Ki Ageng Suryomentaram
Sebab dan akibat merupakan kelanjutan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain yang berurutan dalam dimensi waktu. Peristiwa yang pertama disebut sebab, dan peristiwa berikutnya disebut akibat. Jadi peristiwa pertama dianggap menimbulkan peristiwa berikutnya. Misalnya cangkir jatuh lalu pecah. Jatuh dinamakan sebab, sedangkan pecah dinamakan akibat. Jadi si jatuh dianggap menimbulkan si pecah.
Sebab dan akibat adalah sesuatu yang abstrak, artinya tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Yang dapat ditangkap oleh pancaindera adalah si jatuh dan si pencah. Jadi sebab dan akibat tidak terdapat dalam barang (benda), tetapi terdapat dalam pengertian atau rasa.
Oleh karena yang dapat mengerti dan merasa adalah orang, maka sebab dan akibat terdapat dalam orang. Jadi sebab dan akibat adalah rasa orang yang menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Jadi sebab dan akibat adalah tindakan orang yang menyatukan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Jika demikian sebab dan akibat merupakan satu hal tetapi wujudnya dua kejadian. Agar lebih jelas diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya buah mangga jatuh di tanah kemudian tumbuh jadi pohon mangga. Melihat kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam buah mangga tersebut sudah ada benih pohon mangga. Jika di dalam buah mangga tidak ada benih pohon mangga, maka buah mangga tidak akan tumbuh menjadi pohon mangga. Pohon mangga jika sudah dewasa menghasilkan buah mangga. Melihat kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam pohon mangga sudah ada benih buah mangga. Jika di dalam tidak ada benih buah mangga, pohon mangga tidak dapat berbuah mangga.
Dalam peristiwa tersebut di atas terjadi peristiwa silih berganti antara buah mangga, pohon mangga, buah mangga, pohon mangga dan seterusnya. Apabila sebab dan akibat dikira dua hal akan timbul pertanyaan, “Manakah yang lebih dulu buah mangga atau pohon mangga?”
Jika orang mengerti bahwa sebab dan akibat itu merupakan satu hal, maka dua kejadian tersebut, yaitu buah mangga dan pohon mangga merupakan dua wujud yang sebetulnya satu hal yaitu sebab dan akibat.
Jika sebab dan akibat dikira merupakan dua hal, orang akan bingung, sebab orang akan menjadi senang kepada akibatnya tetapi benci kepada sebabnya atau benci akibatnya tetapi senang akan sebabnya.
Misalnya bab kaya. Kaya yang dimaksud di sini bukan karena mendapat undian uang banyak atau mendapat warisan banyak dari orang tua, tetapi dari hasil usaha sendiri. Kaya adalah akibat yang disebabkan oleh karena rajin dan hemat.
Jika sebab dan akibat dikira merupakan dua hal, maka orang akan senang menjadi kaya tetapi benci kepada rajin dan hemat, atau mengejar kaya tetapi menghindari rajin dan hemat.
Mengejar kaya tetapi menghindari rajin dan hemat adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai, sama halnya dengan kucing yang mengejar ekornya. Sama pula halnya dengan benci dan menghindari miskin, tetapi senang dan mengejar malas dan boros. Malahan malas dan boros itu menjadi cita-cita.
Cita-cita malas itu dalam hatinya berkata, “Kalau aku kaya tidak akan bekerja.” Rasa demikian itu adalah rasa miskin. Meskipun kerja keras, tetapi jika rasanya malas, orang hanya akan mengejar akibat, yaitu kaya dan merasa tidak senang kerja keras.
Demikian pula jika boros menjadi cita-cita. Boros adalah kebalikan dari hemat. Hemat berarti memelihara barang-barang kebutuhan hidupnya dengan baik sedang boros berarti memelihara barang-barang kebutuhan hidupnya kurang baik.
Rasa hemat disebabkan karena mengerti kebutuhan hidup. Meskipun kaya, orang sering tidak mengerti akan kebutuhan hidupnya sehingga salah menggunakan kekayaannya yaitu dipergunakan untuk mencari kehormatan dan kekuasaan.
Jika barang-barang digunakan untuk kehormatan dan kekuasaan, orang tidak merasa cukup dan merasa miskin sebab orang akan berebutan barang-barang untuk kehormatan dan kekuasaan. Jadi apabila barang-barang digunakan untuk kebutuhan hidup, kebutuhan raga (jasmani), orang akan merasa cukup dan apabila digunakan untuk kebutuhan jiwa, kehormatan dan kekuasaan, tidak akan merasa cukup.
Jadi rajin adalah rasa senang bekerja tanpa mengharapkan akibatnya, sebab orang sudah jelas akan akibatnya seperti seorang tukang kayu yang membuat meja dari kayu. Jika semua sarana dan pengetahuannya sudah siap, tukang kayu tersebut segera bekerja tidak mengharapkan akibatnya, sebab mengerti bahwa akibat dari perbuatannya, meja tersebut tentu akan jadi.
Jika mengerti bahwa sebab dan akibat merupakan satu hal, orang akan bebas dari rasa mengejar akibat, seperti halnya orang makan tidak mengejar kenyang, sebab sudah mengerti bahwa kenyang tentu akan terjadi jika makan banyak. Jadi kebebasan tersebut terjadi karena mengerti.
Bebas dari rasa mengejar akibat, menyebabkan orang melihat rasa sendiri yang mengejar akibat dalam berbagai macam hal. Padahal rasa mengejar akibat tersebut menimbulkan perang batin. Oleh karena itu perang batin akan lenyap jika rasa mengejar akibat ketahuan sebelumnya.
Orang ingin damai dan tidak bertengkar dengan orang lain. Jika tidak mengerti rasa bertengkar atau rasa damai dan jika tidak mengerti bahwa sebab dan akibat merupakan satu hal, orang akan mencari damai dengan cara kekerasan.
Mencari damai dengan kekerasan inilah yang menyebabkan orang memaksa anaknya agar senang damai dengan cara dimarahi atau dipukul, atau orang yang ingin damai dengan orang lain dengan cara mengejek orang lain, atau golongan yang satu ingin damai dengan golongan yang lain dengan cara mengancam, atau bangsa yang ingin damai dengan bangsa lain dengan cara mengebom. Padahal memarahi, memukul, mengejek, mengancam ataupun mengebom adalah bertengkar, bukan damai.
Demikianlah juga orang bertengkar dengan pendapatnya sendiri atau yang dinamakan perang batin.