سوابق الههم لا تخرق أسوار الأقدار
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”
1. Penjelasan
Etika yang harus dilakukan dalam maqam asbab adalah percaya akan takdir Allah. Etika ini sangat urgen untuk di pegang oleh salik yang ingin selamat dari kesesatan. Karena sebesar apapun usaha salik pasti tidak akan keluar dari takdir Allah. Oleh karena itu Ibnu Atha’illah menjelaskan dengan kata hikmahnya :
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”.
“Semangat” disini adalah kemauan keras yang diberikan Allah kepada manusia untuk menghadapi kehidupan mereka seperti kerja, mengajar, dan sebagainya. Kemauan atau semangat keras yang diberikan Allah kepada manusia tersebut tidak akan mampu menembus dinding takdir Allah. Ibnu Atha’illah menyerupakan Qadar (takdir Allah) dengan dinding kokoh yang membentengi suatu negara. Jika ada seorang musuh yang ingin menghancurkan dinding tersebut maka dia tidak akan berhasil. Begitu juga manusia, dia tidak akan mampu membatalkan takdir Allah dengan kemauan dan semangat kerasnya tersebut.
Intisari makna kata hikmah Ibnu Atha’illah adalah lakukanlah asbab (bekerja) sesuai kemampuanmu, namun ketahuilah bahwa asbab yang kamu kerjakan walaupun disertai kemauan keras dan efektifitas akan menjadi sirna jika berhalangan dengaan Qadla’ dan hukum Allah yang telah digariskan.
Perlu kita ketahui bahwa Qadla’ dan Qadar itu memiliki arti yang berbeda. Qadla’ adalah ilmu Allah pada zaman azali dengan segala sesuatu yang akan terjadi, sedangkan Qadar adalah terjadinya sesuatu hal sesuai dengan ilmu Allah pada zaman azali tadi. Kemudian Qadla’ yang namanya berubah menjadi Qadar ketika telah terealisasi, ada kalanya hanya Allah-lah sebagai pemegang kendali (kehendak manusia tidak ikut andil) seperti datangnya musibah dan bencana alam. Dan ada kalanya Qadla’ Qadar terjadi atas kehendak Allah tetapi manusia memiliki andil di dalamnya seperti bekerja dan beribadah. Walaupun keduanya berbeda namun keduanya termasuk dalam Qadla’ dan Qadar Allah SWT. Karena kesemuanya bekerja sesuai ilmu dan penciptaan Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang tunduk di bawah Qadla’ dan Qadar Allah tidak ada hubungannya dengan ikhtiyar (usaha) dan idltirar (keterpaksaan) manusia.
2. Dalil
Al-Qur’an surat al-Dzariyyat : 58
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
Dan juga surat Al-Ankabut : 17
…فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya : …Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
Serta hadist Nabi :
شرح الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية – (ج 1 / ص 9) إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ في بَطنِ أُمِّهِ أَربعينَ يَوماً نطفة ، ثمَّ يكونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ، ثمَّ يكونُ مُضغةً مِثلَ ذلكَ ، ثمَّ يُرسلُ إليه المَلَك ، فيَنْفُخُ فيه الرُّوحَ ويُؤْمَرُ بأربَعِ كلماتٍ بِكَتْب رِزقه وأجَلِه وعمله ، وشقيٌّ أو سَعيدٌ
Artinya : Sesungguhnya kejadian kalian di kumpulkan dalam perut ibu selama 40 hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging juga selama 40 hari, lalu Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh dan di perintah agar menulis 4 perkara yaitu rizqinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntung.
Dari ketiga dalil diatas bisa kita ketahui bahwa rizqi telah digariskan dalam ilmu Allah dan masuk dalam genggaman Qadla’-Nya. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali telah tergaris dalam ilmu-Nya. Adapun kesungguhan dan kerja keras kita hanyalah sebagai pelayan bagi segala sesuatu yang telah termaktub (tertulis) dalam Qadla’ dan hukum Allah dan juga sebagai pelayan bagi Qadar yang realisasinya pasti sesuai dengan ilmu dan Qadla’-Nya.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 255
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Artinya : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Allah mensifati Dzat-Nya dengan Al-Qoyyum yang artinya Dzat yang mengurusi segala urusan untuk selama-lamanya. Jadi tidak ada satu makhluk yang bergerak atau memberi pengaruh kecuali dengan tindakan langsung dari Allah SWT.
Al-Qur’an surat Al-Rum : 25
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
Jadi bergeraknya Afaq (cakrawala) bumi dan apa saja yang ada di dalamnya tergantung dari rahmat Allah. Perlu kita ketahui, ayat di atas menggunakan kalimah “تقوم ” yaitu fi’il mudlari’ yang menunjukkan zaman al-istimror (selama-lamanya dan terus-menerus). Segala sesuatu yang kita lihat baik berupa gerakan maupun perubahan, besar maupun kecil tidak akan sempurna tanpa kekuasaan dan perintah Allah SWT. Lalu (dengan penetapan ini) apakah ada yang mengatur segala sesuatu selain Allah?
Al-Qur’an surat Al-Fatir : 41
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Artinya : Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Perhatikanlah ayat di atas, Allah memberikan redaksi dengan kalimah “يمسك” yaitu fiil mudlari’ yang juga bermakna zaman Al-istimror. Ayat di atas menjelaskan bahwa langit dan bumi bisa teratur dari waktu ke waktu karena aturan dan hukum Allah. Seandainya satu detik saja Allah tidak mengaturnya maka segala sesuatu pasti akan hancur dan tentunya sangat jauh apabila ada makhluk atau penyebab lain yang menempati posisi Allah sebagai pelaku utama yang mengatur alam ini.
Al-Qur’an surat Yasin : 41
وَآَيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
Artinya : Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.
Jika memang perahu yang mengarungi gelombang laut itu adalah pelaku pengangkutan yang berpotensi dan mandiri, lalu kenapa Allah menisbatkan (menyandarkan) pekerjan mengangkut manusia di atas kapal kepada Dzat-Nya sendiri, dan tidak menisbatkannya pada kapal yang lahirnya memiliki kekuatan tersendiri?.
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa yang mengangkut kapal dan manusia di dalamnya adalah Allah. Dengan demikian sirnalah kesalah pahaman dan benarlah bahwa al-Sababiyyah al-Haqiqiyyah (penyebab haqiqi) dalam pengangkutan hanyalah Allah SWT.
3. Aplikasi
a. Contoh
1) Kehidupan masyarakat
Banyak sekali cara yang dilakukan orang demi memperoleh rizqi. Namun setelah diteliti cara-cara tersebut tidak disyari’atkan (diperbolehkan) oleh agama. Suatu ketika ada orang yang menasehatinya agar menjauhi dan tidak melakukan cara tersebut karena tidak sesuai dengan syari’at. Lalu orang tersebut malah mencacinya dengan mengatakan : Sebenarnya cara yang saya kerjakan dalam mencari rizqi itu disyari’atkan dan diperintahkan, selain itu Allah juga tidak menyukai orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Orang tersebut juga kadang membantah dengan mengatakan : Saya menjalankan kata hikmah dari Ibnu ‘Atha’illah. Sesungguhnya Allah telah menempatkanku pada maqam asbab, lalu kenapa saya tidak boleh bekerja dengan caraku.
Fenomena di atas hanya dapat kita tepis dengan hikmah Ibnu ‘Atha’illah bahwa semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah. Ketika kita merasa bahwa diri kita berada di daerah yang dipenuhi dengan keharaman-keharaman dan kita ikut terseret untuk melakukan dosa, maka kita harus menjauhkan tangan kita dari pekerjaan dan perdagangan itu. Kita juga harus pindah tempat yang di situ tidak ada maksiat dan dosa seperti tempat pertama. Jika syaitan membisiki kita dengan berkata : Cara yang kamu kerjakan itu telah ditakdirkan oleh Allah, lalu apakah kamu akan mendapatkan ganti jika kamu tidak bekerja?. Maka kita harus menjawabnya Dari mana argumen bahwa pekerjaan dan rutinitasku di daerah tersebut adalah sumber rizqiku yang menjadi penyebab kenikmatan dan kehidupanku?, Dan bagaimana argumen tersebut harus aku terima padahal aku akan selalu hidup sebagaimana firman Allah bahwa hanya Allah-lah yang memberi rizqi.
Kita juga harus menepis syaitan dengan jawaban : Jika memang Allah telah menakdirkan saya kaya, maka hal itu pasti akan terwujud di manapun saya pergi. Dan jika Allah menakdirkan diri saya miskin, maka hal itu juga akan terwujud walaupun saya telah bekerja keras dan pergi ke semua daerah untuk bekerja.
Sebagian orang juga terkadang berasumsi dengan mengatakan : Lalu apa gunanya bekerja jika memang hal itu tidak bisa merubah takdir Allah. Dan apa gunanya pergi ke penjuru daerah untuk mencari rizqi jika telah di gariskan Allah SWT?
Jawabannya adalah dalam bekerja kita itu berada pada salah satu posisi. Posisi pertama adalah jika bekerja itu terasa jauh dan tidak bisa mendorong semangat dan kerja keras kita. Jika kita berada dalam posisi ini, maka berarti kita berada pada maqam tajrid dan yang harus kita lakukan adalah pasrah serta menjauhi pekerjaan tadi.
Posisi kedua adalah jika bekerja itu ada di depan kita, maka kita harus menerima dan melakukannya. Tapi bukan karena bekerja itu memiliki kekuatan dan mampu melawan Qadla’ dan Qadar Allah, melainkan karena Allah telah menempatkan kita pada maqam asbab dan memerintahkan kita untuk menjalankannya. Kita juga harus yakin bahwa yang menjadikan kita hidup adalah kehendak dan hukum Allah bukan pekerjaan yang kita lakukan tadi. Jadi pekerjaan yang kita tekuni hanyalah rutinitas yang telah ditempatkan dan diperintahkan oleh Allah kepada kita. Pada hakikatnya kita bisa hidup adalah dari Allah, bukan dari pekerjaan kita.
Sebagian orang Islam juga terkadang meyakini bahwa di dalam suatu perkara (seperti air, api, makanan) itu memiliki kekuatan atau potensi yang terpendam di dalamnya. Jadi dengan potensi tersebut perkara tadi bisa memberi atsar (efek) pada kita. Jika kita juga merasakan keyakinan tersebut, maka kita harus ingat akidah keimanan kita bahwa sebenarnya Allah-lah yang memberi kekuatan pada perkara tersebut, sehingga perkara tadi bisa memberi manfaat pada kita.
Kita juga harus meyakini bahwa Allah itu satu Dzat-Nya. Maka tidak ada Tuhan dalam alam semesta ini kecuali Dia. Allah juga satu sifat-Nya, dan Allah juga satu pekerjaan-Nya, maka tidak ada satu makhluk di dunia ini yang iktu campur dalam pekerjaan Allah, karena Allah adalah satu-satunya Dzat pencipta.
Jika ada orang yang meyakini bahwa di dalam api itu ada kekuatan mambakar yang dititipkan Allah di dalamnya kemudian Allah meninggalkannya. Lalu dengan kekuatan ini api bisa membakar dengan sendirinya. Maka orang tersebut berarti menetapkan bahwa dalam suatu perkara ada kekuatan (selain kekuatan Allah) yang ikut andil dalam mengatur sesuatu. Dengan demikian orang tersebut telah menyekutukan Allah, dan keluar dari jalan yang lurus.
2) Cerita Sayyidah Maryam
sesungguhnya pekerjaan yang kita lakukan hanyalah menuruti perintah dan aturan yang telah ditetapkan Allah pada semua makhluk. Kita diperintahkan untuk makan, minum dan berobat jika kita lapar, haus, dan sakit. Kita juga diperintah agar waspada pada penyakit dan musibah. Keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah harus ditancapkan dalam diri kita. Hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu dan tidak ada pengaruh kecuali dari hukum-Nya. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-A’raf : 54 :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan pekerjaan, di sisi lain Allah juga memerintahkan pada kita untuk meyakini bahwa semangat yang kuat tidak mampu menembus dinding-dinding takdir.
Syari’at (aturan) yang dibebankan Allah dan keyakinan yang diajarkan-Nya (pelaku hakiki hanyalah Allah) teraplikasikan dalam khitabNya kepada Sayyidah Maryam ketika bersandar pada pohon kurma dalam keadaan hamil. Allah berfirman di dalam surat Maryam : 25 :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Artinya : Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Pohon yang disandari Sayyidah Maryam adalah pohon kurma yang sudah tua dan tentunya tidak berbuah lagi. Namun seketika itu pula Allah menumbuhkan buah kurma yang masih segar. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah sangat mampu sekali untuk menurunkan buah kurma dalam pangkuan Sayyidah Maryam tanpa harus memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menggoyang pohon kurma tersebut. Namun Allah ingin mengajarkan aturan dan syari’at kepada manusia. Oleh karena itu Allah berfirman :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ …
Artinya : “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu”
Dengan demikian kita tahu bahwa yang menciptakan kurma adalah Allah, namun Allah mengajarkan sebab demi turunnya buah kurma yaitu dengan menggoyang pohonnya.
b. Efek Edukasi
Marilah kita melihat education efec (pengaruh edukasi) dengan melakukan asbab (pekerjaaan), namun didasari keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah dan segala sesuatu pasti tunduk pada Qadar Allah, maka kita akan menemukan efek yang baik pada diri manusia serta akan membentuk jiwa dan pikiran yang sehat.
Jika usaha kita yang berada di bawah Qadla’ dan Qadar Allah, telah menghasilkan cita-cita kita, maka kita akan yakin bahwa anugerah ini adalah pemberian Allah SWT dan dari sinilah kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah SWT. Sebaliknya, jika cita-cita kita belum terwujud maka kita menyadari bahwa semuanya telah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu kita tidak akan kebingungan dalam menghadapi kehidupan ini dan kita tidak akan mengandai-andai bahwa jika kita melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, dan jika kita melakukan seperti apa yang dilakukan seseorang niscaya kita akan sukses seperti mereka.
Fenomena di atas telah meracuni sebagian manusia yang mengakibatkan mereka stress dan hidup dalam kesedihan. Namun seorang mukmin yang patuh pada hukum-hukum syar’i serta dilandasi keyakinan pada qadla ilahi pasti akan selamat dari musibah dan penyakit ini. Karena mereka tahu bahwa ini semua terjadi atas kehendak Allah. Dengan percaya dan ridla atas kehendakNya, maka mereka semakin tenang dan yakin bahwa kehendak Allah tersebut adalah yang terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya kita akan tunduk dan menjalankan wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
استعن بالله ولاتعجز وان أصابك شئ فلا تقل لو أني فعلت كذا لكان كذا, فان لو تفتح عمل الش¡0;طان ولكن قل قدر الله وما شاء فعل – رواه مسلم
Artinya : Mintalah pertolongan pada Allah dan janganlah lemah, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu mengatakan bahwa sendainya saya melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, karena mengandai-andai itu akan membuka pintu sayetan. Akan tetapi katakanlah bahwa Allah telah menakdirkan seperti ini dan Allah berhak untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Kita juga harus tahu bahwa dengan adanya Qadla’ dan Qadar Allah bukan berarti kita tidak memiliki ikhtiyar (usaha), karena masalah Qadla’ dan Qadar itu tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya usaha manusia. Inilah hal yang perlu kita perhatikan dan janganlah kita tertipu oleh asumsi sebagian manusia dalam memahami makna Qadla’ dan Qadar. Dengan demikian kita akan selamat dari kesesatan dan hidup dalam penuh kehormatan dan ketenangan.