Karna seorang bijak, seorang dermawan, seorang pemimpin yang ideal – tetapi seluruh kebaikannya itu seolah terlupakan oleh sejarah karena keberpihakannya pada Adharma, pada pelaku kejahatan.
Karna membenarkan posisinya bersama Kaurava, padahal ia tahu persis bahwa Kaurava tidak berpihak pada Dharma, pada Kebajikan. Kaurava bukanlah pemimpin yang ideal. Sayang, hanya karena sakit hati, mata Karna tertutup. Ia tidak mampu melihat kebenaran. Maka, hancurlah dirinya bersama Kaurava.
Bila kau ingin menjadi seorang pemimpin, janganlah memelihara virus “sakit hati” di dalam dirimu. Terlebih lagi, bila wabah itu, penyakit itu kau jadikan pemicu, kau jadikan motivasi untuk maju ke depan.
Bila kau merasa bisa “disakiti” – maka kau sungguh lemah. Perasaan itu saja sudah membuktikan bila dirimu tidak layak untuk menjadi pemimpin.
Reformasi yang terjadi di negeri ini tidak berjalan mulus, tidak sesuai dengan harapan banyak orang – karena pondasinya adalah kebencian terhadap “Orde Lama”. Apa yang disebut “Orde Lama” itu dijadikan referensi untuk mengadakan reformasi.
Maka, itu pula yang terjadi. “Orde Lama” mengalami “re”-formasi, pembentukan ulang. Bahan bakunya masih sama, adonannya masih sama – bentuknya saja yang berubah. Cara penyajiannya saja yang sedikit lebih keren.
Penindasan masih terjadi. Undang-undang lama yang sudah tidak berguna masih digunakan. Pemerintah masih enggan melayani, masih mau menguasai dan memerintah saja. Sakit hati terhadap orde lama dan orde baru – tetapi membentuk orde serupa pula. Kenapa bisa begitu? Karena, apa pun yang kita lakukan dengan sakit hati – sudah pasti mencerminkan penyakit kita sendiri.
Setiap aksi menimbulkan reaksi yang setimpal – ini merupakan hukum alam. Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Setiap orang bertanggung jawab terhadap alam, terhadap keberadaan – terhadap Tuhan.
Janganlah sekali-kali membalas aksi kejahatan dengan kejahatan, kekerasan dengan kekerasan. Karena, setiap orang yang membalas kejahatan dengan kejahatan menjadi jahat. Setiap orang yang membalas kekerasan dengan kekerasan menjadi keras.
Mereka yang tidak dapat mengendalikan diri, tidak dapat mengendalikan napsu dan amarah – bersembunyi di balik nama Tuhan dan agama untuk membenarkan kelemahan diri. Lihat, apa yang dilakukan oleh kaum radikal dari semua agama dan pada setiap jaman. Mereka menyelewengkan ajaran agama, memutarbalikkan wejangan para nabi, buddha, avatar dan mesias yang mereka junjung tinggi – untuk membenarkan kejahatan yang mereka lakukan.
Politisi dan partai-partai politik yang kurang percaya diri, menggunakan isu agama untuk meraih popularitas dari para pemilih yang sama-sama tidak percaya diri. Kemudian, bila ditegur, mereka marah: “Jangan menggunakan isu SARA!” Sungguh aneh, bukankah mereka sendiri yang membuat partai politik dengan menggunakan isu SARA – menggunakan agama sebagai landasan untuk berpartai?
Pernahkah mereka dengan suara bulat menolak aksi kekerasan yang terjadi pada orang-orang yang tidak seumat? Tidak pernah, dan tidak bisa. Karena, modal mereka berpartai adalah isu agama tertentu.
Ini jelas tidak sesuai dengan visi Mahatma Gandhi. Bisakah mereka mengucapkan bersama Sang Mahatma, “Ishwar Allah Tere Naam” – Ishwara dan Alah, dan Bapa di Surga, Adi Buddha – semuanya adalah Nama-Mu? Bisakah?
Bisakah mereka menyatakan semua agama benar, semua ajaran benar, semua nabi benar? Tidak bisa. Karena, bila mereka melakukan hal itu, kemudian landasan mereka berpartai dengan menggunakan ajaran salah satu agama sebagai dasar – akan gugur dengan sendirinya. Promosi, propaganda – atau apa pun sebutannya – tentang ajaran salah satu agama menjadi tidak relevan bila ajaran semua agama betul, benar, dan bertujuan satu serta sama. Para ulama dan para rahib pun sebaiknya tidak perlu lagi bila beranggapan mereka dapat menyelamatkan jiwa seorang dengan mengajaknya berpindah agama.
Gandhi menghormati ajaran semua agama. Ia menerima kebaikan, dari mana pun sumbernya. Maka, ia dapat mengungkapkan keyakinannya secara jelas dan tegas, bahwasanya orang yang meletakkan agamanya di atas agama-agama lain – adalah seorang fanatik yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi radikal. Dia tidak bersimpati dengan orang seperti itu.
Bagaimana dengan kita? Kita malah bergandengan tangan dengan orang-orang seperti itu. Kenapa? Karena urusan kita, murni adalah urusan perolehan suara.
Kita tidak cukup percaya diri, tidak yakin pada kemampuan diri. Maka kita akan bersahabat dengan siapa saja untuk meraih kemenangan. Ini adalah tragedi, dan sebuah tragedi yang besar. Kita membenarkan dan menghalalkan segala cara untuk merebut kursi, untuk memperoleh suara, untuk menjadi orang nomer satu.
“Kesalahan Karna” adalah penyakit yang disebabkan oleh kelemahan diri. Hendaknya kita menjaga diri, dan tidak tertular olehnya. Karena, bila tertular, maka kebinasaanlah hasilnya.
“Vinaasha Kaale Viprita Buddhih” – jelang kebinasaan diri, pikiran menjadi kacau. Kebinasaan atau Vinaasha Kaal adalah suatu masa, kala, ketika pikiran menjadi berkabut. Kita sudah tidak mampu membedakan yang benar dari yang tidak benar.
Sebaliknya, kekacauan pikiran juga menjadi penyebab kebinasaan diri. Sesungguhnya, diri yang lemah tengah menuju kebinasaannya sendiri.
Jadikanlah “pengendalian diri” sebagai tujuan hidupmu, sebagai jihadmu…. Bersungguh-sungguhlah untuk mengupayakan hal itu – maka kemenangan akan mencium kakimu. Maka, kau akan meraih kesempurnaan dalam hidup ini. Jadikanlah “pengendalian diri” sebagai kebiasaanmu, maka kau akan terbebaskan dari perangkap dunia yang ilusif ini. Dunia yang saat ini ada, dan sesaat kemudian tidak ada.
Pengendalian Diri adalah Kekuatan. Bila kau berhasil mengendalikan dirimu, maka kau dapat mengendalikan ketakwarasan dan ketakberesan di luar dirimu.
“Man Jeete, Jaga Jeet!” – Kemenangan atas Diri adalah Kemenangan atas Alam Semesta. Demikian menurut Guru Besar Nanak.
Para nabi kita, para avatar kita, para mesias kita, para buddha kita – tidak pernah, saya ulangi “tidak pernah” mengajarkan kekerasan. Pun, mereka tidak pernah membenarkan keliaran pikiran. Mereka tidak pernah menempatkan harta dan kekuasaan dunia di atas akhlak manusia.
Orang yang berhasil mengendalikan dirinya, tak akan terkendali oleh orang lain. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa digoda, tidak bisa dirayu. Ia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Jadilah orang itu!
Radar Bali, Senin 30 Juni 2008