بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Seorang sufi terkemuka abad kedua Hijriah, Abu Bakar as-Syibli, semasa hidupnya pernah menulis sebuah syair, ketika ia berada di pengujung Ramadhan. Tepatnya, kala fajar 1 Syawwal tiba.
“Jika Engkau bagiku adalah ‘Ied maka tak sebanding ‘Ied saat ini. Rasa cinta kepadaMu di hatiku, terus mengalir. Laksana air di kecapi.”
Sebulan penuh umat Islam melewati Ramadhan. Bulan ini diposisikan sebagai Kawah candradimuka, tempat penempaan spiritual umat Muslim. Bentuk penggemblengan itu beragam, baik bentuk ataupun dimensi ibadahnya. Ada yang bersifat sangat individual, hanya menyentuh wilayah privat. Sebagiannya lagi, masuk pada ranah ibadah sosial.
Kini, ‘Iedul Fitri hadir, kembali menyapa kita. Benarkah kedatangannya berarti puncak kemenangan? Justru tidak. Di sinilah, keberhasilan dari rangkaian ritual sepanjang Ramadhan akan dibuktikan. ‘Iedul Fitri bukan akhir segalanya.
Ia sekadar tempat rehat, momentum mengembalikan kesucian diri. Menyegarkan kembali semangat dan ghirah untuk berbuat lebih baik lagi. Dan, menanggalkan segala bentuk tindakan keji, dzalim, dan perbuatan nista. Kembali ke fitrah, baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun hidup berbangsa dan bernegara.
‘Iedul Fitri bagi individu adalah evaluasi dan introspeksi menuju pribadi yang bertakwa. Minimal, implikasinya bisa diukur dengan adanya perubahan nyata dalam kesehariannya. Ia mestinya menjadi figur yang tidak mencederai orang lain, baik secara lisan, perbuatan, ataupun sikap-sikapnya dalam berinteraksi. Sebab, disesuaikan dengan posisi dan tanggung jawab yang diemban.
Pemimpin yang lulus Ramadhan, misalnya, tak akan gampang mengumbar janji, mengeluarkan pernyataan, dan tak mempermainkan amanah rakyat. Pemimpin yang sukses menangkap pesan ‘Iedul Fitri akan berani bertindak tegas dan bersikap anti-kezaliman dan penyelewengan, apapun bentuk dan motifnya. Karena ia kembali ke fitrah sebagai pengemban amanah.
Sebagai makhluk sosial, ‘Iedul Fitri mengingatkan kita terhadap keberadaan entitas lain. Mengetuk kepedulian sosial, mengunggah empati, dan mengajak kita untuk segera berbuat sesuatu. Di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedikit perhatian kita akan meringankan beban derita yang mereka rasakan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, ‘Iedul Fitri adalah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen nasionalisme dan menguatkan konsistensi terhadap penegakan hukum. Karena, idealnya, spiritualitas yang terbarukan akan mendorong rasa malu. Malu tidak mandiri dan berdikari, malu mengekor ke pihak asing, malu main mata antar-penegak hukum, dan malu mengambil hak orang lain.
Jika menurut as-Syibli, kecintaan terhadapNya adalah hakikat ‘Iedul Fitri telah menguasai dirinya. Maka, siapa pun yang mengaku cinta pada seseorang, ia akan menuruti apapun yang dititahkan dan menjauhi segala yang dilarang.
Bukan ‘Iedul Fitri namanya bila lepas Ramadhan, nafsu dan syahwat kekuasaan, angkara murka, atau kenistaan lainnya, justru kembali bahkan lebih menggila.
Karena, menurut Hasan al-Bashri, tiap hari adalah Idul Fitri, dengan catatan selama kemaksiatan tidak dilakukan seperti maksiat diri, maksiat sosial, dan maksiat dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh: Nasih Nasrullah
Source: Republika