Home / Agama / Kajian / Sejarah Abah Umar dan Wirid Syahadatain (Bagian 2)

Sejarah Abah Umar dan Wirid Syahadatain (Bagian 2)

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Wasshalaatu wassalaamu ‘alaa Muhammadin wa aalihi ma’at tasliimi wabihii nasta’iinu fii tahshiilil ‘inaayatil ‘aammati wal-hidaayatit taammah, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin”.

Saudaraku, sebagaimana kita pahami bersama bahwa sejarah perjalanan nama “Asy-Syahadatain” begitu pelik. Dimulai dari hanya sekedar metodologi berdzikir, lalu dipakai menjadi nama sebuah pengajian, kemudian berubah lagi hingga akhirnya dideklarasikan sebagai organisasi tarekat.

Terlepas dari kontroversi keotentikannya sebagai organisasi tarekat, yang memiliki karakteristik jaringan masyaikh yang disebut sanad silsilah keilmuan dan biasanya berafiliasi pada salah satu tarekat mu’tabarah yang telah ada secara turun-temurun di dunia Islam, Abah Umar dengan “Asy-Syahadatain”-nya tidak bisa begitu saja dipandang sebelah mata.

Faktanya, beliau telah berhasil (dengan izin Allah tentunya) mendakwahkan kepada masyarakat apa-apa yang secara prinsipil diorientasikan oleh seluruh tarekat, yakni prinsip ibadah amaliyah yang diorientasikan hanya untuk mencapai Tuhan. Ditambah lagi, beliau juga seorang yang berpegang teguh terhadap kebenaran yang tercermin dari sikapnya memperbaiki kondisi masyarakat yang tak beradab dan sikapnya melawan penjajah Belanda. Setidaknya, dari situlah nilai-nilai filosofis Asy-Syahadatain ditegakkan.

Pelembagaan Asy-Syahadatain

Pada Tahun 1947, Abah Umar memperkokoh pengajiannya menjadi sebuah organisasi yang namanya tetap memakai “Asy-Syahadatain”. Izin keorganisasiannya didapatkan langsung dari presiden Soekarno. Hal ini disebabkan oleh situasi yang terjadi saat itu, yang mengharuskan izin bagi setiap perkumpulan dengan banyak orang. Jika perkumpulan itu tanpa legalitas organisasi yang jelas, maka dapat dikategorikan sebagai usaha pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Setelah mendapatkan izin, Asy-Syahadatain semakin terlihat bentuknya dan mulai menyusun haluan organisasinya. Dari situlah muncul gagasan bahwa Asy-Syahadatain harus ditetapkan sebagai organisasi tarekat dengan nama “Tarekat Asy-Syahadatain”. Di tahun itu pula nama Asy-Syahadatain dideklarasikan langsung oleh Abah Umar menjadi nama “Tarekat Asy-Syahadatain” dengan mursyidnya Abah Umar sendiri. Setelah itu, jama’ah yang datangpun semakin ramai. Bahkan tak sedikit pula yang berasal dari mancanegara.

Memperhatikan fenomena “Tarekat Asy-Syahadatain” yang semakin populer, para kiyai di tanah Jawa gusar. Para kiyai mengkhawatirkan para santrinya terbawa oleh “Tarekat Asy-Syahadatain” pimpinan Abah Umar. Kegusaran para kiyai ini menjadi celah untuk diadu domba. Kegusaran para kiyai pun memuncak, sehingga  berkumpul untuk menyatakan bahwa ajaran Abah Umar dengan “Tarekat Asy-Syahadatain”-nya dinyatakan sesat.

Kekisruhan itu dibawa ke Pengadilan Agama. Abah Umar didakwa di sidang pengadilan yang “dikuasai” para kiai tersebut dan dinyatakan bersalah. Dalam proses peradilan, Abah Umar tidak mendapatkan pembelaan dan penjelasan apapun. Akhirnya, Abah Umar dipenjara bersama beberapa murid-muridnya termasuk KH. Idris Anwar selama 3 bulan. Namun belum genap tiga bulan, Abah Umar sudah dibebaskan karena sipirnya banyak yang bai’at syahadat kepada Abah Umar.

Malam Pelantikan

Pada tahun 1950, Abah Umar menyelenggarakan tawassulan secara berjama’ah untuk pertama kalinya. Pada malam itu, Abah Umar kedatangan beberapa “tamu agung”. Dengan izin Allah, fenomena kehadiran “tetamu agung” itu dapat disaksikan secara batin oleh beberapa santri sahabat yang diantaranya adalah KH. Soleh bin KH. Zaenal Asyiqin. Menurut kesaksian ‘ainul bashirah’-nya, para tamu yang disebut sebagai “tamu agung” tersebut datang menyematkan gelar kepada Abah Umar.

Para “tamu agung” tersebut diantaranya adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, beliau menyematkan gelar kepada Abah Umar dengan sebutan Syekh Hadi. Kemudian diiringi pula oleh malaikat jibril dan memberinya gelar Syekh ‘Alim. Kemudian disusul Siti Khadijah al-Kubra memberi gelar Syekh Khabir. Disusul Siti Fatimah Azzahra memberi gelar Syekh Mubin. Kemudian Sayyidina Ali memberi gelar Syekh Wali. Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberi gelar Syekh Hamid. Syarif Hidayatullah, Gunung Jati memberi gelar Syekh Qawim. Dan yang terakhir Nyi Mas Ayu Gandasari datang dengan memberi gelar Abah Umar sebagai Syekh Hafidz.

Dengan munculnya fenomena tersebut, KH. Soleh menuturkan bahwa tawassulan pada malam itu bukan hanya semata-mata amaliyah dzikir, tapi suatu malam istimewa, yakni malam pelantikan dinobatkannya Abah Umar sebagai Wali Khalifaturrasul wa Shahibuzzaman (mengenai makna dari istilah itu akan ada penjelasan tersendiri). Sehingga perkembangan wiridnya pun semakin hari semakin bertambah sesuai dengan yang diwahyukan oleh Allah.

Pada tahun 1953, Abah Umar mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (Muludan) untuk pertama kalinya di panguragan. Acara Muludan yang pertama itu semakin menegaskan Abah Umar sebagai seorang guru Mursyid dengan tarekatnya yang bernama Asy-Syahadatain. Acara itu semakin menunjukkan popularitas Abah Umar dengan jumlah pengikut yang semakin besar. Bahkan tamu yang hadir saat itu tak sedikit pula ada yang berasal dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Brunnei, dst.

Sebagai seorang guru tarekat, Abah Umar banyak menuntun para muridnya untuk beribadah dan berdzikir (wirid) dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Status sebagai seorang guru pun tidak membuat Abah Umar menjadi jumawa. Beliau tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaniyahnya. Layaknya masyarakat umum, beliau juga bertani, berkebun, dan beternak kambing.

Pembekuan Aktifitas

Pada tahun 1960-an, Jamaah Tarekat Asy-Syahadatain dibekukan pemerintah karena dianggap meresahkan masyarakat. Alasan pembekuan tersebut hanya didasarkan pada dugaan dan laporan seorang pejabat yang menyatakan bahwa tuntunan tawassul Abah Umar dianggap menyesatkan. Namun, hal itu dapat diselesaikan melalui musyawarah para ulama se-Nusantara dengan para ulama Jamaah Tarekat Asy-Syahadatain (ijtima’ Ulama). Musyawarah Ulama itu menetapkan bahwa tidak ada satu tuntunanpun yang diajarkan oleh Abah Umar sebagai ajaran sesat. Semua tuntunan dzikir hingga tuntunan amaliyah afradiyyah sehari-hari tidak ada yang menyimpang. Kesepakatan para ulama itu mendorong Jama’ah Tarekat Asy-Syahadatain untuk terus melanjutkan aktifitasnya hingga saat ini.

Untuk mencegah berbagai fitnah, sekaligus penegasan akan kelurusannya, pada tahun 1971 tarekat ini bergabung dengan organisasi di bawah naungan Partai Golongan Karya (GUPPI) era Orde Baru dan bersama dengan tarekat lain membangun kesejahteraan Negara.

Dibandingkan tarekat lain, yang lahir dan tumbuh di Timur Tengah, keberadaan Tarekat AsySyahadatain justru memiliki kekhasan tersendiri. Ia lahir, tumbuh dan berkembang di Nusantara, tepatnya di Panguragan, Cirebon, Jawa Barat. Hanya saja, tarekat AsySyahadatain belum termaktub dalam kelompok Jamaah Tarekat alMuktabarah anNahdliyah. Sehingga ia dikategorikan sebagai tarekat ghoiru mu’tabarah atau thariqah khasshah.

Dalam menjalankan amaliyah dzikir, Jamaah Tarekat Asy-Syahadatain mentradisikan berpakaian serba putih dan bersurban. Bahkan ketika melaksanakan shalat maktubah dan shalat sunah, pakaian serba putih dan bersurban dijadikan sebagai ajaran yang sangat dianjurkan. Tuntunan aurad, dzikir, tawassul, bai’at dan adab-adab bertarekat, sebagaimana metode yang diajarkan pada tarekat lain, juga diajarkan di Tarekat Asy-Syahadatain.

Menjelang Wafat

Pada tahun 1973-an Masjid Abah Umar kedatangan khodim baru yang bernama Mar’i. Khodim adalah seorang pelayan atau marbot yang biasanya menjaga dan memelihara kebersihan Masjid. Khodim ini juga bertugas  dan menjadi pelayan di dalam lotengnya Abah Umar.

Pada suatu hari, ia mengambil kayu pentungan kentong masjid dan tiba-tiba memukulkannya kepada Sirah Abah Umar. Peristiwa itu menyebabkan Abah Umar pingsan dan dibawa ke rumah sakit di bandung untuk dirawat. Setelah beberapa waktu dirawat di rumah sakit, Abah Umar sempat dawuh dengan membaca potongan ayat Al-Qur’an:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ

“Innalladzîna faradha ‘alaikal qur’ãna larãdduka ilã ma’ãd…”

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (QS. al-Qashash: 85)

Jika dilanjutkan, potongan ayat tersebut selengkapnya berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗقُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ  ۞

“Innalladzîna faradha ‘alaikal qur’ãna larãdduka ilã ma’ãd, qur-rabbî a’lamu man jã’a bil-hudã wa man huwa fî dhalãlim mubîn”

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”. (QS. al-Qashash: 85)

Dengan dawuhnya Abah Umar tersebut membuat para kiyai yang menyaksikannya bersedih. Ternyata justru dawuhnya Abar Umar itu merupakan pertanda Abah Umar akan Kesah (pergi) meninggalkan dunia fana. Abah Umar kemiren (wafat) pada tanggal 13 Rajab 1393 H. / 20 Agustus 1973 M.

 

About admin

Check Also

Meraih Rahmat dengan Fitnah

“Setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai ...