Seperti diceritakan dalam tulisan sebelumnya, Mohammad Hatta menolak bujukan Theosofi agar ia mau bergabung sebagai anggotanya. Dengan dalih bahwa Theosofi bukanlah agama, melainkan sebuah perkumpulan persaudaraan, tokoh Theosofi kala itu yang bernama Ir. Fournier terus meyakinkan Hatta agar masuk dalam perkumpulan yang didirikan oleh Madame Blavatsky ini. Untung saja Mohammad Hatta tak mau bergabung, dengan alasan ia taat kepada Islam. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya kemudian, ketaatan Hatta terhadap Islam dipertanyakan, karena memberi andil bagi terhapusnya Piagam Jakarta, yang merupakan tonggak awal penegakkan syariat Islam di Indonesia.
Propaganda bahwa Theosofi bukanlah sebuah agama hanyalah kedok belaka dari upaya merusak keyakinan agama-agama yang ada. Perhatikanlah apa yang dinyatakan oleh salah seorang tokoh Theosofi, Annie Besant, sebagaimana dikutip dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia tahun 1930. Ia menyatakan, “Kami berseru kepada kalian semua, marilah kita bekerjasama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama kemerdekaan, di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita punya haluan...”
Pernyataan Annie Besant seolah bagus, bahwa Theosofi adalah perkumpulan yang terdiri dari beragam agama yang bertujuan menyebarkan ketentraman dan kemerdekaan. Namun, ujung dari semua itu adalah menihilkan klaim keyakinan mutlak terhadap masing-masing agama. Selama tiap agama mengabdi kepada ketentraman, persaudaraan, dan perdamaian, maka pada hakikatnya semua agama sama. Inilah maksud dari propaganda Theosofi itu. Kita digiring pada pemahaman bahwa semua agama sama benar, dan tidak boleh ada yang merasa paling benar.
Senada dengan Besant, Madame Blavatsky yang mendapat julukan Sang Guru dari para anggota Theosofi mengatakan bahwa Theosofi adalah The Wisdom Religion (Agama Kearifan) yang berusaha menyatukan semua agama-agama yang ada dalam sebuah “kesatuan hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusian. Jadi, ukurannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, yang menjadi doktrin tertinggi dalam pengabdian hidup Theosofi. Karena itu, pada akhirnya, semua ajaran agama yang tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusian, tidak sesuai dengan konvensi internasional, mengancam persaudaraan antar bangsa dan lain-lain, harus dihapuskan. Inilah tujuan sesungguhnya di balik pemahaman Theosofi itu. Karenanya, apa yang dikatakan oleh Ir. Fournier kepada Mohammad Hatta bahwa Theosofi justru akan menguatkan pandangan keislaman, itu hanya tipuan belaka. Tepat sekali jika Hatta menulis sub bab dalam biografinya dengan judul “Bujukan Theosofi”, karena yang namanya bujukan terkadang mengajak pada sesuatu yang di luar kenyataan.
Meski gagal membujuk Hatta masuk dalam perkumpulan Theosofi, namun para propagandis Theosofi tak patah arang untuk mendekati Hatta. Diantaranya dengan mengajaknya masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh para aktifis Theosofi di Hindia Belanda kala itu. Beberapa peneliti tentang Gerakan Theosofi dan Freemason, seperti Sejarawan Ridwan Saidi dan A.D El-Marzededeq, menyebut Dienaren van Indie tak lebih dari kepanjangan tangan organisasi Vrijmetselarij (Freemason) dan Theosofi.
Dalam Memoir Mohammad Hatta diceritakan, “Aku diundang menghadiri suatu pertemuan, yang diadakan semalam sebelum aku berangkat ke Sumatera Barat dan seterusnya ke negeri Belanda. Dari Jong Sumatrenan Bond, selain Amir (Mohammad Amir, red) dan aku, diundang juga Bahder Djohan dan Nazif. Beberapa orang dari Jong Java, selain dari Basuki, aku lupa namanya. Malam itu juga, berdasarkan cita-cita persatuan, tolong menolong dan persaudaraan, didesakkan berdirinya “Orde Dienaren van Indie”. Pada berdirinya Orde Dinaren van Indie itu diajarkan dan dilaksanakan sekaligus ritual-ritual yang dilakukan pada pembukaan dan penutupan rapat atau pertemuan. Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 11 malam…” demikian cerita Hatta.
Dalam catatan otobiografinya di atas, Hatta menyebutkan bahwa pada berdirinya perkumpulan Dienaren van Indie, diajarkan dan dilaksanakan ritual-ritual. Apa ritual-ritual yang dimaksud? Mengingat Theosofi juga mengajarkan okultisme (ilmu gaib), maka bisa jadi yang dimaksud ritual-ritual itu adalah ritual khas Theosofi yang sangat klenik dan berbau mistis. Karena Theosofi sangat kental dengan pengaruh ajaran esoteris khas Yahudi, seperti Kabbalah. Ritual Theosofi dan Freemason yang sangat mistis inilah yang kemudian pada masa lalu orang-orang pribumi menyebut gedung tempat berkumpulnya dua organisasi ini sebagai “Gedong Setan”.
Mohammad Hatta, yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, memang lepas dari bujukan Theosofi. Ia kemudian berangkat ke negeri Belanda untuk memperoleh beasiswa dari Van Daventer Stichting (Yayasan Van Daventer), sebuah yayasan yang mengambil nama seorang tokoh Politik Etis. Namun beasiswa itu gagal diperolehnya. Sementara itu, Hatta menceritakan, “Aku juga menerima sepucuk surat dari Ir. Fournier, kepala gerakan Theosofi di Indonesia. Ia akan datang pada bulan Juli 1923 di Nederland dan ingin bertemu dengan aku. Bersama dia akan datang juga Ir. Van Leeuwen. Itulah surat pertama yang ku terima dari Ir. Fournier selama dua tahun aku berada di Eropa..”
Setelah kedua tokoh Theosofi yang dikenalnya sejak di Indonesia tiba di negeri Belanda, Hatta kemudian menemuinya. Ia bertemu dengan Ir. Fournier dan Van Leeuwen di Den Haag. Entah ada maksud tertentu atau tidak, kedua tokoh Theosofi ini tak lelak mendekat Hatta. Setelah Hatta menceritakan kegagalannya mendapat beasiswa dari Van Daventer Stichting, Ir. Van Leeuwen kemudian mengusahakan beasiswa bagi Hatta sampai benar-benar ia memperolehnya. Alhasil, atas usaha Van Leeuwen, Hatta mendapat beasiswa selama tiga tahun.
Mohammad Hatta memang lepas dari bujukan Theosofi, namun ia tidak bisa luput dari perhimpunan Dienren van Indie yang didirikan oleh para aktifis Theosofi. Catatan Hatta berikut ini akan memberikan gambaran kepada pembaca sekalian, bahwa Hatta adalah anggota Dienaren van Indie. Hatta menceritakan perpisahannya dengan dua tokoh Theosofi, Ir. Fournier dan Ir. Van Leeuwen, di negeri Belanda, dengan menulis, “Rupanya kami tidak bertemu lagi sebelum mereka berangkat ke Indonesia. Lalu kami bersalam-salaman secara persaudaraan, menurut dasar D.I (Dienaren van Indie) dengan mengulurkan kedua belah tangan…” tulis Hatta.

Apa yang dimaksud oleh Hatta dengan bersalam-salaman secara persaudaraan menurut dasar Dienaren van Indie? Apakah sama dengan jabat tangan ala Freemason, mengingat Dienaren van Indie juga dibentuk oleh aktifis organisasi ini? Perkara sepele ini menjadi pertanyaan besar, mengingat Hatta adalah tokoh besar bangsa ini. Dan sejarah adalah rangkaian peristiwa yang saling mengait, kemudian terhimpun menjadi sebuah fakta sejarah. (Bersambung)
Artawijaya
Penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia.”
Sumber : http://www.eramuslim.com/