Oleh: Ahmad Baihaqi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati dan diberkati Allah SWT. Pada kesempatan kali ini, mari kita berdialog sejenak dengan pikiran jernih dan hati yang lapang. Di tengah hiruk pikuk kesibukan akan pekerjaan, seraya menarik nafas untuk beristirahat sejenak sambil berkontemplasi dengan membaca sebuah artikel hasil renungan kami di hari kemarin (13/12/2023) bersama Guru kami, Mursyid kami, Mama H. Derajat Asysyatthari al-Qadiri, nafa’anallãhu fi thûli hayãtih wa katstsarallãhu bi amtsãlih, ãmîn.
Guru kami mengisahkan, bahwa pada hari sebelumnya, dalam sebuah majelis, Guru kami mengajukan sebuah pertanyaan ringan di hadapan para hadirin. Pertanyaan itu ringan di bibir –karena sifatnya yang umum dan sering diamalkan– tapi sangat tidak ringan ketika coba kita selami lebih mendalam makna hakikinya untuk mendapatkan jawabannya. Pertanyaan dimaksud yang sempat membuat para hadirin tersentak itu berbunyi; “sudahkah kalian bershalawat?”
Sebagaimana sudah kami sebutkan, bahwa pertanyaan tersebut ringan, biasa, dan umum-umum saja bukan? Ungkapan shalawat kan sebuah literatur yang sudah sering kita dengar, kita baca, dan bahkan kita amalkan. Kalimat shalawat itu ditulis dengan berbagai macam model, dan jumlahnya ratusan. Masing-masing shalawat memiliki nama, diantaranya Shalawat Burdah, Shalawat Badar, Shalawat Munjiat, Shalawat Thibbil Qulub, Shalawat Nariyah, dsb.
Masing-masing kalimat shalawat tersebut sering dibawakan –bahkan terlampau sering– dengan irama yang khas, diiringi alat musik dan bahkan sudah direkam serta terjual jutaan copy. Walhasil, saking seringnya kalimat-kalimat tersebut dilantunkan, kita bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat umum dan biasa-biasa saja. Terkadang malah, keasyikan kita mendengar irama lantunan shalawat justru disebabkan oleh suara pembawanya yang merdu, musiknya yang syahdu atau langgam iramanya yang enak didengar, dst.
Ternyata, kita tidak pernah menyadari bahwa apa yang dilantunkan oleh para penyanyi, penutur dan bahkan pengisi jeda waktu sebelum adzan maghrib tiba, yang disebut sebagai kalimat shalawat itu, bobot hakikinya bukanlah seringan yang dilantunkannya. Karenanya, Guru kami mengajukan pertanyaan tadi, “Sudahkah kalian bershalawat?” Jawaban pasti dari pertanyaan itu sudah diduga, ya kami sudah, tapi sekedar ‘sudah mengucapkan shalawat’. Padahal, jawaban “sudah mengucapkan shalawat” belumlah –bahkan masih jauh untuk– disebut ‘sudah bershalawat’.
Shalawat adalah ism jama’ (plural) dari ism mufrad (singular) shalat. Ia berasal dari kata kerja (fi’il) shallã – yushallî, yang artinya bermacam-macam. Al-Ma’ãnî menterjemahkannya sebanyak 20 padanan kata. Diantara makna yang umumnya kita kenal, shallã – yushallî diartikan sebagai do’a, dzikir, memasukkan, menghubungkan, mengaitkan, memanggang, menyate, dst. Dalam literatur bahasa, shalawat bermakna sama dengan shalat.
Coba kita berpulang kepada keterangan yang diberikan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا ۞
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan bersalamlah dengan penuh penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab [33]: 56)
Dalam ayat tersebut, kata “yushallûna” adalah fi’l mudhari’ (kata kerja) ber-dhamir Hum (mereka), dalam hal ini, Allah dan para Malaikat (semuanya) bershalawat kepada Nabi. Itu penggalan pertama pada ayat, yang bertendensi sebuah penegasan agar dapat diketahui oleh orang-orang beriman. Kemudian pada penggalan keduanya, ayat tersebut menunjukkan sebuah tendensi perintah Allah untuk mengajak orang-orang beriman agar bershalawat (juga) kepada Nabi. Jadi, Allah, para Malaikat dan orang-orang beriman, semuanya diperintah dan diajak oleh Allah untuk bareng-bareng bershalawat kepada Nabi. Nah lho?! Aneh ya?! Sudah kuduga, pasti kalian berpikir, kok Nabi seperti jadi lebih besar dari Allah? Tidak saudaraku…, na’ûdzu billãhi min dzãlik.
Begini, hampir semua Mufassir (Ahli Tafsir) telah berseragam menafsirkan ayat tersebut bahwa Allah bershalawat kepada Nabi itu artinya memberi rahmat dan barakah, sementara para Malaikat bershalawat kepada Nabi itu artinya memohonkan ampunan, dan orang-orang mukmin bershalawat kepada Nabi itu artinya berdoa agar diberi rahmat. Sebenarnya, apa yang kami kemukakan di atas justru mendetilkan penafsiran itu.
Gaya bahasa kami di atas untuk menjelaskan secara gamblang bahwa cara kita –jika kita menyatakan sebagai orang mukmin– bershalawat justru harus dengan menegasikan eksistensi diri kita sendiri. Persis seperti negasi dan afirmasi yang terkandung pada kalimat lã ilãha illã Allãh. Lã ilãha adalah negasi (peniadaan diri) dan illã Allãh adalah afirmasi (penegasan). Ketika eksistensi kita masih ingin diafirmasi, maka Allah akan ternegasikan dari kesadaran kita. Artinya, diri kita tidak mentauhidkan Allah SWT. Na’ûdzu billãhi min tilka.
Analogi lain. Ketika seorang mu’adzin mengumandangkan adzan, hingga sampai pada kalimat “hayya ‘alash shalãh..” (mari kita dirikan shalat), maka kita sebagai pendengar adzan tersebut diwajibkan mengucapkan lã haula walã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhim (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Ajakan shalat dari muadzin dijawab dan dinyatakan oleh pendengar adzan dengan kalimat negasi dan afirmasi. Kalimat Lã haula walã quwwata adalah negasi, yakni meniadakan semua daya, kekuatan, energi dan kehendak-kehendak. Sementara kalimat Illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhim adalah afirmasi, yakni menegaskan dan mengukuhkan bahwa semua kekuatan hanyalah dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Masih banyak lagi analogi lain yang ingin kami sebutkan, tapi berhubung artikel ini terbatas, cukup dua itu saja untuk menjadi bahan renungan dalam rangka memahami kalimat yang termaktub pada Surat al-Ahzab ayat 56 di atas.
Ayat tersebut menyatakan dengan gamblang bahwa Allah SWT dan para Malaikat-Nya tidak bershalawat kepada orang-orang mu’min, tapi hanya bershalawat kepada Nabi. Selain sebagai ajakan dan perintah, statemen kedua pada ayat tersebut menunjukkan sebuah “tantangan” Allah SWT kepada orang beriman untuk ‘mengambil’ sifat-sifat kenabian dari dalam dirinya sendiri. Sifat-sifat kenabian itulah yang disebut sebagai “Ruh Idhafi” (ruh penyifatan). Hilangkan keakuanmu, eksistensimu, egomu, ke-merasa beradaan-mu, ke-merasa pintaran-mu, maka ketiadaan dirimu akan memunculkan Eksistensi Kenabian. Itulah “Rumah Allah” (Baitullãh). Di sanalah Allah SWT bersemayam, lalu Dia ajak orang-orang beriman untuk masuk dan menerima Titah-titah-Nya.
Begitulah kiranya, kita kembali kepada pertanyaan awal yang dikemukakan oleh Guru kami, “sudahkah kalian bershalawat?” Jika anda menjawab belum, mulailah dengan mengucapkan kalimat shalawat. Dan kami sarankan, untuk membuka juga ayat sebelum dan sesudahnya dari Surat al-Ahzab [33] ayat 56 di atas agar bisa didapat pemahaman yang utuh, lengkap dan lebih menyerap dalam kaitannya dengan apa yang telah kami jelaskan di atas. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allãhummaghfir li masyãyikhinã wa liman ‘allamanã warhamhum wa akrimhum bi ridhwãnikal ‘adzhîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yã arhamar rãhimîn
“Ya Allah, ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”
Wallãhu Muwaffiq ilã sabîlit taufîq