Home / Relaksasi / Renungan / Si Pembakar Buku itu, Kelak Menjadi Gurunya Rumi

Si Pembakar Buku itu, Kelak Menjadi Gurunya Rumi

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Kisah pertemuan Syekh Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad dengan sang guru terbilang unik. Orang tak dikenal itu tiba-tiba membakar buku karya Syekh Jalaluddin Rumi. Tak disangka yang membakar buku itulah yang kemudian menjadi Pembimbing (Guru Mursyid) Syekh Jalaluddin Rumi.

Syekh Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Samarkand) pada 6 Rabi’ul Awal tahun 604 Hijriah atau tanggal 30 September 1207 Masehi.

Ayahnya yang masih merupakan keturunan Abu Bakar bernama Bahauddin Walad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm.

Ayah Rumi merupakan seorang cendekia yang saleh, berpandangan ke depan, dan seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang.

Mereka menetap di Qonya, ibukota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota inilah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan.

Hari itu, sebagaimana biasanya, Jalaluddin Rumi tengah mengajar para muridnya dalam sebuah perkuliahan. Tiba-tiba seseorang yang sebelumnya belum dikenal secara lebih dekat oleh Rumi masuk ruang perkuliahan tersebut.

Orang asing itu pun menunjuk sebuah tumpukan buku sembari bertanya dengan nada berantakan, “Apa ini?”

Rumi menjawab dengan nada jengkel, “Kau tidak akan mengerti.” Mendapat jawaban yang demikian dari Rumi, orang itu lantas membawa buku-buku tersebut untuk dibakar. Maka, disulutlah api yang membakar buku-buku tersebut, Rumi ganti bertanya, “Apa ini?”

Orang asing itu menjawab, “Kau tidak akan mengerti.” Saat itu, Rumi terhentak dalam kebingungan. Dia merasa bodoh, hingga pada akhirnya ia menjadi murid dari orang asing yang membakar buku-buku itu. Orang asing tersebut adalah Syamsuddin Al-Tabrizi, atau dikenal sebagai Syams Tabrizi. Dialah guru yang membimbing Rumi untuk meninggalkan segalanya. Sejak pertemuannya dengan Syams Tabrizi, Rumi berubah secara drastis.

Hingga pada akhirnya, Rumi menjadi seorang sufi agung yang populer dengan syair-syair indahnya. Suatu ketika, Syams Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa memberitahukan ke mana tujuan dari kepergiannya itu. Rumi bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Maka, lahirlah sebuah kitab yang berjudul Diwan Syams Tabrizi yang berisi ghazal-ghazal kerinduan Rumi kepada Sang Guru, Syams Tabrizi.

Tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan syekh spiritual lain, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karya monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada tahun 1273 M.

Suatu hari Rumi bertanya;

“Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam tindakan dan muamalah?”

Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus, mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Buddha atau Yesus, mempunyai refleksi intelektual yang luas seperti Plato atau Aristoteles dan mempunyai kemahiran dalam menemukan kata-kata indah seperti dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakesphare.

Source: Dari Berbagai Sumber

About admin

Check Also

Orang Sombong Tidak Diperkenankan Melihat Allah SWT

”Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihatNya”. Oleh: Admin بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ...