Home / Agama / Kajian / Serat Kalatida

Serat Kalatida

“Sebuah syair kuno gubahan Ranggawarsita menggambarkan sebuah zaman di negrinya yang rusak”

Oleh: H. Derajat*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Inilah Serat Kalatidha, yang merupakan karya sastra Jawa yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada tahun 1860. Serat ini berisi 12 bait syair dalam metrum sinom dan ditulis menggunakan aksara Jawa (Hanacaraka) gagrak Surakarta.

Dalam serat ini, Ranggawarsita mengekspresikan kegelisahannya ketika melihat keadaan zaman dan menganggap bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Secara harfiah, “Kalatidha” memiliki arti “zaman edan” kata edan sendiri diambil dari bahasa Jawa yang bermakna gila.

Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Serat Kalatidha adalah produktivitas, moralitas, kreativitas, dan spiritualitas. Serat ini mengajarkan bagaimana menghadapi dan mengatasi kondisi zaman yang berkembang, agar kita tidak ikut larut ke dalam zaman yang menjerumuskan tersebut. Berikut teks Serat Kalatidha beserta terjemahannya:

I

Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.

Artinya:

“Sekarang derajat negara terlihat telah suram, pelaksanaan undang-undang sudah rusak karena tanpa teladan. Kini, Sang Pujangga hatinya diliputi rasa sedih, prihatin tampak jelas kehina-dinannya amat suram tanda-tanda kehidupan. Akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.”

II

Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.

Artinya:

“Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama, perdana menterinya pun seorang yang terpilih, para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat, pegawai aparatnya pun baik-baik, meski demikian tidak menjadi, penolak atas zaman terkutuk ini, malahan keadaan semakin menjadi-jadi, berbagai rintangan yang mengganggu. Berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.”

III

Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.

Artinya:

“Daripada menangis sedih, bangkitlah wahai Sang Pujangga, meski diliputi penuh duka cita, mendapatkan rasa malu atas berbagai fitnahan orang, mereka yang mendekatimu bergaul, menghibur, seolah membuat enak hatimu, padahal bermaksud memperoleh keuntungan, sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.”

IV

Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

Artinya:

“Dasarnya terbetik berbagai berita, kabar angin yang berujar munafik, Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka, akhirnya malahan berada di belakang. Apabila dipikir-pikir dengan benar berfaedah apa berada di muka? Menanam benih-benih kesalahan, disirami oleh air kelupaan. Apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.”

V

Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.

Artinya:

“Menurut buku Panitisastra, memberi ajaran dan peringatan, di dalam zaman yang penuh bencana, bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang. Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman. Apakah gunanya kita percaya pada berita-berita kosong, justru terasa semakin menyakitkan hati. Lebih baik menulis cerita-cerita kuno.”

VI

Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.

Artinya:

“Hal itu dapat digunakan sebagai teladan, untuk membandingkan hal buruk dan baik. Tentunya banyak juga lakuan-lakuan yang menjadi contoh, tentang masalah-masalah hidup, hingga akhirnya ditemukannya keadaan tawakal (narima), menyadari akan ketentuan takdir Tuhan, bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.”

VII

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

Artinya:

“Menghadapi zaman edan, keadaan menjadi serba sulit, turut serta edan tidak tahan, apabila tidak turut serta melakukan, tidak mendapatkan bagian, akhirnya menderita kelaparan. Sudah kehendak Tuhan Allah betapun bahagianya orang yang lupa, lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.”

VIII

Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.

Artinya:

“Demikianlah perumpamaannya, padahal mereka menginginkan, bukankah demikian Paman Doplang? Benar juga yang menyangkanya, namun di dalam batin sesungguhnya hal itu masih jauh. Sudah tua mau apalagi, sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi, supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.”

IX

Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.

Artinya:

“Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya, dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa, betapapun tingkah laku perbuatannya, tidak susah untuk mendapatkan penghasilan, oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan. Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan, jalannya melalui sesama makhluk, berupa segala sesuatu yang bermanfaat. Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.”

X

Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.

Artinya:

“Sekadar menjalani hidup, hanya semata bertindak mengenakkan hati, asalkan tidak menjadi suatu masalah, dengan memperhatikan petuah orangtua, bahwa ikhtiar itu sesungguhnya memilih jalan agar selamat, sambil terus berusaha disertai dengan awas dan sadar, yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.”

XI

Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.

Artinya:

“Ya Allah, ya Rasulullah, yang bersifat pemurah dan pengasih, semoga berkenan melimpahkan pertolongan yang menyelamatkan, di dunia hingga ke akhirat, tempat hidup hamba, padahal sekarang (hamba) sudah tua, pada akhirnya nanti bagaimana (terserah), maka semoga ada pertolongan Tuhan.”

XII

Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip kalis
ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.

Artinya:

“Semoga dapat sabar sentosa, laksana mati di dalam hidup, terbebas dari segala kerusuhan, angkara murka, tamak, loba menyingkir semua, tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan senantiasa melatih hatinya patuh, agar dapat mengurungkan kutukan, sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya, berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.”

Raden Ngabehi Rangga Warsita (Ronggo Warsito) bernama asli Bagus Burhan. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir Tanah Jawa. Lahir di Surakarta 15 Maret 1802 dan meninggal dalam usia 71 tahun pada 24 Desember 1873.

Bagus Burhan adalah putra dari Mas Pajangswara atau Mas Ngabehi Ranggawarsita, cucu Yasadipura II. Serat Kalatidha merupakan karya sastra yang bermula dari kegelisahan Ronggo Warsito melihat kondisi pemerintahan saat itu.

Ronggo Warsito menjelaskan dalam syairnya mengenai derajat negara yang terlihat suram. Pelaksanaan undang-undang rusak akibat tidak adanya teladan dari para pembuatnya. Padahal orang-orang di pemerintahan adalah orang-orang terpilih dan mulanya bercita-cita ingin menyejahterakan rakyat kecil. Lalu ia mengatakan, orang-orang baik di negara tersebut justru tersingkirkan.

Di akhirnya syairnya, Ronggo Warsito mengajak masyarakat untuk menjauhi keramaian duniawi. Hal itu supaya mendapatkan hidayah dan keselamatan dari Tuhan dan Rasul-Nya.

Apabila kita mengkaji dan menikmati tiap bait Serat Kalatidha, masih sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini.

Semoga Allah SWT memberikan keselamatan dan keberkatan kepada bangsa ini yang mulai goyah akibat lunturnya nilai-nilai luhur, hilangnya budaya malu, dan nafsu duniawi yang merajalela, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

______________

* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

About admin

Check Also

Hakikat Wali Adalah Nabi

“Guru Mursyid adalah yang boleh membuat hati semakin berada dalam kerendahan hati, sehingga semakin tumbuh ...