Home / Agama / Kajian / Shalat Namun Tidak Beriman

Shalat Namun Tidak Beriman

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa di akhir zaman akan banyak orang shalat namun keimanannya tidak ada. Lha koq bisa?

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

يَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَجْتَمِعُوْنَ وَيُصَلُّوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَيْسَ فِيْهِمْ مُؤْمِنٌ

“Akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjama’ah, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin”.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Nanti akan datang suatu zaman di mana seorang muadzin melantunkan adzan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi di antara mereka tidak ada yang mukmin”. (Kanzul ‘Ummal, hadis ke-3110)

Sabda-sabda Rasulullah SAW yang mulia di atas jelas menarik bagi kita. Akan muncul pertanyaan di benak kita, “Mengapa shalat yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai tanda seorang mukmin?” Dan mengapa orang yang melakukan shalat di masjid itu tidak dihitung sebagai mukmin?”

Shalat bukanlah tanda bahwa seseorang yang melakukannya dapat disebut sebagai mukmin. Tetapi ia merupakan tanda bahwa yang melakukannya adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, tanda seorang mukmin ialah shalat ditambah dengan syarat yang lainnya.

Seorang mukmin di dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW yang mulia bersabda:

Pertama, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya.

Kedua, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.

Ketiga, barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara yang benar, dan kalau tidak mampu berbicara dengan benar, maka lebih baik dia berdiam diri.

Keempat, tidak dianggap sebagai orang beriman apabila seseorang tidur dalam keadaan kenyang, sementara para tetangganya kelaparan di sampingnya.

Dari keempat macam hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawabnya di tengah-tengah masyarakatnya. Kalau dia menghormati tetangganya, menyambung tali persaudaraan, dan berbicara dengan benar, atau memiliki keprihatinan di antara penderitan yang dirasakan oleh saudaranya di sekitarnya, maka barulah dia boleh dikatakan sebagai seorang mukmin.

Jadi, dengan kata lain, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa nanti akan datang suatu zaman, orang-orang berkumpul di masjid untuk mendirikan shalat tetapi tidak akur dengan tetangganya, yaitu tidak menyambungkan tali persaudaraan di antara kaum muslim. Mereka menyebarkan fitnah dan tuduhan yang tidak layak terhadap kaum muslim, mereka melaksanakan shalat tetapi tetapi tidak sanggup mengatakan kalimat yang benar, mereka melaksanakan shalat tetapi acuh tak acuh dengan penderitaan yang dirasakan oleh sesamanya. Kata Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang melaksanakan shalat, tetapi sebetulnya tidak dihitung sebagai orang yang melakukan shalat.

Rasulullah saw, juga pernah bersabda, “Ada dua orang umatku yang melakukan shalat, yang rukuk dan sujudnya sama akan tetapi nilai shalat kedua orang itu jauhnya antara langit dan bumi.

Dalam hadits Qudsi juga disebutkan mengenai orang-orang yang diterima shalatnya oleh Allah SWT:

إِنَّمَا أَتَقَبَّلُ الصَّلَاةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِيْ، وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِيْ، وَلَمْ يَبِتْ مَصْرًا عَلَى مَعْصِيَتِيْ، وَقَطَعَ نَهَارَهُ فِيْ ذِكْرِيْ، وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالْأَرْمَلَةِ، وَرَحِمَ الْمُصَابَ، ذَلِكَ نُوْرُهُ كَنُوْرِ الشَّمْسِ، أَكَلُوْهُ بِعِزَّتِيْ، وَأَسْتَحْفِظُهُ مَلَائِكَتِيْ، وَأَجْعَلُ لَهُ فِي الظُّلْمَةِ نُوْرًا، وَفِي الْجَهَالَةِ حِلْمًا، وَمَثَلُهُ فِي خَلْقِيْ كَمَثَلِ الْفِرْدَوْسِ فِي الْجَنَّةِ ۞

“Sesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima shalat dari orang yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong dengan mahkluk-Ku yang lain. Dia tidak mengulagi maksiat kepada-Ku. Dia menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup shalat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surga.”

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Qudsi bahwa tanda-tanda orang yang diterima shalatnya oleh Allah SWT adalah:

Pertama, dia datang untuk melaksanakan shalat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Dalam Al-Qur’an, keadaan seperti itu disebut khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ adalah salah satu tanda orang yang mukmin. Yang disebut dengan shalat yang khusyu’ itu bukan shalat yang tidak ingat apapun. Karena orang yang tidak ingat apapun itu disebut pingsan.

Diriwiyatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, apabila hendak melakukan shalat, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Sehingga ketika ada orang yang bertanya kepadanya, “Mengapa anda ya Amirul Mukminin?” Sayyidina Ali menjawab, “Engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi aku kan menghadapi waktu amanah.” Kemudian Sayyidina Ali membacakan ayat Al-Qur’an,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ۞

“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Kemudian Sayyidina Ali melanjutkan ucapannya, “shalat adalah suatu amanat Allah yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya. Tetapi mereka menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat berarti mengabdi kepada-Nya.”

Kedua, Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Jadi, tanda orang yang diterima shalatnya ialah tidak takabur (sombong). Takabur, menurut Imam Ghazali, ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi ia bersikap demikian dikarenakan ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, atau kecantikannya.

Kalau anda merasa besar karena memiliki hal-hal itu dan memandang enteng orang lain, maka anda sudah takabur. Dan shalat anda tidak diterima. Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ۞

“Takkan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar biji dzarrah”

Biasanya masyarakat akan menjadi rusak kalau di tengah-tengah masyarakat itu ada orang yang takabur. Kemudian takabur itu ditampakkan untuk memperoleh perlakuan yang istimewa. Dan anehnya, seringkali sifat takabur ini menghinggapi para aktivis masjid atau aktivis kegiatan keagamaan. Mereka biasanya takabur dengan ilmunya dan menganggap dirinya paling benar.

Ketiga, tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yang tidak mengulangi maksiatnya kepada Allah SWT. Nabi yang mulia bersabda: “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari kejelekan dan kemungkaran, maka shalatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT”.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ الرَّجُلُ الصَّلَاةَ فَأَتَمَّ رُكُوْعَهَا وَسُجُوْدَهَا، قَالَتِ الصَّلَاةُ : حَفِظَكَ اللهُ كَمَا حَفِظْتَنِيْ فَتَرْفَعُ، وَإِذَا أَسَاءَ الصَّلَاةَ وَلَمْ يُتِمَّ رُكُوْعَهَا، وَلَا سُجُوْدَهَا، قَالَتِ الصَّلَاةُ : ضَيَّعَكَ اللهُ كَمَا ضَيَّعْتَنِيْ، فَتُلَفُّ كَمَا يُلَفُّ الثَّوْبُ الْخَلِقُ، فَيُضْرَبُ بِهَا وَجْهُهُ ۞

“Nanti, pada hari kiamat, ada orang yang membawa shalatnya di hadapan Allah SWT Kemudian shalatnya diterima dan dilipat-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu shalat itu dibantingkan ke wajahnya.”

Allah tidak menerima shalat itu karena shalatnya tidak dapat mencegah perbuatan maksiatnya setelah ia melakukan maksiat tersebut. Bukankah Al-Qur’an telah mengatakan:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ ۞

“… Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar….” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 45)

Keempat, orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang miskin. Kalau diterjemahkan dengan kalimat modern, hal ini berarti orang yang mempunyai solidaritas sosial. Dia bukan hanya melakukan rukuk dan sujud saja, tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rezekinya untuk membahagiakan orang lain.

Kalau dalam shalat, kita sudah bisa merasakan kebesaraan Allah dan tidak takabur, dan kalau kita sudah tidak mengulangi perbuatan maksiat sesudah shalat, dan kalau kita sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain, maka Allah akan melindungi kita dengan jubah kebesaran-Nya. Allah akan memberikan kepada kita kemuliaan dengan kemuliaan-Nya, dan akan membungkus kita dengan busana kebesaran-Nya.

Di samping itu, Allah akan menyuruh para malaikat untuk menjaga kita, dan para malaikat itu akan berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ۞

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu akan memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.” (QS 41 : 31)

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.

Mari kita tutup artikel ini dengan do’a:

رَبَّنَا تَقبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، رَبَّنَا وَاجْعَلنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمًةً مُّسْلِمًةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنََا وَتُبْ عَليْنَآ إنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ۞

Rabbanã taqqabal minnã innaka antas samî’ul ‘alîm. Rabbannã waj’alnã muslimaini laka wa min dzuriyyatinã umatan muslimatan laka wa arinã manãsikanã wa tub ‘alainã innaka antat-tawwãbur rahîm.

“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah: 127-128)

Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...