Home / Budaya / Cerita Rakyat / Sekelumit Kisah Syeh Siti Jenar Bagian Kelima

Sekelumit Kisah Syeh Siti Jenar Bagian Kelima

Petilasan Syeh Siti Jenar

Kekhalifahan pertama Jawa, yang selama ini dicita-citakan oleh Kaum Putihan berhasil berdiri. Raden Patah atau Tan Eng Hwat dikukuhkan sebagai khalifah pertama Demak Bintara dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jiem-Boenningrat ( Nama Jiem-Boen, adalah nama China. Saya belum tahu pasti darimana dan mengapa nama itu diambil. : Damar Shashangka )

Praktis, Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu naik tahta, wilayah negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang lebihnya separuh bekas wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat yang mayoritas sudah banyak penduduknya yang memeluk Islam, ternyata perkiraan itu salah!

Daerah-daerah yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan dengan suka rela mengakui kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya sebatas Jawa Tengah sekarang dan pesisir utara Jawa Timur hingga ke Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu Kadipaten-pun yang mau tunduk tanpa syarat.

Yang sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan jabatannya sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada tahun 1479, dan pada tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai pengganti beliau bahkan dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati, Caruban Larang, secara tegas menolak menjadi wilayah Demak Bintara! Sunan Gunungjati berdalih, secara historis, Caruban Larang dari dulu bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah Pajajaran. Dan Caruban Larang berhak menentukan nasibnya sendiri.

Syeh Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka yang mengaku sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi ketegangan yang terjadi antar kaum Putihan sendiri, dita,bah operasi-operasi militer yang harus dilakukan oleh pemerintahan Demak Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput dari perhatian Dewan Wali.

Dewan Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi perlawanan-perlawanan sisa-sisa kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa daerah masih nekad melakukan perlawanan. Seandainya Prabhu Brawijaya, mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa Majapahit ini, maka Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang dikhawatirkan oleh Sunan Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu benar-benar dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim yang kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.

Banjir darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah Majapahit, jika sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan sisa-sisa kekuatan itu. Demi kemanusiaan, yang ‘sadar’, harus mengalah.

Disisi lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali Sangha, pasti dia akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini, setelah dipimpin oleh Sunan Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon Girang. Namun mengingat kedudukan kekhalifahan Islam di Jawa masih sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk sementara Raden Patah memendam niatannya.

Semua dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang pernah berjanji kepada Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah perpolitikan, demi untuk bisa ikut menentukan arah kebijakan Demak Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi untuk menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya untuk menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.

Sedangkan Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para santri-santrinya. Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal, diantaranya Lontang Asmara dan Sunan Panggung.

Waktu berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan dengan operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis, kesejahteraan masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, dibahaw naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti akan memberikan keberkahan, ternyata, malah membawa ke ambang ketidak pastian.

Stabilitas kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak investor yang sudah pada hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit jatuh, bukannya berubah menjadi surga, namun malah menjadi neraka.

Dan konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton memproklamirkan berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah dihancurkan oleh Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka).

Raden Patah, dibuat pusing karenanya.

Carut marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus Syeh Siti Jenar dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon Girang mulai ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.

Tahta Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu Niskala Wastu Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan Gunungjati, mendapati kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka kini dia tak lagi sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke wilayah Pajajaran. Namun, Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga, baik invasi militer maupun taktik infiltrasi seperti yang pernah dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus Pajajaran. Padahal Carbon Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten Banten. ( Banten adalah wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran Sebakingkin, putra Sunan Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten. Pangeran Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar Shashangka).

Kegagalan taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran, tidak banyak pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya Majapahit dulu. Bahkan diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit, menyokong Pajajaran.

Jalan satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa Barat, dimana dari pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian Pajajaran sebagian besar tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa Barat, dikuasai dengan paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan militer, Carbon Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya adalah melakukan blokade ekonomi!

Melihat perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama Carbon Girang sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk memindahkan pesantrennya ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk menyingkir ke basis kaum Abangan. Carbon Girang hendak beliau tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh yang dekat dengan kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan melobi hunian baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.

Seandainya beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja beliau meninggalkan Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah ‘tercerahkan’.

Menginjak awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh Sang Raja Jayadewata (1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang : Damar Shashangka), yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam menawarkan daerah Pengging sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren beliau.

Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar menjaga trah Pengging dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh Siti Jenar agar menolak tawaran tersebut. Mengingat penguasa Demak Bintara masih menganggap trah Pengging adalah bahaya laten bagi Demak Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta Majapahit, harus jatuh ke trah Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai pemerintah Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, dapat dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan dicurigai tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.

Syeh Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera mempertimbangkan akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki Ageng Pengging yang masih muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak bisa mengelak untuk menyukai sosok Ki Ageng Pengging, yang walaupun masih muda, namun sangat tinggi kedalaman ‘spiritualitas’-nya. Syeh Siti Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya beliau, Sunan Kalijaga-pun juga mengagumi pemuda ini.

Walau terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah ‘spiritualitas’. Walaupun Ki Ageng Pengging pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama.

Seringkali Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Beliau sudah menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada beda dengan Syeh Datuk Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.

Begitu juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar seolah seperti ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah kandung Ki Ageng Penggging, memang sudah wafat.

Kedekatan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging, untuk berguru kepada Syeh Siti Jenar.

Disini perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar sebenarnya adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging, walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang indah antara sahabat, ayah angkat, murid dan Guru ini memang seringkali menimbulkan salah pengertian. Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti Jenar.

Namun, gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh mata-mata Demak Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging telah masuk ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal ini, perlu diwaspadai. Sebagai seorang pemimpin politik tertinggi Demak, mau tak mau, Raden Patah harus mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.

Dan laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri, walau telah menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga menjabat sebagai Pemimpin Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis membuat Demak Bintara, walau bukan wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah beliau sebagai seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden Patah, tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.

Hal inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah Kekhalifahan Demak jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang berusaha menyerang Giri Kedhaton dengan kekuatan militer. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak akan bisa mementukan kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa pemerintahan lain dengan berselimutkan fatwa.

Namun, usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca habis-habisan oleh Kaum Putihan dikemudian hari. Mereka menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya (Kesultanan Pajang) dan Panembahan Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang menyerang Giri. Pada buku-buku kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran, kedua penguasa ini sangat-sangat dipersalahkan.

Kelak pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.

Perkembangan hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pemerintahan Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.

Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Kedatangan pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara.

Pasukan gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat kedatangan pasukan gabungan ini. Seluruh santri diultimatum untuk meninggalkan area pondok Pesantren. Namun, perlawanan terjadi. Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban dipihak santri Syeh Siti Jenar.

Pondok Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak Bintara dan Carbon berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati Demak Bintara, segera masuk ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar tinggal. Kedua ulama yang berseberangan ini bertemu dalam situasi tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.

Pondok Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi mencekam. Syeh Siti Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak diperkenankan keluar dari kediaman beliau. Status beliau sekarang adalah tahanan negara! Beliau akan diadili di Cirebon, dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian untuk ditangkap!

Tempat pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju Carbon Girang.

Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi dengan beberapa santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan Kudus agar memperkenankan dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.

Sunan Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu dalam situasi memilukan.

Syeh Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal.

Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon bernama Pakungwati, mengambil nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi Pakungwati : Damar Shashangka ). Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang dengan mengambil Masjid Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.

Syeh Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan Demak dan Carbon, segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan sangat ketat. Seluruh masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati tercekam.

Ada beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah Abang melakukan perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah mengawal Sang Syeh. Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang, ditengah kerumunan pasukan dan masyarakat yang hendak menyaksikan, segera memerintahkan agar seluruh santrinya tenang dan ridlo’. Seluruh pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat Penguasa ‘Alam.

Di Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.

Pengadilan berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Karena pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat mencekam. Penjagaan ketat terlihat disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan Carbon, melakukan penjagaan berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal Masjid. Siapapun juga!

Hampir seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan menjelang malam tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman Masjid Sang Ciptarasa. Pasukan semakin diperketat.

Dihalaman Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya, dengan kepasrahan total kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut detik-detik terakhir hidupnya.

Sunan Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas dari badan. Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu juga!

Namun terjadi keganjilan, di areal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh Lemah Abang terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi semerbak yang aneh. Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi yang menyeruak dari alam Illahi!

Seluruh yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya eksekusi mati keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang bertugas sebagai penjaga pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.

Bahkan lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus, ditengah-tengah darah yang menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar, lamat-lamat, muncul empat huruf yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH! Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini, sudah membuat beberapa Wali terjajar halus kebelakang!

Kala itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami ‘Peningkatan Kesadaran’. Batinnya sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang menarik ‘Kesadaran’ beliau. Dan Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar suara lamat-lamat, yang syahdu, berasal dari dalam jiwanya. Suara itu adalah suara Syeh Lemah Abang,…

Inilah yang beliau dengar…………..

Kinanti
 
Wau kang murweng don luhung,
atilar wasita jati,
e manungsa sesa-sesa,
mungguh ing jamaning pati,
ing reh pêpuntoning tekad,
santa-santosaning kapti.
 
Nora saking anon ngrungu,
riringa rêngêt siningit,
labêt sasalin salaga,
salugune den-ugêmi,
yeka pangagême raga,
suminggah ing sangga runggi.
 
Marmane sarak siningkur,
kêrana angrubêdi,
manggung karya was sumêlang,
êmbuh-êmbuh den-andhêmi,
iku panganggone donya,
têkeng pati nguciwani.
 
Sajati-jatining ngelmu,
lungguhe cipta pribadi,
pusthinên pangesthinira,
ginêlêng dadi sawiji,
wijanging ngelmu jatmika,
neng kaanan ênêng êning.
 
Terjemahan :
 
Dari yang sampai kepada Jalan Agung,
Meninggalkan Pesan Sejati,
Wahai manusia semua,
Pada saat kematian menjelang,
Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ),
Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..
 
Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata,
Terkecoh ajaran berbelit-belit,
Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh),
Apa yang tertulis dipercayai begitu saja,
Padahal itu hanya Ilmu Etika,
Belum menyentuh apa yang sesungguhnya.
 
Maka jangan terjebak syari’at,
Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian,
Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian,
Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani,
(Fiqh) itu Ilmu Duniawi,
Ketika meninggal tidak berguna.
 
Sesungguh-sungguhnya Ilmu,
Berada didalam Kesadaranmu sendiri,
Tingkatkan Kesadaranmu itu,
Satukan dengan Kesadaran Sejati,
Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya,
Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING).
 
Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang Kekasih Allah tersebut.
 
Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.
 
Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.
 
Keharuman nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa dihapuskan begitu saja dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian hebat fitnahan yang dilancarkan kepada beliau sesudah beliau wafat, namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh Siti Jenar tetap sebagai tokoh Agung.
 
(Tamat)
 
(13 November 2009, by : Damar Shashangka).
 
 

About admin

Check Also

Mitos Nyai Loro Kidul: Pola Kolonisasi Kaburkan Sejarah Nusantara !

Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) Siapa tak kenal tokoh ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *