Home / Relaksasi / Sejarah Surat, Sejarah Diri (versi utuh)

Sejarah Surat, Sejarah Diri (versi utuh)

“My Darling..”, ujar seorang perempuan sambil terisak.

“My heart belongs to you. No matter what you’ve done, I still love you. I love you. While you’re locked in there all those years, I’ll be locked up out here, waiting for you.”

Kalimat ini didiktekan seorang perempuan sebagai surat untuk suaminya yang di penjara. Perempuan itu memercayakan Dora, perempuan tua yang bekerja memberi jasa penulisan surat sekaligus pengiriman dengan imbalan satu dolar.

Transaksi ini berlangsung di tengah keriuhan suasana Central Station di kota Rio de Jenairo Brasil, di antara kesibukan orang-orang yang bergegas turun dan naik kereta api, pedagang-pedagang kaki lima yang memasarkan jualannya, dan pencopet yang mencuri-curi kesempatan di bawah mata petugas keamanan. Begitulah sutradara Walter Salles membuka film Central Station (1998) yang berjudul asli Central do Brasil.

Di kota Rio de Jenairo Brasil, seperti digambarkan dalam film ini, iliterasi (Buta Huruf) tak menjadi halangan bagi seseorang untuk menulis surat. Setidaknya bisa melalui perantara Dora, para pelanggan memberikan kepercayaan buta kepada Dora untuk menuliskan maksud hati mereka. Dora bisa saja menuliskan hal lain toh si pelanggan tak kan tahu.

Dora pun menuliskan banyak persoalan—yang sebetulnya merupakan persoalan-persoalan personal milik si pengirim surat dengan seseorang yang dituju—dari persoalan cinta, kabar gembira, kerinduan dan kebencian.

Sejarah Surat, Sejarah Peradaban

Umur surat menyurat setua manusia saat berbahasa dan mengenal tulisan. Di Mesir, ditemukan 15 surat peninggalan dari masa Old Kingdom (sekitar 2686-2181 SM) ke masa New Kingdom (1550-1069 SM). Surat-surat ini ditujukan dari sanak keluarga—suami, istri, anak—untuk kerabat yang baru saja meninggal. Kepercayaan orang Mesir bahwa orang yang sudah meninggal masih memiliki kekuatan. Maka mereka menulis surat dalam sebuah mangkuk, papyrus, atau kain linen yang ditaruh di dalam kuburan mumi. Isi surat tak hanya keinginan untuk tetap terhubung setelah dipisahkan kematian. Namun juga permintaan agar orang yang telah meninggal tersebut tetap ikut terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan duniawi.

Beralih ke zaman Victorian abad 18 di Eropa kegiatan surat menyurat tak hanya sebagai cara berkomunikasi. Tapi juga menjadi suatu tradisi hingga bahkan menjadi sebuah seni. Seni dalam menghias amplop dengan pernak pernik semacam pita, membuat kertas surat menjadi wangi dengan campuran 100 tetesan minyak esensial dari wangi bunga ditambah sedikit alkohol, lalu menguncinya dengan sealing wax agar surat terlindungi kerahasiaannya. Isi surat mulai dari bertukar kabar keseharian, resep masakan, hingga sebuah lamaran. Bahasa sebuah surat menjadi pertimbangan keluarga dalam memutuskan penerimaan atau penolakan lamaran tersebut.

Mengutip Thomas Mellon, seorang penulis Amerika dalam bukunya Yours Ever, People On Their Letter (2009) bahwa surat merupakan denyut nadi dari sejarah, detak jantung sebuah biografi. Hal inilah yang memicu Mellon untuk mengumpulkan, menganalisa dan membaca surat korespondensi pemikir besar di antaranya Sigmund Freud dan Carl Jung,  Novelis dunia Gustave Flaubert dan George Sand (Amandine Aurore Lucile Dupin), dan membuka kedalaman hubungan Jessica Mitford dan suaminya.

Mallon berduka akan tulisan tangan yang sudah ditinggalkan banyak orang sekarang ini. Menurutnya tulisan yang kita ketik dengan komputer sangat tidak personal. Karena merusak keingintahuan kita untuk mengenali keunikan seseorang yang bisa diawali melalui tulisannya. Tulisan tangan setiap orang merupakan gambaran kehadiran seseorang yang mencirikan keunikan orang tersebut. Hal ini tidak bisa digantikan betapapun komputer kita menyediakan berbagai jenis pilihan huruf. Tak ada keintiman karena  membuat semua orang menjadi seragam.

Please keep me alive with letter,” tulis V.S Naipaul tahun 1952 ditujukan untuk saudarinya Kamla di Trinidad. Saat itu Naipaul berada di Oxford hancur karena sembilan belas kali penolakan untuk novel pertamanya, Naipaul amat sangat kesepian hal ini menyebabkan dia mengalami nervous breakdown.

Surat Untuk Sang Presiden

Peter Lom sutradara film dokumenter asal Canada membuat film berjudul Letter to the Pressident yang diputar pertama kali di Berlinale Film Festival 2009. Peter Lom mengikuti kunjungan Ahmadinejad presiden Iran sepanjang tahun 2008 ke beberapa desa basis pendukungnya. Penduduk-penduduk itu menuliskan surat untuk presiden mereka. Saat Ahmadinejad tiba masyarakat berlomba-lomba menyampaikannya secara langsung. Sambil berdesak-desakan diantara kerumunan dan melewati pengawalan ketat pengawal presiden. Dalam kunjungan sepanjang tahun itu presiden menerima banyak surat, pemerintah Iran mengklaim sebanyak 10 juta surat.

Surat-surat itu berisi keluh kesah, seorang ibu yang meminta Ahmadinejad mendatangkan Strawberry karena putri kecil perempuan itu sangat menginginkan buah tersebut, atau seorang lelaki yang meminta uang untuk membeli kambing, dan seorang kakek yang tengah dirundung kesedihan karena sang cucu meninggal dalam perang. Satu-satunya yang dimiliki oleh kemiskinan hanyalah cerita dan itu satu-satunya yang bisa dibagi. Cerita keseharian yang dianggap remeh temeh.

Dalam prakteknya hanya sedikit sekali dari sekian banyak surat yang bisa terealisasi. Karena itu bagi masyarakat kota yang lebih berpendidikan dan berkecukupan menganggap bahwa menulis surat pada Ahmadinejad merupakan tindakan bodoh. Bagi mereka tindakan itu merupakan kemunafikan dan propaganda politik belaka.

Bagi orang-orang yang bisa mengurus dirinya sendiri tentu tak butuh presiden. Sedangkan bagi orang-orang yang terkunci oleh sistem yang memiskinkan mereka satu-satunya harapan ialah seorang pemimpin. Mereka mungkin dikecewakan oleh penantian tapi tak membuat mereka kehilangan harapan. Setidaknya mereka masih berniat mempunyai kepercayaan terhadap presidennya. Seperti Naipaul mereka ingin membuat dirinya tetap bertahan hidup untuk surat-surat itu.

Saat kita memegang pena lalu jari-jari kita menuliskan berbagai bentuk huruf, kita melihat diri kita di situ. Kesadaran menghadirkan sosok diri yang menuntut kesungguhan dan ketelitian. Kita  tak ingin mencorat-coret kalimat yang salah lalu membuat wajah surat tampak kotor—tak segampang menekan tombol delete atau copy paste—kita lebih memilih untuk mengulang lagi dari awal.

Teknologi dengan dalil kepraktisannya dijadikan keniscayaan, karenanya kita menyimpan kekecewaan dan mengunci kesedihan di dalam diri. Kadang disadari atau tidak kegelisahan jiwa tersebut terlepas menjadi status Facebook yang deras, hingga kita tak mengenali kembali perasaan-perasaan itu. Semua tampak serupa, semua tampak sama. Harapan semakin tak terjangkau. Kepada siapa kepercayaan bisa kita beri? Dan di manakah akan kita tulis detak jantung biografi diri? (*)

Oleh: Fanny Chotimah, Komunitas Perempuan Jejer Wadon, Solo.

About admin

Check Also

Bahaya Menebar Fitnah

“Memfitnah lebih kejam daripada membunuh” Oleh: Admin بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ ...