Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku, kembali kita melanjutkan kajian kita tentang al-Asmâ al-Husnâ (Nama-Nama (Allah) Yang Baik). Dalam hal ini, kita akan kaji Nama al-Malik.
Al-Malik (dibaca pendek huruf mîm-nya, bukan Mâlik) dari segi bahasa berarti Raja atau Penguasa. Nama terbaik Allah ini mengandung pengertian bahwa Allah SWT itu Maha memiliki kekuasaan, kerajaan, dan kepemilikan.
Ketiga cakupan makna al-Malik, jika dirujuk kepada makna dasarnya, yaitu mîm-lâm-kâf, maka sifat ini menunjukkan makna kekuatan dan kesahihan. Karena Maha Kuat, dan tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan, maka Allah SWT Maha Kuasa, Maha Merajai, dan Maha memiliki segalanya.
Kekuasaan dan kerajaan Allah itu sempurna dan pasti, tidak terbatas dan lintas batas (lintas waktu atau sepanjang masa, lintas umat dan bangsa, lintas agama dan budaya, lintas alam semesta; dan lintas segalanya). Kekuasaan-Nya itu Maha Tinggi, tidak dapat sentuh dan dipengaruhi oleh siapapun.
Kata al-Malik dalam al-Qur’an terulang sebanyak lima kali dan biasanya diartikan dengan arti raja. Dua dari ayat tersebut disandingkan kepada kata al-Haqq yang berarti pasti dan sempurna. Hal ini karena kerajaan Allah SWT abadi dan sempurna tidak seperti kerajaan manusia. Imam al-Ghazali menyatakan kata al-Malik menunjukkan bahwa Allah SWT tidak membutuhkan kepada segala sesuatu melainkan segala sesuatu membutuhkan-Nya.
Oleh karena itu, sebagai hamba al-Malik (‘abd al-Malik), manusia harus bersikap rendah hati, tidak sombong, tidak semena-mena, dan tidak arogan dengan kekuasaan semu dan sementara yang dimilikinya, seperti kekuasaan politik, jabatan kementerian, kepemimpinan pada sebuah institusi, kepengurusan pada organisasi atau partai, dan sebagainya.
Karena al-Malik, adalah pemberi sekaligus pencabut kekuasaan makhluk-Nya, termasuk kekuasaan manusia yang bersifat duniawi. Tidak hanya itu, bahkan segala wujud yang ada di muka bumi ini bersumber darinya dan ia menjadi pemilik bagi seluruh wujud tersebut.
Dengan demikian, Allah SWT adalah Raja sekaligus Pemilik. Kepemilikan Allah SWT sangat berbeda dengan kepemilikan manusia. Kepemilikan manusia terbatas sementara kepemilikan Allah SWT tidak terbatas. Misalnya, bisa saja manusia memiliki mobil, hanya saja dengan kepemilikannya tersebut ia memiliki keterbatasan. Tidak mungkin seseorang dengan sengaja menabrakkan mobilnya.
Sebab apabila ia melakukan hal ini, minimal kecaman akan ia peroleh karena manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Allah SWT, karena Allah SWT tidak dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatanNya.
Allah SWT adalah Raja. Yakni, Raja yang berarti Dzat yang memiliki hak mengatur terhadap diriNya maupun sosok lain dengan kekuatan dan kekuasaannya. Manusia bisa saja menjadi raja tetapi tidak dapat menjadi raja mutlak karena hal tersebut hanya milik Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Jumuah ayat 1:
يُسَبِّحُ لِلّٰهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ۞
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Sifat al-Malik yang berarti Menguasai biasa ditujukan kepada penguasa di bumi. Jikalau kita menjadi pemimpin, kita harus memiliki sifat al-Malik. Menjadi pemimpin dengan baik dan benar, tidak sombong dan sewenang-wenang jika memimpin.
Karena sifat sombong dan sewenang-wenang akan dibenci oleh Allah SWT. Kita juga harus menyadari bahwa kekuasaan manusia sangatlah terbatas. Karena pada akhirnya kekuasaan tersebut akan digantikan oleh orang lain, tidak seperti kekuasaan Allah SWT yang bersifat abadi. Karena Dia-lah yang menguasai alam semesta beserta bumi seisinya atau segalanya.
Dengan demikian, kita adalah milik Allah SWT. Jadi, Dia-lah yang berhak memerintah atau melarang sesuatu.
Selain itu, kita harus menguasai diri kita sendiri, menguasai dari hawa nafsu dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Karena dunia ini semuanya hanyalah sandiwara dan penuh tipu daya. Jangan sampai kita tergila-gila dengan kedudukan atau jabatan, karena kedudukan atau jabatan di dunia tidak mempengaruhi kedudukanmu di akhirat kelak.
Selain menguasai diri dari hawa nafsu, kita juga harus menguasai diri dari amarah. Karena sifat amarah sangat tidak disukai oleh Allah SWT. Kecuali jika marah dalam hal yang baik, seperti orangtua yang marah jika anaknya tidak shalat, atau marah yang dilakukan untuk membela agama. Sebagai pemimpin atau penguasa, ia juga harus bisa menguasai diri sendiri terlebih dahulu.
Menguasai diri sendiri adalah wujud karakteristik al-Malik. Lalu hal itu menjadi semacam pra-sayarat untuk meneladani al-Malik. Jika tidak mampu menguasai diri sendiri, maka dirinya harus rela berada di bawah kekuasaan orang lain. Syarat awal menguasai diri adalah dengan memperbanyak syukur. Bersyukur atas segala hal yang diberikan oleh-Nya, baik materil maupun immateril, lahir maupun bathin.
Menguasai diri sendiri lebih sulit daripada menguasai orang lain. Belum tentu seorang pemimpin dunia mampu menguasai dirinya sendiri. Karena masih banyak pemimpin di dunia ini yang bersifat sewenang-wenang, arogan, tidak peduli pada rakyatnya, dan lain-lain.
Meneladani Allah dengan Sifat Al-Malik
a. Manusia memiliki keterbatasan kepemilikan terhadap sesuatu
Dengan Asma al-Malik ini seharusnya manusia sadar bahwa dirinya terbatas. Harta benda yang mereka miliki juga terbatas, baik terbatas jumlahnya atau terbatas pemanfaatannya. Manusia hanya bisa memakai harta yang ia miliki di dunia saja. Demikian pula kepemilikan yang ia miliki juga terbatas. Seseorang bisa saja memiliki karyawan tetapi ia hanya dapat menguasai sisi lahiriah dari karyawannya tersebut. Ia tidak dapat menguasai sisi bathinnya.
b. Pengendalian nafsu
Dengan mengerti dan memahami sifat al-Malik dengan baik, seseorang dapat menguasai hawa nafsunya. Godaan yang paling besar bagi manusia adalah godaan hawa nafsu. Dalam sejarah, umat Islam pernah mengalami kekalahan perang, yaitu dalam perang Uhud.
Kekalahan tersebut terjadi karena sebagian dari pasukan umat Islam tergoda dengan harta ghanimah atau harta rampasan perang sehingga Allah SWT mengurangi kekuatan mereka dan akhirnya mereka kalah di dalam perang. Saat itu, seandainya umat Islam tidak tergoda dengan harta rampasan perang yang ada dan menyakini bahwa Allah SWT adalah Pemilik semuanya, niscaya pasukan umat Islam akan menang.
c. Bersyukur terhadap nikmat Allah
Mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia merupakan bentuk pengamalan dari penghayatan seseorang terhadap Nama al-Malik. Seseorang akan sadar bahwa pemilik sebenarnya bagi segala sesuatu adalah Allah SWT. Karenanya, ketika seseorang sudah berusaha dengan maksimal lalu ia memperoleh rezeki, maka ia akan mensyukurinya. Ia tidak akan mengumpat atau mencaci orang lain karena ia sadar bahwa Allah SWT adalah pemilik sejatinya.
Wallâhu A’lam.