berdakwah, beliau selalu berusaha sekuat tenaga menggunakan cara yang benar dan tepat. Lihatlah ketika Rasulullah mendampingi pamannya, Abu Thalib yang tengah terbaring sekarat menjelang ajal.

Abu Thalib telah merawat dan melindungi Rasulullah Saw. selama hampir empat puluh tahun. Sejak Rasulullah mengumumkan kenabian beliau, orang-orang Mekah pun menyadari bahwa Abu Thalib menjadi benteng pelindung bagi Muhammad yang tidak akan mungkin dapat mereka tembus. Kala itu kaum musyrik memang sama sekali tidak dapat menyentuh Muhammad Saw. karena mereka harus melangkahi Abu Thalib terlebih dulu.

Abu Thalib rela menanggung seluruh beban derita demi melindungi Rasulullah Saw. Meski dengan usianya yang semakin tua dan kemiskinan yang menderanya, Abu Thalib ikut merasakan kesengsaraan ketika kaum musyrik Mekah melakukan embargo terhadap Bani Abdul Muthallib selama tiga tahun.

Ketika Abu Thalib tergolek lemah di ranjang kematian, Rasulullah berdiri di sisinya sambil terus berkata: “Wahai Paman, ucapkanlah Lâ ilâha illallâh (tiada Tuhan selain Allah). Satu kalimat yang akan membuatku bisa berhujjah di depan Allah.”

Sementara itu, Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah terus berusaha menghalang-halangi Abu Thalib dari hidayah. Kedua gembong kafir Quraisy itu berkata: “Wahai Abu Thalib, apakah kau membenci agamanya Abdul Muthallib?”

Demikianlah kedua durjana itu terus berbicara hingga akhirnya Abu Thalib berkata di ujung usianya: “Aku tetap memegang agamanya Abdul Muthallib.”

Demi mendengar itu, Rasulullah langsung menukas: “Aku pasti akan memohonkan ampunan untukmu jika aku tidak dilarang melakukan itu.”[27]

Tapi lalu turunlah ayat yang melarang Rasulullah memohon ampunan untuk Abu Thalib. Ayat itu berbunyi: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam.” (QS al-Taubah [9]: 1123).

Berkenaan dengan peristiwa itu, Abu Bakar ra. mengetahui bahwa Rasulullah sangat menginginkan Abu Thalib mendapat hidayah. Setelah peristiwa Penaklukan Mekah, Abu Bakar ra. datang bersama ayahnya yang sudah renta bernama Abu Quhafah menemui Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam.

Ibnu Abbas ra. meriwayatkan kejadian ini sebagai berikut:

Abu Bakar ra. datang bersama ayahnya yang sudah renta dan buta. Rasulullah lalu berkata: “Kenapa tak kau biarkan saja orang tua ini sampai aku yang mendatanginya?”

Abu Bakar ra. menjawab: “Aku ingin agar Allah memberinya pahala. Demi Zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku lebih suka dengan keislaman Abu Thalib daripada dengan keislaman ayahku ini, karena dengan itu aku menaruh harap kepada orang kesayanganmu itu.”[28]

Selain sangat mengharapkan keislaman Abu Thalib ra. pamannya, Rasulullah Saw. juga sangat mengharapkan keislaman Wahsyi yang tidak lain adalah pembunuh Hamzah ra., paman Rasulullah Saw. Sejarah kemudian mencatat peristiwa ini.

1- Dakwah kepada Wahsyi

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw. mengirim utusan untuk menyeru Wahsyi masuk Islam. Setelah menerima dakwah itu, Wahsyi pun terkejut dan menyampaikan pesan kepada Rasulullah: “Wahai Muhammad, bagaimana mungkin engkau berdakwah padaku padahal kau menyatakan bahwa siapapun yang membunuh, berbuat syirik, atau berzina pasti akan berdosa dan kelak di Hari Kiamat akan dilipatgandakan siksanya sebelum dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Sementara aku sudah melakukan dosa itu. Apakah kau menemukan keringanan untukku?”

Allah Swt. menjawab pertanyaan Wahsyi itu dengan menurunkan ayat yang berbunyi: “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Furqân [25]: 70).

Setelah mendengar jawaban itu, Wahsyi kembali berkata: “Wahai Muhammad, syarat yang kau sampaikan itu terlalu berat ‘kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh.’ Jangan-jangan aku tidak dapat melakukan semua itu.”

Tapi Allah kembali menjawab pertanyaan Wahsyi itu dengan menurunkan ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (QS al-Nisâ` [4]: 48).

Setelah mendengar jawaban itu, Wahsyi berkata: “Wahai Muhammad, ternyata aku baru diampuni jika Tuhanmu memang berkenan melakukan itu. Sungguh aku tidak tahu apakah aku diampuni ataukah tidak. Apakah ada pilihan selain ini?”

Allah sekali lagi menjawab pertanyaan Wahsyi itu dengan menurunkan ayat yang berbunyi: “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS al-Zumar [39]: 53).

Setelah mendengar ayat itu, barulah Wahsyi berkata: “Baiklah.” Dan dia pun masuk Islam.[29]

Demikianlah akhirnya Wahsyi si bekas budak yang telah membunuh Hamzah ra. paman Rasulullah Saw. demi mendapatkan kemerdekaan dirinya dari majikannya, akhirnya bergabung dengan para sahabat mulia yang selalu kita sandingkan nama-nama mereka dengan gelar “radhiyallâhu anhu“. Padahal Wahsyi-lah yang telah membunuh Hamzah ra. Sebuah peristiwa memilukan yang takkan pernah dapat dilupakan baik oleh Wahsyi sendiri maupun oleh semua orang. Tapi pastilah Wahsyi tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan yang dilakukannya itu, karena ketika dia melakukannya dia belum memeluk agama Islam, padahal tindakan masuk agama Islam akan menghapus semua dosa yang sebelumnya. Jadi dosa-dosa Wahsyi yang lalu telah diampuni.[30]

Demikianlah anugerah yang diterima Wahsyi, meski walau bagaimana pun tetap saja dia adalah pembunuh Hamzah ra.

Setelah memeluk Islam, Hamzah yang telah menjadi legenda hidup bagi bangsa Arab disebabkan kebiasaannya berburu singa untuk kemudian dibelah perutnya itu mengumumkan keislamannya di depan khalayak. Selain sebagai paman, Hamzah ra. juga adalah saudara susu Rasulullah Saw.[31]

Sebelum Hamzah masuk Islam, kaum muslimin hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Tapi tak lama setelah Hamzah mengumumkan keislamannya, sudut-sudut semenanjung Arab mulai ramai dengan dakwah Islam.

Inilah Hamzah yang tewas di tangan Wahsyi pada masa jahiliyah. Dengan sebilah tombak yang dilemparkannya dalam Perang Uhud, Wahsyi berhasil mengenai dada paman Rasulullah ini, dan Hamzah yang perkasa itu pun roboh ke tanah. Konon, pada saat itu tubuh Hamzah yang tergolek di tanah membentuk huruf “لا” () yang berarti “tidak”. Sejak memeluk Islam, Hamzah memang selalu mengatakan “tidak” kepada semua yang selain Allah.

Setelah perang usai, Rasulullah menemukan tubuh Hamzah yang telah dirusak. Beliau lalu duduk di sisi jasad pamannya sambil menahan tangis. Tapi akhirnya tangis Rasulullah pecah juga karena rupanya beliau tak kuasa menahan pilu atas kematian manusia istimewa itu.

Beberapa tahun kemudian, tangan Wahsyi yang serasa masih berlumur darah Hamzah, diulurkan kepada Rasulullah untuk berbaiat. Jadi silakan Anda renungkan peristiwa ini dan hayatilah seperti apa kiranya dakwah dan tablig yang dilakukan Rasulullah. Dengan lapang dada Rasulullah bersedia menjabat tangan Hamzah dan kemudian mengucapkan selamat atas keislamannya. Bahkan Rasulullah sendirilah yang menyeru Wahsyi untuk masuk Islam.

Namun setelah Wahsyi masuk Islam, Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah kau dapat menyembunyikan wajahmu dariku?”

Rupanya, Rasulullah menyadari bahwa dirinya tidak pernah sanggup melihat wajah Wahsyi. Sebab setiap kali bersitatap dengan sahabat yang satu ini, hatinya selalu merasakan perih tak terhingga karena teringat kembali akan Hamzah. Rasulullah pun khawatir jika hal itu akan membuatnya membenci Wahsyi yang sudah menjadi sahabatnya yang seharusnya dapat diperlakukan seperti para sahabat yang lain.

Tapi Wahsyi sangat menyadari posisinya. Sebagaimana halnya para sahabat Rasulullah yang lain, dia selalu mematuhi perintah junjungannya tanpa reserve. Sejak Rasulullah memerintahkannya untuk tidak menampakkan wajahnya, Wahsyi selalu berusaha menjaga jarak dari Rasulullah dan tidak menampakkan wajahnya di hadapan beliau. Meski pun seiring dengan itu, jauh di dalam hatinya Wahsyi sangat berharap agar suatu ketika Rasulullah berkenan memanggilnya lagi…

Entah berapa lama Wahsyi menunggu panggilan yang kedua itu. Setiap kali dirinya berbaris di tengah pasukan muslim, Wahsyi selalu mencuri pandang ke arah Rasulullah sembari berharap kalau-kalau beliau melontarkan kata-kata: “Wahai Wahsyi, sekarang kau boleh bertatapan denganku.”

Tapi harapan itu tak kunjung terwujud. Sampai akhirnya pada suatu hari, Wahsyi mendengar berita yang mengguncang jiwanya: Rasulullah wafat! Hati Wahsyi benar-benar remuk. Panggilan yang dinanti sekian lama itu akhirnya benar-benar memudar lenyap ditelan waktu.

Sejak wafatnya Rasulullah, Wahsyi terus terbenam dalam penyesalan atas dosanya membunuh Hamzah. Sampai akhirnya peperangan Yamamah berkobar di masa Abu Bakar ra. Wahsyi pun bergegas menyambut panggilan jihad dan bergabung bersama pasukan muslim di bawah pimpinan Panglima Besar Khalid ibn Walid ra.

Inilah saat yang ditunggu-tunggu, dan Wahsyi bertekad untuk tidak menyia-nyiakannya. Bayangan dosa membunuh Hamzah –yang sebenarnya telah diampuni oleh Allah-, benar-benar membuat Wahsyi merasa dirinya terbebani hutang sebesar gunung. Hati bekas budak itu tak pernah tenang. Tapi sekarang sebuah kesempatan telah terbuka lebar untuknya, yaitu membunuh Musailamah al-Kadzdzab musuh terbesar kaum muslimin pada saat itu. Menjelang keberangkatan, Wahsyi menenteng tombak yang dulu dia lemparkan ke dada Hamzah menuju medan pertempuran Yamamah.

Singkat cerita, perang pun berkecamuk. Pertempuran berlangsung sengit selama berhari-hari hingga akhirnya pasukan Musailamah al-Kadzdzab terdesak. Nabi palsu dari Yamamah itu pun berusaha kabur.

Pada saat itulah seorang prajurit muslim berteriak ke arah Wahsyi: “Itu dia musuh Allah!”

Wahsyi yang sejak awal pertemuran memang telah berpesan kepada para prajurit muslim agar Musailamah ditunjukkan kepadanya, buru-buru melangkah mendekati si nabi palsu. Dalam hitungan detik, tombak Wahsyi meluncur deras dan tepat mengenai dada Musailamah sehingga tubuh nabi palsu itu pun terjatuh dari kudanya dan roboh ke tanah.

Bukan main gembiranya Wahsyi menyaksikan musuh Allah itu roboh. Dia langsung melakukan sujud syukur dengan air mata menetes membasahi pipinya.[32] Pada saat itu Wahsyi merasa seakan dirinya tengah berbicara dengan roh Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah, apakah sekarang aku sudah boleh menghadap padamu?”

Kita semua memang tidak pernah tahu apa kiranya jawaban Rasulullah atas pertanyaan itu. Tapi tampaknya arwah Rasulullah yang ikut menyaksikan Perang Yamamah pasti akan terenyuh mendengar doa yang dipanjatkan Wahsyi. Pastilah arwah beliau akan memberkati keberanian Wahsyi. Amatlah mungkin Rasulullah menjawab: “Ya. Sekarang kau boleh menampakkan wajahmu di depanku.” Meski kita tidak pernah tahu apakah memang itu yang terjadi, sebab Rasulullah telah berada di dimensi yang berbeda dengan kita. Tapi satu yang ingin saya sampaikan lewat peristiwa ini adalah betapa lapang dadanya Rasulullah dalam berdakwah sehingga beliau bersedia berdakwah kepada orang yang sebenarnya nyaris tak sanggup dia maafkan kesalahannya.

Ya. Dari peristiwa ini kita dapat melihat betapa besar kasih sayang yang dimiliki Rasulullah terhadap orang yang telah membunuh pamannya, Hamzah yang telah dianggap seperti ayahnya sendiri. Bahkan ketika menyeru Wahsyi agar masuk Islam, Rasulullah mau melakukannya lewat beberapa cara yang berbeda sampai akhirnya Wahsyi memeluk Islam dan bergabung bersama para sahabat yang lain.

Seandainya saja semangat dakwah dan tablig tidak mengalir di dalam diri Rasulullah seperti aliran darah dan telah menjadi fitrahnya, apakah mungkin beliau mau bersusah-susah mengajak Wahsyi untuk masuk Islam? Tentu tidak.

Upaya sungguh-sungguh yang dilakukan Rasulullah untuk berdakwah, tak terkecuali kepada orang yang telah membunuh pamannya, dengan tegas menunjukkan bahwa dakwah dan tablig adalah sifat yang telah terpatri pada pribadi Rasulullah sehingga tidak mungkin bagi beliau untuk menyimpang dari sifat tersebut.

2- Dakwah kepada Ikrimah

Semasa hidupnya, sikap permusuhan yang ditunjukkan Ikrimah terhadap Islam jauh lebih besar daripada yang dimiliki Wahsyi. Ikrimah adalah seorang musuh bebuyutan bagi Islam, karena kebenciannya terhadap Islam dapat muncul seketika tanpa harus mempertimbangkan apa-apa. Sikap Ikrimah itu mungkin dapat dipahami sebab rumah yang menjadi tempatnya tumbuh dewasa memang adalah rumah yang dihuni musuh-musuh Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa keluarga Ikrimah sudah membawa naluri untuk membenci Islam sejak “dari sananya”. Betapa tidak. Kepala keluarga di rumah yang didiami Ikrimah adalah Abu Jahal si Biang Kebodohan yang kebodohannya menular ke semua penghuni rumahnya dan memerosokkan mereka ke dalam kegelapan. Setiap kali terdengar ada keluarganya yang masuk Islam, Abu Jahal langsung menyiksa kerabatnya itu dengan siksaan yang tak terbayangkan pedihnya.

Dalam urusan memusuhi Islam, Ikrimah seakan-akan selalu berlomba dengan ayahnya. Setiap kali ada tindakan untuk menyakiti Islam yang dilakukan oleh ayahnya, Ikrimah tak pernah mau ketinggalan ikut serta di dalamnya. Rupanya, hati pemuda Quraisy ini telah benar-benar dibutakan oleh kekufuran. Bahkan ketika kaum muslimin berhasil menaklukkan kota Mekah, Ikrimah menolak meletakkan senjata dan tetap melakukan perlawanan meski akhirnya dia harus kalah dan melarikan diri ke Yaman.

Secara kebetulan, istri Ikrimah yang bernama Umm Hakim binti Harits ibn Hisyam yang sekaligus adalah sepupunya sendiri, dikenal sebagai wanita yang sangat cerdas dan telah memeluk agama Islam. Setelah pelarian Ikrimah ke Yaman, Umm Hakim pun menyusul sampai akhirnya berhasil membujuk suaminya memeluk agama Islam. Hanya masalahnya, setelah menyatakan diri masuk Islam Ikrimah malu untuk menghadap Rasulullah Saw. Penyebabnya adalah karena sikapnya yang selama bertahun-tahun memusuhi Rasulullah Saw. Ketika kaum musyrik sering meletakkan duri di jalan yang beliau lewati, maka Ikrimah adalah orang pertama yang melakukan itu. Ketika kaum musyrik sering menebarkan debu ke atas kepala beliau, maka Ikrimah adalah orang yang paling sering melakukan itu. Namun sebagaimana halnya harapan Rasulullah yang sangat besar untuk mengajak Wahsyi masuk Islam, demikianlah pula harapan beliau terhadap Ikrimah.

Singkat cerita, akhirnya Ikrimah bersedia menghadap Rasulullah. Ketika melihat kedatangan bekas musuhnya, Rasulullah menyambut dengan penuh suka cita dan berkata: ” Selamat datang buat pengendara yang berhijrah. Selamat datang buat pengendara yang berhijrah. Selamat datang buat pengendara yang berhijrah.”

Adalah benar jika dikatakan bahwa dalam pengertian Islam, hijrah telah selesai dengan terjadinya Penaklukan Mekah. Jadi sebenarnya Rasulullah berkata seperti itu kepada Ikrimah untuk menunjukkan bahwa orang yang mendatangi beliau baru tiba dari tempat jauh. Tentu saja sambutan hangat seperti itu sudah lebih dari cukup untuk meluluhkan rasa permusuhan di dalam hati Ikrimah.

Setelah Ikrimah mengucapkan dua kalimat syahadat, dia berkata kepada Rasulullah Saw. dengan wajah malu-malu: “Wahai Rasulullah, tolong kau mintakanlah ampunan untukku atas semua permusuhan yang dulu kulakukan atau rombongan manapun yang dulu kuikuti untuk menunjukkan kemusyrikan.”

Maka Rasulullah pun menengadahkan tangan berdoa: “Wahai Allah, ampunilah Ikrimah atas semua permusuhan atau rombongan apapun yang di dalamnya ia ingin menghalangi jalan-Mu.”

Demi mendengar doa yang dipanjatkan Rasulullah itu, perasaan Ikrimah pun mengharu-biru tak keruan. Sungguh tak pernah dibayangkan olehnya bahwa Rasulullah akan sedemikian gembira menyambutnya. Lalu dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya Ikrimah berkata kepada Rasulullah: “Demi Allah wahai Rasulullah, tidak akan kubiarkan ada harta yang dulu kukeluarkan untuk menghalangi jalan Allah, kecuali akan kukeluarkan dua kali lipatnya di jalan Allah. Dan tidak ada satu serangan pun yang kuikuti untuk menghalangi jalan Allah, kecuali akan kulakukan dua kali lipatnya di jalan Allah.”

Ikrimah benar-benar menepati janjinya, sampai akhirnya dalam peperangan Yarmuk, Ikrimah gugur sebagai syahid. Dalam Perang Yarmuk, Ikrimah turun ke medan laga dengan ditemani oleh istri dan anak-anaknya. Ketika dia terluka parah, mereka membawanya ke kemah. Anak-anak dan istri Ikrimah lalu menangis tersedu-sedu, namun Ikrimah berkata kepada istrinya: “Janganlah kau menangis! Aku tidak akan mati sebelum kulihat kemenangan.”

Ternyata ucapan Ikrimah itu adalah sebuah karamah. Sebab hanya sesaat setelah Ikrimah berkata begitu, masuklah paman Ikrimah yang bernama Harits ibn Hisyam seraya berkata: “Bergembiralah kalian karena Allah telah memenangkan kita!”

Ikrimah pun mengucapkan hamdalah ketika mendengar ucapan pamannya itu, dan sesaat sebelumnya ajalnya tiba, Ikrimah berkata: “…wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS Yusuf [12]: 101).

Ya. Rasulullah memang sangat menginginkan agar setiap orang memeluk agama Islam. Rasulullah memang telah menjadi teladan dalam dakwah sehingga mencapai puncak yang takkan mampu dicapai oleh siapapun. Rasulullah telah menengadahkan tangan untuk berdoa demi keislaman ratusan ribu orang. Tapi beliau tidak pernah merasa cukup. Itulah sebabnya kita sering melihat beliau berdoa dengan penuh kasih sayang bagi orang-orang yang telah memusuhinya untuk menunjukkan kepada mereka semua bahwa dakwah dan tablig yang dilakukan para nabi telah mencapai puncak tertinggi yang takkan mampu dicapai oleh manusia biasa.

D. Dakwah yang Menghapus Tidur Nyenyak

Sejak pengangkatannya sebagai nabi, kedua mata Rasulullah tak pernah lagi mengenal tidur nyenyak. Karena sejak saat itu beliau selalu merasakan derita dan duka nestapa yang mendera umat manusia. Tentu saja hal seperti ini hanya dapat dilakukan oleh Rasulullah Saw. yang telah menyerahkan segenap jiwa raganya demi dakwah dan tablig.

Pada tahun-tahun pertama dakwahnya, Rasulullah tak segan berkunjung dari satu pasar ke pasar lain dan dari satu dusun ke dusun lain untuk menyeru umat manusia ke arah agama yang benar, meski semua yang beliau lakukan itu harus ditebus dengan berbagai bentuk serangan dan caci maki. Terkadang beliau dilempari batu atau ditaburi debu. Tapi semua itu tak pernah Rasulullah pedulikan, dan beliau pun terus melangkah di jalan dakwah. Ketika para malaikat malu memandang wajah Rasulullah yang penuh berkah, kaum musyrik Mekah justru sering meludahi wajah beliau. Ketika awan tak jemu berarak memayungi Rasulullah dari terik matahari, kaum kafir justru terus menghujani beliau dengan hujatan dan sumpah serapah.

Ketika ayat yang berbunyi “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,”[33] diturunkan, Rasulullah langsung mengumpulkan semua kerabat beliau lalu berkata kepada mereka: “Apakah jika aku berkata bahwa akan ada kuda yang muncul dari kaki gunung itu kalian akan memercayaiku?”

Semua yang hadir menjawab: “Kami tidak pernah sekali pun menemukanmu berdusta.”

Rasulullah lalu berkata: “Kalau begitu ketahuilah bahwa aku adalah pembawa peringatan bagi kalian dari datangnya siksa yang pedih.”

Tapi setelah mendengar ucapan Rasulullah itu, semua kerabatnya langsung diam seperti deretan patung batu. Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Pada saat itulah tiba-tiba Abu Lahab berseru: “Celakalah kau! Apakah kau mengumpulkan kami hanya untuk ini?!”[34] Sampai di situ, semua orang yang hadir pun membubarkan diri.

Hingga saat itu, Sayyidah Khadijah ra. telah menggunakan sebagian besar hartanya untuk membiayai jamuan yang diadakan oleh Rasulullah dan dihadiri oleh para pembesar Mekah dengan tujuan mempermudah penyampaian dakwah. Tapi rupanya cara dakwah seperti itu tidak memberi hasil yang memuaskan.

Berkenaan dengan jamuan makan yang diadakan oleh Rasulullah itu, Ali ibn Abi Thalib ra. pernah menuturkan:

Suatu ketika Rasulullah mengundang para pembesar Mekah ke kediaman beliau untuk bersantap. Di tengah jamuan, Rasulullah lalu menyatakan kepada para tokoh itu bahwa beliau adalah seorang Utusan Allah, dan karena mereka adalah kerabatnya sendiri, maka sudah selayaknya jika mereka membantunya. Di akhir kalimatnya Rasulullah bersabda:

“Siapa di antara kalian yang mau berbaiat kepadaku agar ia dapat menjadi saudara dan sahabatku?”

Tapi tak ada seorang pun yang menjawab. Hanya aku yang mendekati beliau. Pada saat itu aku adalah yang termuda di antara semua yang hadir. Rasulullah lalu berkata padaku: “Duduklah.” Dan beliau harus mengulang perintah itu sampai tiga kali, sebab aku tetap berdiri mendekati Rasululah setiap kali beliau memintaku duduk. Tapi pada kali ketiga, beliau menepukkan tangannya pada tanganku.[35]

Demikianlah tahun demi tahun berlalu dalam kehidupan Rasulullah tanpa sedikit pun beliau merasa jemu atau pun lelah. Alih-alih berhenti dari dakwah, Rasulullah terus melangkah meski karib kerabatnya sendiri selalu memandang sebelah mata kepadanya.

Setelah dakwah yang dilakukannya terhadap kalangan dekat sering menemui jalan buntu, Rasulullah pun mencari siapapun yang mau mendengar dakwahnya. Padahal untuk menemukan orang yang masih memiliki nurani yang bersih pada saat itu amatlah sulit. Di Thaif Rasulullah dilempari batu.[36] Dan berkali-kali beliau diusir dari pasar atau berkemahan yang beliau sambangi.[37]

Tapi meskipun sering gagal, ketenguhan hati Rasulullah dalam berdakwah ternyata beberapa kali berhasil mengantarkan beliau ke tempat-tempat yang tak terduga. Suatu ketika di daerah Aqabah, jalan takdir mempertemukan Rasulullah dengan beberapa orang berhati bersih. Peristiwa itulah yang kemudian dikenal sebagai Baiat Aqabah Pertama. Pada saat itu beliau dibaiat oleh dua belas orang. Pada tahun berikutnya ketika Baiat Aqabah Kedua terjadi, jumlah itu bertambah menjadi dua puluhan orang.

Dalam baiat itu, Rasulullah menyampaikan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mengimani ajaran beliau itu. Tanpa ragu mereka semua menerima syarat yang disampaikan Rasulullah. Pada saat itulah Abbas ra. meminta agar para peserta baiat memikirkan lagi segala konsekuensi yang harus mereka hadapi di kemudian hari. Abbas menjelaskan bahwa dengan menerima syarat yang disampaikan Rasulullah, mereka harus siap berhadapan dengan seluruh kabilah Arab. Tapi mereka tetap bergeming. Tak ada seorang pun yang mundur dari baiat. Dengan kebulatan hari mereka berbaiat kepada Rasulullah dan bersumpah untuk membela beliau dengan segenap jiwa raga. Seusai baiat, Rasulullah mengutus Mush’ab ibn Umair ra. untuk ikut bersama mereka guna mengajarkan aturan syariat Islam.[38]

Mari kita mengenal siapakah gerangan Mush’ab ini…

Mush’ab ra. adalah anak tunggal dari sebuah keluarga kaya raya di kota Mekah, dan dia masuk Islam ketika menginjak usia tujuh belas tahun. Sedemikian populernya Mush’ab di Mekah, sampai-sampai setiap kali dia lewat di lorong-lorong kota, gadis-gadis Mekah selalu mengintipnya dari balik jendela. Apalagi sebagai anak tunggal seorang hartawan, Mush`ab memang biasa berpakaian perlente. Tapi semua itu berubah setelah Mush’ab masuk Islam, karena sejak saat itu Mush’ab diusir oleh keluarganya. Ketika Rasulullah memberangkatkannya ke Madinah, satu-satunya pakaian yang dimiliki Mush’ab hanyalah yang melekat di badannya. Di Madinah Mush’ab hidup sebagai orang miskin, sampai-sampai ketika Mush’ab syahid di medan perang Uhud dalam keadaan tubuh yang sudah dirusak musuh, para sahabat kesulitan untuk menutup tubuhnya dengan kafan.[39]

Sekarang kita kembali ke perjalanan Mush’ab sebagai dai…

Setelah Mush’ab tiba di Yatsrib,[40] murid Rasulullah Saw. ini langsung melakukan dakwah dan tablig. Tak ada satu pun pintu rumah yang tidak diketuknya. Pada saat itulah terbukti bahwa keikhlasan Mush’ab dalam berdakwah membuat ucapannya dapat merasuk ke dalam hati orang-orang yang mendengarnya. Lewat dakwah yang dilakukan Mush’ab itulah banyak penduduk Yatsrib yang berdia memeluk agama Islam. Bahkan karena sedemikian hebatnya dakwah Mush’ab pada saat itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kedatangan Mush’ab di Yatsrib adalah laksana gelombang besar yang dahsyat. Mush’ab seakan menjadi sumber cahaya jernih yang memancar ke seantero Yatsrib untuk menaklukkan hati penduduknya.

Selama menetap di Yatsrib, Mush’ab tinggal di kediaman As’ad ibn Zurarah ra., seorang tokoh yang pada saat itu, meski pun perintah shalat Jum’at belum diwajibkan oleh syariat dan Rasulullah juga belum tiba di kota tersebut, tapi dia telah mengumpulkan orang-orang mukmin untuk melaksanakan shalat bersama di setiap hari Jum’at.[41]

Demikianlah kiprah Mush’ab di Yatsrib yang selalu giat berdakwah, hingga tak ada seorang pun tokoh di kota itu yang tidak mendatangi Mush’ab untuk mendengar dakwahnya. Beberapa di antara yang datang itu bahkan ada yang datang dengan membawa amarah, tapi ketika meninggalkan Mush’ab amarah mereka telah mereda. Salah satu di antara mereka yang mengalami hal itu adalah Sa’d ibn Mu’adz ra. Ketika mendatangi Mush’ab, pembesar Yatsrib itu berniat untuk mengusir Mush’ab yang dianggap telah mengganggu ketenteraman penduduk. Entah bagaimana mulanya, rupanya Sa’d termakan hasutan beberapa orang yang mengatakan bahwa dakwah yang dilakukan Mush’ab telah menimbulkan keresahan di Yatsrib.

Ketika baru memasuki kediaman Mush’ab, Sa’d langsung mendengar suara Mush’ab yang empuk dan menyejukkan. Tapi karena amarah telah menguasai dirinya, Sa’d pun melontarkan cacian kepada Mush’ab.

Mendengar makian itu, Mush’ab tetap tenang dan kemudian berkata kepada Sa’d: “Bagaimana jika Tuan duduk dan ikut mendengarkan. Jika ternyata Tuan senang mendengar apa yang kuutarakan, silakan Tuan menerimanya. Tapi jika Tuan tidak suka, aku akan berhenti menyampaikan apa yang Tuan benci itu.”

Ajaib. Sa’d yang sedang menggelegak amarahnya itu bersedia duduk dan mendengarkan Mush’ab. Dalam waktu singkat Sa’d merasakan dirinya telah berpindah ke sebuah dunia lain. Sebuah dimensi yang belum pernah dimasukinya seumur hidup. Sebuah tempat di mana para malaikat mengepakkan sayapnya. Dan sebelum pertemuan itu berakhir, Sa’d telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan diri bergabung dengan barisan umat Islam.[42]

Keesokan harinya, kota Yatsrib pun gempar oleh berita masuk islamnya Sa’d ibn Mu’adz. Sebab seperti halnya reputasi Umar ibn Khaththab di Mekah, nama Sa’d ibn Mu’adz di Yatsrib ternyata begitu berpengaruh. Bahkan berita keislaman Sa’d itu kemudian menyebar sampai ke suku-suku yang mendiami kawasan sekitar Yatsrib.

Demikianlah pembaca yang budiman. Ketika Rasulullah sibuk berdakwah di Mekah, para sahabat Rasulullah juga sibuk mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk ikut menyebarluaskan agama Islam. Pada saat itu dunia memang tengah menantikan orang-orang ikhlas seperti mereka untuk menerangi seluruh penjuru jagad raya. Jadi sebenarnya, ketika Rasulullah mengutus Mush’ab ra. ke Yatsrib, Thalhah ibn Ubaidillah ke Daumatul Jandal, dan Barra` serta Khalid –beberapa tahun kemudian- ke Yaman untuk berdakwah, semua itu tak lain adalah buah dari kecintaan para sahabat terhadap dakwah dan tablig demi menyebarkan Islam di segala penjuru.

Rasulullah memang menjalankan dakwah secara baik dan teratur. Ketika seorang sahabat merasa tidak cocok dengan perjuangan dakwah di satu tempat, Rasulullah akan mengirimkan sahabat lain untuk menggantikan sahabat tersebut. Metode seperti itu ternyata mendatangkan dampak positif bagi dakwah Islam. Misalnya, ketika Rasulullah mengirim Khalid ibn Walid ra. ke Yaman, rupanya kemudian Khalid menemukan kendala di tempat tersebut, maka Rasulullah lalu mengutus Ali ibn Abi Thalib ra. dan memindahkan Khalid ke daerah Najran yang pada saat itu didiami oleh kaum Nasrani.

Berkenaan dengan peristiwa ini, Barra` ibn Azib menuturkan riwayat sebagai berikut:

Suatu ketika Rasulullah Saw. mengutus Khalid ibn Walid ke daerah Yaman untuk berdakwah. Tapi ternyata penduduk Yaman tidak mau menerima dakwah yang disampaikan Khalid. Maka kemudian Rasulullah mengirim Ali ibn Abi Thalib ra. Aku adalah salah seorang yang ikut bersama Ali. Ketika kami hampir tiba di tujuan, orang-orang keluar menyambut kami. Ali lalu membariskan kami dalam satu saf dan mengimami kami shalat. Seusai shalat, Ali membacakan surat Rasulullah Saw. dan pada saat itu juga seluruh penduduk Hamdan masuk Islam.[43]

Ya. Ali ibn Abi Thalib ra. ternyata memang tepat ditempatkan di Yaman. Sebab Ali memiliki sejarah panjang dengan Rasulullah Saw. dan juga karena dia adalah ayah dari Hasan ra. dan Husein ra. serta menjadi puncak silsilah dari semua quthb, para muqarrabûn, wali-wali, dan para ashfiyâ` yang akan terus muncul hingga Hari Kiamat. Hingga hari ini, kebenaran dan hakikat (al-haqq wa al-haqîqah) tetap berada di bawah naungan mereka. Ali ra. berhasil menaklukkan hati penduduk Yaman dengan kata-katanya yang terkenal mampu meluluhkan siapapun yang mendengarnya. Ketika peristiwa Penaklukan Mekah terjadi, orang-orang Yaman ini ikut datang ke Mekah untuk bergabung dengan umat Islam lainnya.[44]

E. Surat-surat untuk Para Kepala Negara

Selain mengirimkan sahabat-sahabat tertentu ke beberapa wilayah untuk mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, Rasulullah juga mengirimkan surat kepada raja-raja dan para kepala negara guna menyeru mereka ke jalan Islam yang merupakan jalan kebenaran. Tentu saja hal ini menjadi bentuk strategi lain dalam berdakwah.

1- Raja Negus (Najâsyî)

Raja Negus adalah penguasa Abyssinia.[45] Dia tidak termasuk sahabat Rasulullah karena tidak pernah berjumpa dengan beliau. Raja Negus dikenal sebagai tokoh yang sangat terpandang. Rasulullah mengirimkan sepucuk surat kepada Raja Negus lewat tangan Amr ibn Umayyah ra. Surat itu berbunyi sebagai berikut:

Dari Muhammad Utusan Allah kepada Negus Ashamat Raja Habasyah[46]

Salam bagimu. Aku memuji Allah, Mahamenguasai, Mahakudus, Mahamemberi aman, Mahamengayomi. Aku bersaksi bahwa Isa adalah rûhullâh dan kalimat-Nya yang telah Dia berikan kepada Maryam sang Perawan yang suci yang baik dan yang terjaga. Aku menyerumu kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya.[47]

Dalam surat yang dikirim Rasulullah kepada Raja Negus ini kita dapat melihat bahwa beliau menyampaikan salam kepada sang raja dengan kalimat “salâm ‘alaika“. Tampaknya Rasulullah memang berharap Raja Negus akan menyambut baik dakwah yang beliau sampaikan, atau bisa jadi Rasulullah telah melihat dengan mata batin beliau bahwa sang raja akan menerima hidayah Islam. Di dalam surat itu juga kita temukan betapa Rasulullah menggunakan tata bahasa yang sangat indah. Betapa tidak. Rasulullah menyampaikan dakwah dengan menyebut-nyebut nama Maryam as. karena beliau tahu betul bahwa Rasu Negus sangat menghormati dan menyayangi ibunya Isa al-Masih itu. Sebagaimana halnya hingga hari ini umat Islam juga sangat menghormati Maryam, karena wanita inilah yang telah melahirkan seorang nabi agung dan sekaligus menjadi bukti adanya ilham ilahi.

Tapi ada satu hal penting yang harus kita perhatikan di sini, yaitu fakta bahwa Negus adalah seorang pemeluk Nasrani. Itulah sebabnya ketika Rasulullah menyampaikan kepadanya tentang ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan dengan Isa al-Masih as., sebenarnya beliau telah membangun jalan terbaik untuk mengantarkan dakwah Islam ke dalam hati Raja Negus. Demikianlah adanya.

Ketika surat Rasulullah tiba di istana Abyssinia, Raja Negus langsung turun dari singgasananya. Dia lalu mengambil surat tersebut, menciumnya, lalu meletakkan surat itu di atas kepalanya. Setelah membaca surat tersebut, Raja Negus mengumumkan keislamannya dan memerintahkan juru tulisnya untuk menulis surat balasan yang berbunyi sebagai berikut:

Kepada Muhammad Utusan Allah dari Negus:

Aku bersaksi bahwa engkau adalah Utusan Allah. Aku tidak memiliki apa-apa selain diriku. Jika kau menginginkan agar aku mendatangimu, aku pasti akan melakukan hal itu. Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa yang kau katakan adalah benar.[48]

Raja Negus adalah seorang mukmin yang menyadari sepenuhnya akan arti keimanan. Suatu ketika Raja Negus pernah berkata kepada salah seorang pembantunya: “Kalau saja aku tidak memegang kekuasaan, aku pasti akan mendatangi Rasulullah agar aku dapat membawakan terompahnya.”[49]

Beberapa lama kemudian, ketika pada suatu hari Rasulullah Saw. memasuki Masjid Nabawi, beliau bersabda kepada para sahabat: “Sesungguhnya salah seorang saudara kalian telah wafat, maka bangkit dan shalatlah kalian semua untuknya.”[50]

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang Shalat Gaib. Semua mazhab, kecuali mazhab Imam Abu Hanifah, memperbolehkan shalat jenazah dengan cara ini. Para ulama Mazdhab Hanafi menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan Shalat Gaib terhadap jenazah Raja Negus. Karena dengan mukjizat Allah, peti jenazah sang raja muncul di hadapan Rasulullah. Tapi masalah ini merupakan objek bahasan fikih sehingga saya rasa kita tidak perlu membahasnya secara lebih lanjut di sini.[51]

2- Heraklius

Rasulullah Saw. mengirimkan surat beliau yang kedua kepada Heraklius sang Kaisar Romawi melalui seorang delegasi bernama Dihyah al-Kalbi. Surat itu berbunyi:

Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha penyayang.

Dari Muhammad Hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraklius, penguasa Romawi: Salam sejahtera kepada yang mengikuti petunjuk.

Amma ba’d; Sungguh menyerumu ke jalan Islam. Masuk islamlah engkau, niscaya kau akan selamat, Allah akan memberimu pahala dua kali. Sungguh jika kau menolak, maka kau akan menanggung dosa para pemimpin. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”[52].[53]

Isi surat yang dikirimkan Rasulullah ini ternyata begitu berkesan bagi Heraklius. Secara kebetulan, pada saat itu Abu Sufyan sedang berada di Romawi. Heraklius pun memanggil Abu Sufyan dan melakukan percakapan panjang yang kutipannya adalah sebagai berikut:

Heraklius : “Bagaimana nasab lelaki itu di antara kalian semua?”

Abu Sufyan : “Di antara kami dia memiliki nasab yang istimewa.”

Heraklius : “Apakah ada di antara kalian yang pernah menyampaikan apa yang disampaikannya itu sebelumnya?”

Abu Sufyan : “Tidak.”

Heraklius : “Apakah ada nenek moyangnya yang menjadi raja?”

Abu Sufyan : “Tidak.”

Heraklius : “Apakah yang menjadi pengikutnya itu orang-orang terpandang, ataukah orang-orang lemah?”

Abu Sufyan : “Orang-orang lemah.”

Heraklius : “Apakah mereka semakin bertambah, ataukah semakin berkurang?”

Abu Sufyan : “Pengikutnya terus bertambah.”

Heraklius : “Apakah ada di antara mereka yang murtad setelah memeluk agama barunya?”

Abu Sufyan : “Tidak ada.”

Heraklius : “Apakah kalian pernah mendapatinya berdusta sebelum dia menyampaikan kenabiannya?”

Abu Sufyan : “Tidak pernah.”

Heraklius : “Apakah dia berkhianat?”

Abu Sufyan : “Tidak. Saat ini kami sedang berada pada masa di mana kami tidak mengetahui apa yang dia lakukan.”

Demikian percakapan yang terjadi antara Heraklius dan Abu Sufyan yang pada saat itu belum masuk Islam. Pada saat itu Abu Sufyan tidak dapat menyampaikan apapun yang memojokkan Rasulullah selain keraguan yang dia nyatakan pada jawabannya yang terakhir.

Heraklius lalu mengulang-ulang jawaban Abu Sufyan dan menganggap bahwa jawaban itu adalah bukti kebenaran pengakuan Rasulullah sebagai nabi. Setelah dialog dengan Abu Sufyan selesai, Heraklius lalu meminta saran kepada seorang sahabatnya yang juga berwawasan luas seperti dirinya, dan ternyata sahabatnya itu pun mengakuti kebenaran risalah Muhammad Saw. Di dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Heraklius berkata kepada Abu Sufyan: “Jika apa yang kau katakan itu memang benar, maka dia pasti akan menguasai tempat yang sedang kupijak ini.” Dan seperti yang kita ketahui, memang itulah yang terjadi.[54]

Ketika para pembesar Romawi mengetahui ketertarikan Heraklius terhadap Islam, mereka pun marah. Sementara itu, Heraklius yang rupanya terlalu pengecut untuk mengakui isi hatinya langsung berkata: “Sebenarnya aku berkata seperti tadi hanya untuk menguji keteguhan kalian dalam berpegang pada agama kalian, dan kini aku telah menyaksikan keteguhan kalian itu!”

Setelah mendengar ucapan raja mereka, para pembesar pun langsung bersujud takzim di hadapan Heraklius.[55] Sedangkan sahabat Heraklius yang dimintai saran oleh sang raja kemudian masuk Islam secara diam-diam.[56]

3- Beberapa Penguasa Lainnya

Selain mengirimkan surat kepada Negus dan Heraklius, Rasulullah juga mengirimkan surat kepada beberapa penguasa lainnya. Di antara mereka yang kemudian masuk Islam, dan ada pula yang menolak masuk Islam tapi menghormati seruan Rasulullah Saw. semisal Muqauqis penguasa Koptik Mesir. Utusan yang dikirim Rasulullah kepada Muqauqis adalah Hathib ibn Abi Balat’ah.

Meski pun menolak masuk Islam, Muqauqis begitu menghormati utusan yang dikirim Rasulullah selama berada di negerinya. Bahkan ketika Hathib pulang, Muqauqis menitipkan banyak hadiah untuk disampaikan kepada Rasulullah Saw. Di antara hadiah yang diberikan itulah terdapat seorang budak cantik bernama Mariyah yang kelak dimerdekakan Rasulullah dan kemudian beliau nikahi. Mariyah adalah ibu dari Ibrahim ra., putra Rasulullah yang wafat di saat masih belia. Selain menghadiahkan seorang budak, Muqauqis juga mempersembahkan seekor bagal putih bernama Duldul.[57] Bagal yang kemudian menjadi kesayangan Rasulullah ini adalah bagal pertama yang dilihat oleh bangsa Arab.

Tapi tidak seperti Muqauqis yang sangat menghormati surat kiriman Rasulullah, Kisra penguasa Persia langsung merobek-robek surat Rasulullah yang diterimanya dan kemudian mencampakkannya ke tanah. Sebagai balasan atas sikapnya itu, di kemudian hari Allah merobek-robek kerajaan Kisra hingga hancur berkeping-keping.[58]

Demikianlah Rasulullah terus melancarkan dakwah Islam kepada para pemimpin negara dan kepala-kepala suku. Seiring dengan upaya tablig dan dakwah yang beliau lakukan, dari hari ke hari agama Islam terus menerangi semakin banyak hati manusia. Pada saat itu, Islam laksana magnet yang memiliki daya gravitasi nan kudus dan sekaligus misterius yang mampu menarik hati manusia bagaikan seutas tali tak kasat mata. Setiap orang yang membiarkan dirinya tertarik ke pusat orbit Islam, pasti kemudian naik ke ketinggian Alam Cahaya. Setelah Islam bersemayam di dalam begitu banyak hati manusia, maka semua upaya untuk memerangi dan memusuhinya menjadi tindakan sia-sia seperti orang yang berusaha menghalangi pancaran sinar matahari menggunakan alat penapis tepung.

Tidak perlu waktu lama bagi seluruh dunia untuk menyadari semua itu. Dalam waktu singkat semua orang menyadari bahwa membendung dakwah Islm adalah sebuah kemustahilan. Satu per satu musuh-musuh Islam meletakkan senjata mereka dan tunduk di bawah panji-panjinya.

F. Perjanjian Hudaibiyah sebagai Sebuah Upaya Dakwah

Perlu kita sadari, Perjanjian Hudaibiyah (Shulh al-Hudaibiyyah) yang dilakukan Rasulullah dengan kaum non-muslim adalah salah satu bentuk dakwah. Pada mulanya, sikap Rasulullah menerima beberapa klausul yang diajukan kaum musyrik sempat membuat berang para sahabat. Di antara sahabat yang berani menunjukkan sikap tidak setuju di hadapan Rasulullah adalah Umar ibn Khaththab ra. –yang kedekatannya dengan Rasulullah tidak pernah diragukan siapapun- sehingga membuat kesempatan untuk berdamai dengan kaum musyrik nyaris hilang begitu saja.

Tapi hanya setahun kemudian terbukti bahwa disebabkan adanya perjanjian damai inilah umat Islam dapat leluasa mengunjungi kota Mekah. Sebuah kunjungan yang berlanjut menjadi dialog intensif sepanjang tahun antara kaum muslimin dengan penduduk Mekah yang masih kafir. Pada saat itulah sedikit demi sedikit hati kaum musyrik Mekah mulai terbuka. Bahkan beberapa tokoh besar kaum Quraisy kemudian memilih jalan Islam, seperti Khalid ibn Walid ra. dan Amr ibn Ash ra.[59] Masuk islamnya beberapa tokoh penting Mekah ini memainkan peranan penting dalam beberapa pekerjaan besar yang dilakukan Islam pada tahun-tahun berikutnya.

G. Dakwah Individual (al-Da’wah al-Fardiyyah)

Ketika tengah berada di puncak kejayaan Islam, Rasulullah tidak pernah mengabaikan hubungan baik beliau dengan individu-individu muslim. Alih-alih meremehkan pentingnya menjaga hubungan, Rasulullah justru semakin intensif membangun jejaring dakwah di segenap penjuru. Bahkan ketika Rasulullah sebenarnya mengetahui bahwa semua penduduk Mekah yang menyerah pada peristiwa Penaklukan Mekah pasti akan meminta ampunan kepadanya, namun beliau tetap merasa perlu menyambut hangat penyataan masuk Islam dari –misalnya- Khalid ibn Walid ra. dan Amr ibn Ash. Pada saat itu Rasulullah bahkan merasa perlu untuk mengirimkan utusan khusus untuk menemui kedua tokoh Quraisy ini.

Setelah Khalid bertemu dengan Rasulullah dan kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat, Rasulullah lalu berkata padanya: “Segala puji Allah yang telah memberimu hidayah. Aku melihat bahwa kau memiliki kecerdesan yang tinggi, oleh sebab itu aku sungguh berharap agar Allah menuntunmu ke kebaikan.”[60]

Ucapan Rasulullah itu tampak jelas menonjolkan kelebihan Khalid yang berada pada posisi seperti itu. Siapa yang tahu hingga sekuat apa kata-kata Rasulullah itu menembus hati Khalid dan kemudian menyulut keimanan di dalamnya.

Sementara itu lain halnya dengan Amr ibn Ash. Setelah menghadap Rasulullah, tokoh Quraisy yang menyatakan masuk Islam ini sama sekali tidak mau melepaskan tangan Rasulullah yang digenggamnya. Kala itu Amr berkata: “Wahai Rasulullah, aku berbaiat kepadamu agar kau berkenan memohonkan ampunan atas semua dosaku yang lalu.”

Rasulullah pun menyahut: “Islam akan menghapus semua dosa yang sebelumnya, dan hijrah juga akan menghapus semua dosa yang sebelumnya.”[61]

Ya. Rasulullah memang berhasil merebut hati begitu banyak manusia. Tapi beliau tidak pernah mengeksploitasi kemampuan itu, namun selalu menggunakannya demi keberhasilan dakwah dan tablig. Sejak saat itu, umat manusia berbondong-bondong memeluk agama Islam bagaikan gelombang samudera. Gelombang itulah yang hingga sekarang masih dapat kita rasakan. Saya yakin bahwa risalah kudus yang diemban Rasulullah Saw. akan tetap abadi dan terus kekal hingga Hari Kiamat datang.

Saat ini kita dapat menemukan media massa yang memberitakan ribuan penduduk Eropa yang masuk Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa saat ini seluruh dunia sedang menyambut Islam. Ya. Eropa memang sedang mengandung “bayi Islam” yang pada satu hari nanti pasti akan lahir. Sebagaimana halnya Dunia Islam sendiri sedang “hamil tua” dan tidak lama lagi akan melahirkan generasi baru Islam.

Selain Eropa, Anda juga dapat melihat ke dunia belahan timur di mana ideologi kaum munafik pernah bercokol kuat. Hanya dalam waktu sekitar setengah abad setelah kekuasaan tangan besi menindas kawasan ini, negara-negara muslim yang ada di sini seperti Turkistan, Kazakhstan, Azerbaijan, Uzbekistan, Dagestan, dan Kirghizia (Kyrgyzstan), ternyata tidak pernah kehilangan roh dan ideologi aslinya. Saat ini, negara-negara tersebut sedang bergerak kembali ke akarnya. Sebentar lagi, gema azan yang diwariskan Rasulullah akan berkumandang di jantung kota Moskow setelah penduduknya ramai-ramai memeluk Islam. Saat ini tidak ada sejengkal tanah pun di bumi yang tidak dirambah oleh para dai untuk menyampaikan dakwah dengan cinta dan kasih sayang.

H. Jaminan Pertolongan Allah

Allah Swt. berfirman kepada Rasulullah Saw.: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS al-Mâidah [5]: 67).

Allah tidak pernah menyapa nabi mana pun selain Rasulullah seperti sapaan-Nya dalam ayat ini. Ketika berfirman kepada para nabi lain, Allah selalu menyapa mereka dengan menyebutkan nama, tapi dalam firman ini Allah memanggil Rasulullah dengan sebutan “al-Rasûl” sebagai ekpresi penghormatan bagi Rasulullah Saw.

Yang dimaksud dengan “al-Rasûl” di sini ialah: seseorang yang membawa risalah Allah. Sang Rasul inilah pula yang bertugas menyampaikan berbagai berita Alam Gaib kepada umat manusia. Selain sebagai ekspresi penghormatan bagi Rasulullah, sapaan yang disebutkan Allah dalam ayat ini juga mengingatkan kita semua akan ketinggian derajat Rasulullah. Lewat firman ini Allah seakan-akan sedang memproklamasikan kemuliaan nubuwwah Rasulullah Saw. di hadapan jagad raya. Pada tahap selanjutnya, kemuliaan dari Allah inilah yang selalu menaungi Rasulullah di tengah misi mengemban risalah kenabian untuk disebarkan ke tengah umat manusia.

Lewat ayat ini seakan Allah menyatakan kepada kita bahwa Rasulullah yang menyampaikan kebenaran kepada kita adalah sosok yang sangat dihormati Allah Swt. Di dalam ayat ini Allah tidak menggunakan kata seru “Hai Muhammad!” tapi menggunakan kalimat “Wahai Rasul“. Dengan kalimat sapa yang indah itu, Allah seakan berkata kepada Rasulullah: “Wahai kau yang menghidupkan hati dan jiwa dengan wahyu ilahi… Wahai Nabi yang selalu cekatan menyelamatkan umat manusia…” Dengan sapaan ini Allah telah membawa Rasulullah ke puncak kecemerlangan dan memuliakan beliau dengan misi kerasulan (al-risâlah) dan misi kenabian (al-nubuwwah) serta menjadikan beliau layak berdialog “langsung” dengan Allah Swt. Itulah sebabnya kita mendengar bahwa sebagian ahli makrifat menyatakan bahwa pada malam Mi’raj Allah berbicara secara langsung dengan Rasulullah. Sebenarnya apa yang terjadi pada Mi’raj serupa dengan wahyu lain yang turun dari hadirat Allah. Hanya saja, ayat-ayat lain turun kepada Rasulullah dari belakang tabir[62] (min warâ` hijâb).[63]

Demikianlah ketinggian Muhammad al-Mushtâfâ Saw. yang telah dianugerahkan Allah kepada beliau. Dia berfirman: “Sampaikanlah apa yang disampaikan Tuhanmu kepadamu. Jangan sampai ada apapun yang menghalangimu, baik itu rasa takut, gelisah, kelaparan, kehausan, kedudukan, maupun godaan duniawi lainnya.

Dan kita semua menjadi saksi bahwa Rasulullah tidak pernah dapat dipalingkan oleh apapun dari jalan dakwah. Alih-alih berpaling, beliau justru selalu menyampaikan risalah dan menunaikan amanat yang beliau emban dengan sebaik-baiknya. Ketika gerbang misi kerasulan terbuka lebar di depannya, Rasulullah dengan sigap melesat ke dalam gerbang tersebut dengan kecepatan yang tidak pernah dapat ditandingi oleh siapapun. Jika kita menyadari hal ini, kita pasti akan dapat memahami firman Allah yang berbunyi: “Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS al-Najm [53]: 9). Dari sudut pandang ini, kita juga dapat mengerti betapa Rasulullah telah berhasil melewati semua batas hingga akhirnya beliau sampai pada posisi yang digambarkan oleh sang Jenderal para Pujangga[64] dalam syair berikut ini:

“Kau mencapai langit yang tak dapat digapai
oleh sayap, dan takkan pernah dipijak kaki
Dia bilang: “Setiap nabi ada di kedudukan mereka
tapi bagimu Muhammad terimalah singgasana ini!”

Syair ini menunjukkan bahwa Rasulullah telah berhasil mencapai dimensi yang melampaui segala dimensi yang dapat dicapai manusia.

Sekarang mari kita ingat seorang tokoh ateis bernama August Comte[65] yang menjadi salah seorang pendiri aliran Positivisme dan mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk menentang agama disebabkan pandangannya bahwa agama tidak dapat dibuktikan secara empiris sehingga dianggap sebagai bualan atau omong kosong belaka.

Di dalam sebuah literatur sejarah yang berjudul Târîkh Murâd[66] dinukil sebuah cerita tentang Comte sebagai berikut:

Pada suatu ketika, di saat berkunjung ke Andalusia Comte melihat peninggalan bangunan dan karya seni Islam yang sangat indah. Apa yang dilihat Comte saat itu benar-benar mengejutkan dirinya dan memaksanya untuk bertanya kepada penduduk Andalusia tentang Islam. Ketika Comte akhirnya mengetahui bahwa Muhammad Saw. adalah seorang buta huruf, tokoh ateis ini semakin terkejut dan tidak memercayai keterangan tersebut. Singkat cerita, Comte akhirnya pergi ke Roma guna menemui Paus IX untuk mendapatkan keterangan tentang Muhammad. Setelah meminta jawaban di bawah sumpah, Comte pun mendengar pernyataan Paus bahwa Muhammad yang menyebarkan agama Islam memang seorang buta huruf. Pada saat itu juga Comte melontarkan pernyataannya yang terkenal: “Muhammad tentu bukan tuhan, tapi dia juga pasti bukan manusia.”

Bukankah al-Bushiri telah menyatakan dalam syairnya:

Ilmu tertinggi hanya mengenalnya sebagai manusia
Bahwa dia ciptaan Allah yang terbaik di antara semua

Ya. Muhammad Saw. memang “sekedar” seorang manusia yang memiliki ayah, ibu, dan aspek fisik lainnya. Akan tetapi pribadi Muhammad Saw. tidak akan pernah dapat dipahami dan dijelaskan hanya berdasarkan sisi jasmaninya saja. Beliau laksana seekor burung yang terbang tinggi di lelangit kenabian, sementara yang dapat kita bicarakan hanyalah “telur” yang muncul dari pribadi beliau. Seperti halnya ketika Rasulullah melakukan perjalanan Mi’raj ke sebuah tempat yang tidak dapat dipahami esensinya, sebab tempat tersebut berada di luat jangkauan pengetahuan dan bayangan manusia biasa.

Disebabkan kedudukan tablig yang luar biasa, Allah sampai mewajibkan makhluk yang paling dicintai-Nya untuk melaksanakan tablig serta mengetahui urgensinya. Bahkan Allah memperingatkan Rasulullah agar jangan sampai melalaikan satu pun dari elemen tablig.

Sementara itu tidak boleh pula dilupakan bahwa dakwah dan tablig adalah kewajiban setiap kita yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah Saw. Kita tidak boleh lupa bahwa penyelamatan umat manusia tidak akan pernah dapat tercapai tanpa tablig.

End Notes:

[1] Al-Musnad, Imam Ahmad 5/256-257.
[2] Al-Musnad, Imam Ahmad 4/422.
[3] Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 131; al-Musnad, Imam Ahmad 2/136, 4/422, 425.
[4] Al-Bukhari, al-Mazhâlim, 21, Tafsîr Sûrah (5) 10; Muslim, al-Asyribah, 4; al-Musnad, Imam Ahmad 3/217.
[5] Al-Rasûl, Sa’id Hawa 1/19; lihat pula sebuah riwayat lain dalam al-Ishâbah, Ibnu Hajar 2/307.
[6] Al-Asrâr al-Marfû’ah, Ali al-Qari, hlm. 193.
[7] Al-Tirmidzi, al-Qiyâmah, 42; Ibnu Majah, Iqâmah al-Shalâh, 174, al-Ath’imah, 1; al-Darami, al-Shalâh, 156, al-Isti`dzân, 4; al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/163-164.
[8] Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, Ibnu Katsir 2/164; al-Jâmi’ li-Ahkâm al-Qur`ân, al-Qurthubi 4/197.
[9] Al-Bukhari, al-Tahajjud, 6; Muslim, Shifât al-Munâfiqîn, 81.
[10] Muslim, al-Shalâh, 221, 222; al-Tirmidzi, al-Da’awât, 75, 112; al-Nasai, al-Thahârah, 119, al-Tathbîq, 47; Abu Daud, al-Shalâh, 148, al-Witr, 5; Ibnu Majah, Iqâmah al-Shalâh, 117, al-Du’â`, 3; al-Musnad, Imam Ahmad 1/96, 118.
[11] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 1/313-314; al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/80.
[12] Al-Musnad, Imam Ahmad 2/231; Majma’ al-Zawâid, al-Haitsami 9/19-20.
[13] Al-Bukhari, Tafsîr Sûrah (66) 2; Muslim, al-Thalâq, 31.
[14] Lihat ayat yang berbunyi: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Yasin [36]: 21).
[15] Al-Bukhari, al-Buyû’, 57; Manâqib al-Anshâr, 45, al-Libâs, 16; al-Musnad, Imam Ahmad 6/198; al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/218.
[16] Hilyah al-Auiyâ`, Abu Na’im 7/109; Kanz al-Ummâl, al-Hindi 7/199.
[17] Muslim, al-Asyribah, 140; al-Tirmidzi, al-Zuhd, 39.
[18] Al-Bukhari, Fadhâil Ashhâb al-Nabi, 12, 16; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 93-94.
[19] Al-Bukhari, al-Manâqib, 25; Muslim, Fadhâil al-Shahâbah, 98-99.
[20] Al-Bukhari, Fadhâil Ashhâb al-Nabi, 9.
[21] Al-Nasai, al-Zînah, 39; al-Musnad, Imam Ahmad 5/278.
[22] Al-Bukhari, Fadhâil Ashhâb al-Nabi, 5; al-Musnad, Imam Ahmad 2/204.
[23] Majma’ al-Zawâid, al-Haitsami 6/21.
[24] Al-Bukhari, al-Shaum, 20; Muslim, al-Shiyâm, 56.
[25] Al-Bukhari, al-Ath’imah, 23, al-Riqâq, 17; Muslim, Zuhd, 20, 26.
[26] Yang dimaksud penulis adalah Badi` al-Zamân Sa’id Nursi, penerj.
[27] Al-Bukhari, al-Janâiz, 80; Muslim, al-Îmân, 24; al-Nasai, al-Janâiz, 102; al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/153.
[28] Al-Ishâbah, Ibnu Hajar 4/116; al-Musnad, Imam Ahmad 3/160; al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 4/48.
[29] Majma’ al-Zawâid, al-Haitsami 7/101.
[30] Lihat hadits: “Sesungguhnya (masuk) Islam menghapus semua dosa yang sebelumnya.” (al-Musnad, Imam Ahmad 4/199).
[31] Al-Ishâbah, Ibnu Hajar 1/353; Usud al-Ghâbah, Ibnu Katsir 2/51.
[32] Al-Bukhari, al-Maghâzî, 23; al-Musnad, Imam Ahmad 3/501; al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 3/76-77.
[33] QS al-Syu’arâ` [26]: 214).
[34] Al-Bukhari, Tafsîr al-Sûrah (111) 1; Muslim, al-Îmân, 355.
[35] Al-Musnad, Imam Ahmad 1/159.
[36] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/60.
[37] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/63.
[38] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/73.
[39] Al-Bukhari, al-Janâiz, 28.
[40] Nama kota Madinah sebelum masa Islam, penerj
[41] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/77.
[42] Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam 2/79.
[43] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 5/121.
[44] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 5/120.
[45] Sekarang wilayah ini mencakup Ethiopia (Habasyah) dan Eritrea, penerj
[46] Habasyah yang dimaksud di ini adalah Abyssinia yang wilayahnya lebih luas daripada Habasyah (Ethiopia) saat ini, penerj
[47] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/104.
[48] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 3/105.
[49] Dalâil al-Nubuwwah, al-Haitsami 2/300.
[50] Muslim, al-Janâiz, 66-67; al-Bukhari, al-Janâiz, 4, 65.
[51] Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, al-Jaziri 1/522.
[52] QS Ali Imran [3]: 64.
[53] Al-Bukhari, Bad` al-Wahy, 6; Muslim, al-Jihâd, 74.
[54] Al-Bukhari, Bad` al-Wahy, 6; Muslim, al-Jihâd, 74.
[55] Al-Bukhari, Bad` al-Wahy, 6, Tafsîr Sûrah (3), 4.
[56] Majma’ al-Zawâid, al-Haitsami 8/236, 237; al-Ishâbah, Ibnu Hajar 2/216.
[57] Bagal adalah turunan kuda jantan dengan keledai betina, penerj
[58] Al-Bukhari, al-‘Ilmu, 7; al-Musnad, Imam Ahmad 1/243.
[59] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 4/269-273.
[60] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 4/274; Kanz al-‘Ummâl, al-Hindi 13/374.
[61] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 4/271; al-Musnad, Imam Ahmad 4/199.
[62] Lihat: QS al-Syûrâ [42]: 51, penerj
[63] Lihat: al-Bukhari, al-Shalâh, 1; Muslim, al-Îmân, 259; Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, Ibnu Katsir 7/424.
[64] Yang dimaksud adalah Ahmad Syauqi, penerj
[65] Bernama lengkap: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, masyhur sebagai “Bapak Sosiologi”, penerj
[66] Judul lengkap buku ini adalah “Mizanci Murad Tarihi” (History by Mizanci Murad), penerj

Oleh: Fethullah Gülen

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...