Home / Relaksasi / Renungan / Seandainya Allah pun ‘Berlebaran’
Gambar: okezone.com

Seandainya Allah pun ‘Berlebaran’

Sesama ummat kita telah bersama-sama menjalani Idul Fitri, meskipun harinya bisa berbeda. Kita telah berupaya membersihkan diri satu sama lain dengan cara saling memaafkan.

Idul Fitri telah membuat sifat kebersamaan sosial kita menjadi lebih dari sekadar community atau society: kita menjadi ummah.

Ummah atau ummat adalah suatu konsep dengan tatanan kuantitatif dan persyaratan kualitatif yang berbeda dengan jenis-jenis ‘perkumpulan manusia’ lain yang dikenal dalam sejarah. Ummat mengandal­kan suatu kohesi, perhubungan yang rekat dan memiliki daya tarik menarik, yang disifati oleh sejumlah nilai Allah: kesederajatan antar manusia, kebenaran nilai, kadilan realitas, dan kebaikan akhlak. Tolok ukur derajat manusia hanya satu: bahwa di mata Allah yang paling bertakwalah yang tertinggi. Itu ukuran yang sangat kualitatif, sangat ruhaniah, di mana mata pandang sosial budaya antar manusia hampir-hampir tak mampu melihatnya.

Kalau di antara suatu komunitas muslimin ada kedudukan dan fungsi-fungsi yang membuat seseorang menindas dan yang lainnya ditindas, maka konsep ummah belum terpenuhi. Wallahu a’lam apakah secara ‘mutu’ kita telah sungguh-sungguh beridulfitri atau belum, tapi memang berlalunya hari raya demi hari raya selama ini belum cukup mengubah perhubungan-perhubungan sosial yang eksploitatif, diskriminatif, dan represif di antara kaum muslimin sendiri.

Kita berbahagia melalui Idul Fitri kali ini bersama sekalian sanak saudara dan teman-teman sekampung atau seprofesi, namun diam-diam kita juga tetap harus memelihara kepekaan terhadap sejumlah hal yang memprihatinkan. Justru sensibilitas semacam itulah yang mendorong menaiknya tingkat Idul Fitri kita.

Oleh karena itu, di samping beridulfitri sebagai ummat, pertanyaan tafakkur kita adalah seberapa jauh kita — sebagai pribadi-pribadi — telah sungguh-sungguh mengupayakan conditioning peridulfitrian dalam kehidupan kita masing-masing.

Biasanya, pada hari-hari besar dan khusus, terutama Idul Fitri dan tahun baru, seharian saya bengong saja dan mengunci pintu di rumah kontrakan saya di Yogya.

Entah kenapa. Mungkin karena saya merasa “tidak berhak” atas hari besar itu. Pertama tidak berhak secara sosial: di mana-mana orang sibuk dengan sanak saudara dan pesta di lingkungannya masing-masing, sementara di Yogya saya ini lara lapa kabur kanginan. Kata orang Melayu: sebatang kara. Kalau saya keluar rumah, saya takut orang-orang yang kenal saya akan merasa terfetakompli untuk melibatkan saya dalam kesibukannya. Maka saya ngeleng saja di bilik kumuh lembab saya. Syukur kalau ada sisa makanan dan minuman, sebab pada Hari Raya biasanya susah cari warung. Kalau tidak, ya saya ‘puasa’ artinya, mangan hawa dan asap rokok.

Kemudian kedua, mungkin secara pribadi saya merasa “belum lulus untuk ikut beridulfitri”. Dosa-dosa saya terlalu bertumpuk untuk bisa saya saponi hanya dengan puasa satu bulan.

Memang saya boleh ‘bermanja’ kepada Tuhan seperti Syekh Abu Nawas: “Hamba ini ‘dak cocok masuk surga, tapi kalau Kau masukkan ke neraka ya jangan dong…”

Lantas sehari sesudah Idul Fitri saya akan pasti beredar ke mana saja menemui siapapun untuk minta maaf. Tapi saya juga tetap saja takut kepada pandangan mata orang. Dari kilatan mata seseorang dan dari guratan urat saraf di wajahnya serta dari cara badannya bergerak di depan saya, sering saya rasakan bahwa di dalam dirinya tetap ada ‘kamar gelap’ yang saya tak bisa menjamin. Saya sangat takut dan sedih bergaul dengan rasa tak enak di hati orang, apalagi dengan rasa dengki, iri, benci atau cara-cara lain yang termuat di balik sopan santun sikapnya.

Ini bukan sangka buruk. Mungkin ini sekadar efek dari pengalaman hidup saya yang ribuan kali ditikam dari belakang oleh hal-hal semacam ini justru untuk menyatakan bahwa bagi saya memaafkan orang lain adalah kontrak seumur kidup. Namun pada saat yang sama saya takut orang lain tak sungguh-sungguh memaafkan saya, meskipun saya sudah menyatakan permohonan maaf berulangkali. Ah, hidup ini memang gampang-gampang susah. Namun semoga akhirnya bisa berubah menjadi susah-susah gampang.

***

Maka pada suatu Hari Lebaran biasanya saya ‘melampiaskan’ kepasrahan saya kepada Tuhan. Tapi salah satu hasilnya adalah ketakutan yang meningkat kepada-Nya.

Saya bayangkan kalau Allah ‘ikut berlebaran’, bagaimana nasib saya dan kita semua. Kalau Tuhan tak berpuasa lagi, habislah kita. Kalau Ia tak menahan diri, mampuslah kehidupan kita.

Kalau Allah tak menahan diri sekarang ini untuk menghukum kekufuran kita, apa jadinya. Bagaimana kalau mendadak mata kita jadi buta. Lumpuh tangan dan kaki kita. Gelombang yang kemarin bisa kita atur, kini memberontaki kita dengan menciptakan ombak-ombaknya sendiri. Jaringan yang selama ini kita kendalikan, bergeser-geser mengepung kita. Dunia dan alam, yang terletak sebagai alam itu sendiri maupun yang berlangsung dalam ekosistem masyarakat manusia mbalela kepada kedaulatan dan kekuatan yang selama ini kita monopoli.

Allah berkata: “Hamba-hamba-Ku yang dilemahkan di muka bumi, akan Aku tolong, Aku angkat untuk mengambil alih kepemimpinan, dan Aku jadikan mereka pewaris dari kekuatan-Ku.”

Ya Jalil! Kalau Allah ‘berbuka dari puasa-Nya’ hari ini dengan melaksanakan pernyataan-Nya itu, kita akan bagaimana. Kita yang sudah jadi raja, baik raja besar maupun raja kecil di lingkungan lokal kita — akan bagaimana. Terjerembablah kita dari singgasana. Anak-anak sejarah yang jatah makan minum dan hak asasinya kita musnahkan, akan berduyun-duyun menuding, menagih dan mempermalukan kita. Lidah kita akan menjadi kelu. Lutut kita gemetar. Wajah kita tertunduk. Jantung kita bisa berhenti pada momentum kesengsaraan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Dan anak-anak kita, famili, cucu-cucu dan handai tolan yang selama ini ikut menjilati kekuasaan kita — betapa nasib mereka!

Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, lindungilah hamba dan kami semua. Bantulah kami mengidulfitri di lutut kuasa-Mu. Wa la aqwa ‘ala nariljahim. Di neraka, tak kuat hamba ya Rabbi!

Muhammad Ainun Nadjib, www.caknun.com

About admin

Check Also

Wirid Sakran

“Thariqah Ba’alawiy sudah biasa mengamalkan di dalam kehidupan sehari-hari”. Oleh: H. Derajat Asysyathari* بِسْمِ اللّٰهِ ...