Peristiwa isra yang artinya perjalanan malam adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw secara horizontal dari Masjidil Haram Mekkah ke Masjidil Aqsha Yerussalem, Al-Isra [17] : 1. Dan peristiwa mi’raj adalah peristiwa diperjalankannya beliau Saw secara vertikal dari Masjidil Aqsha naik ke Sidratul Muntaha. Di tempat tertinggi ini secara khusus Nabi Saw menerima perintah kewajiban menjalankan ibadah shalat bagi beliau Saw beserta umatnya sebanyak lima kali (17 rakaat) dalam sehari semalamnya.
Secara umum, makna mi’raj dalam hadits tersebut dihubungkan dengan “tangga” spiritual, yakni suatu perangkat ibadah yang dapat menaikkan derajat si mu’min menjadi lebih dekat kepada Rabb-nya. Maka di dalam kata shalat tersirat suatu dinamika atau suatu proses perjalanan yang sifatnya menaik (‘uruj), dan secara eksplisit bentuk ibadah shalat yang dicontohkan Nabi Saw mengisyaratkan adanya suatu perubahan bertahap dari suatu state ke state yang lain secara tertib. Serangkaian kalimah takbir yang diucapkan dalam ibadah shalat menunjukkan suatu proses kenaikan (mi’raj) bertahap.
Takbir sebagai ungkapan yang menyatakan suatu proses naik tercermin pada saat Nabi Saw sedang mendaki sebuah bukit, di sana beliau mendzikirkan kalimat takbir. Berbeda dengan ketika Nabi Saw sedang turun dari sebuah bukit, maka beliau mendzikirkan kalimat tasbih. Dalam 17 rakaat pada lima waktu shalat wajib, diucapkan 94 kali takbir pokok yang membatasi setiap bentuk sikap (state) dalam shalat, berarti dalam sehari semalam seharusnya terjadi minimal 94 kali kenaikan derajat kedekatan dengan Allah Swt.
Istilah shalat melampaui dari sekedar sebuah nama suatu ibadah mahdlah terpenting di dalam agama Islam. Makna spiritual dari kata shalat mencerminkan suatu proses “pengorbitan” setiap ciptaan Allah, secara spesifik terhadap poros dari suatu amr Allah Swt , ini diisyaratkan oleh Al-Qur’an Surat An-Nuur [24] : 41,
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya bertasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbihnya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)
Tasbih mencerminkan mengalirnya setiap ciptaan dalam suatu proses penyerahan diri (aslama) yang bersifat umum, dan shalat dalam hal ini mencerminkan suatu pengaliran dengan modus atau bentuk tertentu, yang spesifik, tidak sama dari satu ciptaan ke ciptaan yang lainnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung telah ditentukan ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan telah ditentukan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air.
Dalam pandangan para “pejalan” (salik), seekor burung yang terbang bebas menggambarkan jiwa (nafs) yang telah terbebas dari perangkap sangkar dunia, dan dua sayap burung yang terkembang melambangkan berfungsinya dua akal insan secara sinergis, yakni akal bawah (fikiran) dan akal atas (lubb). Sebagaimana Allah Swt mengungkapkan peringkat akal para malaikat dengan pernyataan bersayap dua, bersayap empat dan seterusnya, dan ini menunjukkan hirarki kemuliaan dari para malaikat. Maka shalat adalah seperti sepasang sayap, merupakan perangkat untuk terbang (mi’raj) ke “atas”, sehingga afdhal-nya suatu shalat sangat ditentukan oleh pengetahuan lahiriyahnya (hukum fiqh) dan pengetahuan bathiniyahnya (hakikat shalat).
Secara umum aspek praktis shalat, sebagai suatu ibadah mahdlah yang paling pokok, wajib ditegakkan dalam waktu-waktu yang telah ditentukan. Dalam aspek praktis shalat tampak tercermin keseluruhan dari dinamika kehidupan: pada saat berdiri posisi akal ada di atas qalb, pada saat ruku’ posisi akal sejajar qalb, dan pada saat sujud posisi akal ada di bawah qalb. Dan Nabi Saw mengingatkan bahwa semulia-mulia keadaan shalat adalah pada saat sujudnya, dan beliau memerintahkan agar kita memperbanyak berdoa pada saat bersujud, yaitu pada saat akal diletakkan di belakang qalb (akal yang tunduk kepada qalb yang dirahmati Allah Swt).
“… Mereka memiliki qalbu yang dengannya mereka menggunakan aql-nya…” (QS Al-Hajj [22]:46)
Serangkaian shalat praktis tersebut wajib ditegakkan untuk membangun suatu keadaan dzikir kepada Allah Swt (lihat Q. S. Thaaha [20]:14). Dzikir di sini bukan sebatas mengulang-ulang memuji Allah Swt dengan lisan ihwal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tetapi suatu dzikir mencakup suatu keadaan totalitas jiwa (nafs) akibat sentuhan rahmat-Nya, sehingga insan tersebut baqa’ dalam tasbih, doa, kesyukuran dan sebagainya. Dan jika dzikir ini menjadi sebuah maqam, maka menjadi tidak berbatas waktu. Jadi serangkaian shalat praktis yang berbatas waktu wajib ditegakkan untuk membangun dan memelihara suatu keadaan ’shalat’ (dalam tanda kutip) yang tidak berbatas waktu, dzikrullah.
Petala langit dan bumi dan segala isinya “yang berserah diri dengan suka cita” (QS Fushilat [41]: 11) berada dalam keadaan shalat dengan cara “mengorbit” pada poros amr masing-masing, “Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan tasbihnya” (QS An-Nuur [24]: 41).
Tujuan sejati dari suatu suluk (tazkiyatu-nafs) adalah untuk menemukan kodrat diri, merupakan qudrah atau kuasa Allah Swt yang ada di dalam nafs, sebagai mandat atau misi hidup yang harus dimanifestasikan. Barangsiapa mengenal nafs-nya maka akan melihat qudrah dirinya sebagai bayangan terbatas dari qudrah-Nya, dan barangsiapa yang mengenal kuasa-Nya maka akan mengenal Rabb-Nya, sebagaimana dikatakan Rasulullah Saw, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.” Dan kodrat diri ini tak lain merupakan fitrah Allah Swt yang disematkan kepada diri insan tertentu yang telah menegakkan ad-diin dalam dirinya.
“ Maka tegakkanlah wajahmu kepada ad-diin secara hanif. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah diin yang tegak, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui.” (Q. S. Ar-Ruum [30] : 30).
Jika seseorang merealisasi fitrah dirinya, maka sebagaimana petala langit dan bumi ia hidup dalam energi minimalnya, dan akan mengalirkan suatu kekaryaan suci yang berguna untuk masyarakat. Apa yang ia lahirkan tak lain merupakan harta terpendam (kanzun makhfi)-Nya yang merahmati alam semestanya. Seorang insan yang telah berhasil merealisasi fitrah dirinya adalah seorang yang telah berhasil menegakkan ad-diin dalam dirinya, dan ini berarti ia telah berjalan dalam shirath al-mustaqim-nya.
“Shalat itu adalah tiangnya ad-diin.” (Rasulullah Saw)
Ad-Diin di atas mencakup tiga komponen: al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan. Ketiga aspek tersebut harus ditegakkan secara utuh di dalam diri insan. Jika satu dari ketiga aspek tersebut belum terbangun maka ia belum termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah mendirikan ad-Diin di dalam dirinya. Jadi rangkaian shalat itu merupakan proses untuk menegakkan ketiga pilar ad-diin tersebut. Dan tentang pilar ketiga ad-diin yakni al-ihsan, Nabi Saw pernah berkata, “Engkau mengabdi kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya” adalah pilar yang paling halus dan paling sulit untuk ditegakkan, kecuali oleh mereka yang mencari-Nya dengan sungguh-sungguh, berharap bertemu (liqa’) Allah dengan kerinduan yang mendalam.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya (liqa’) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2] : 45-46).
Bagian akhir dari ayat di atas berkaitan dengan ke-ihsan-an sebagai tanda dari hadirnya kekhusyu’an di dalam shalat. Dan jika suatu shalat tidak mencapai pilar ihsan, maka ibadah shalat akan dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, sehingga bangunan ad-diin dalam diri orang tersebut sulit untuk didirikan. Jika seseorang tidak dapat menegakkan ad-diin dalam dirinya maka shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan fakhsya’ dan munkar.
“…sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fakhsya dan munkar. Dan sungguh dzikrullah itu adalah yang terbesar…..” (QS Al-Ankabut [29] : 45)
Keihsanan dalam shalat hanya menjadi milik mereka yang berharap berjumpa (liqa’) Allah, dan ini sebagai salah satu tanda penting dari tumbuhnya benih kecintaan dari Allah Azza wa Jalla.
“ …Barangsiapa mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadat kepada-Nya.” (QS Al-Kahfi [18] : 110)
Dalam Al-Quran, aspek amal shalih diletakan setelah keimanan. Dalam pernyataan iman dan amal shalih, tercermin ketiga pilar ad-diin. Keimanan, dengan banyak tahapannya, merupakan suatu proses penegakkan pilar al-iman. Kemudian ketaatan mengamalkan setiap perintah Allah dan menjauhi larangannya, dengan ikhlas, merupakan proses penegakkan pilar al-islam.
Adapun ke-shalih-an (ketidak rusakkan) yang dilekatkan pada kata amal, merupakan suatu persoalan yang mengkualifikasi derajat amal-amal. Ke-shalih-an diukur dari kemurnian tauhid, ini tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan membangun pengetahuan untuk mengenal-Nya, dan ini merupakan pokok dari pilar al-ihsan. Nabi Saw bersabda bahwa,
“Seutama-utama amal adalah yang disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala. Amal yang banyak tanpa disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala adalah tidak berguna, dan amal yang sedikit jika disertai dengan ilmu tentang Allah Ta’ala adalah bermanfaat.”
Kemudian Nabi Saw bersabda pula, “Siapa yang mengenal Allah maka pasti mencintai-Nya.” Pada maqam ini pilar ketiga dari ad-diin terbangun. Bagaimana agar keihsanan dan kecintaan kepada Allah dapat tumbuh, maka hanya dengan cara mengikuti semua langkah Nabi Saw dengan ikhlas, baik lahiriyahnya maupun batiniyahnya.
“Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian.’” (QS Ali Imran [3] : 31)
Dan Nabi Saw bersabda,
“Amal yang paling Allah cintai adalah shalat pada awal waktu, kemudian berbakti kepada orang tua, dan setelah itu jihad fi sabilillah.”
Para mu’min sejati adalah para pecinta Allah Swt, maka ad-diin tegak dalam dirinya, sehingga tidak ada perbuatan fakhsya’ dan kemungkaran yang keluar dari dirinya.
Alhamdulillahi Rabbil-‘aalamin
Wallahu a’lam bish-shawaab.
Zamzam A. Jamaluddin dan Kuswandani Yahdin, Yayasan Paramartha.
Makalah ini disampaikan dalam acara lokakarya Shalat sebagai Mi’rajnya Orang-orang Beriman, 6 Oktober 2004, di Jakarta Islamic Center.
** Gambar di awal adalah karya Michael Green, cover buku ‘The Illuminated Prayer’. Gambar shalat ke dua oleh Herry Mardian.