“Cinta kepada Tuhan dan cinta kepada hamba keduanya serupa tapi tak sama.”
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, cinta adalah sebuah keindahan dalam diri manusia yang tak terdefinisikan. Dengan cinta, Tuhan memelihara alam ini sehingga berlangsung dengan penuh kelembutan dan keteraturan.
Allah SWT menyampaikan pesan tentang cinta dalam al-Qur’an yang dapat menguatkan hati ketika kamu merasa putus asa dengan cinta. Dalam al-Qur’an tertulis lantunan ayat yang menjelaskan tentang cinta dalam berbagai kedalaman dan tingkatannya. Baik itu cinta pada Allah maupun cinta kepada selain-Nya.
Diantara ayat yang berbicara tentang cinta, Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ۞
“Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-Nya, (niscaya mereka menyesal).” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 165)
Sementara itu, di ayat yang lain Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ۞
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا ۞
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa cinta (dalam hati) mereka.” (Q.S. Maryam [19] 96)
Dalam surat al-Baqarah ayat 165 di atas, Allah SWT menggariskan tentang bahwa sebenarnya dan sewajarnya manusia itu mencintai sesuatu selain Allah SWT, yang terobyek oleh indera dan kasat mata. Namun Allah SWT menggariskan bahwa manusia beriman lebih kuat cintanya kepada Allah SWT. Dalam ayat tersebut seolah Allah menegaskan bahwa orang beriman pun mencintai Allah dan selain-Nya, tapi cintanya kepada Allah lebih kuat dari selain-Nya.
Dalam surat Ali ‘Imran ayat 31 disebutkan tentang cinta selain-Nya, yakni kepada Nabi Muhammad SAW. Seolah Allah SWT menunjukkan sebuah jalan untuk mencintai-Nya, yang bisa terobyek dan terindera, jenisnya juga manusia, yakni Rasulullah SAW. Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatakan: “Jika kamu benar-benar mencintai Allah SWT, maka ikutilah aku”.
Tentang hal itu, Rasulullah SAW ada menegaskan dalam sebuah haditsnya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ، قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya.”
Dalam ayat lain, Allah SWT juga menegaskan tentang mencintai-Nya dan Rasul-Nya:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٲنُكُمۡ وَأَزۡوَٲجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٲلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌ۬ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُمْ مِّنَ ٱللّٰهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ۬ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِىَ ٱللّٰهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللّٰهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِينَ ۞
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum kerabat kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (Q.S. At-Taubah [9]: 24)
Intinya, mencintai selain Allah SWT itu boleh saja asal tidak melebihi cinta kepada-Nya. Atau setidaknya, cinta kepada selain-Nya dapat membawa diri untuk cinta kepada-Nya.
Pertanyaannya kemudian, apakah tanda-tanda cinta kepada Allah SWT itu sama dengan tanda-tanda cinta kepada makhluq-Nya?
Berhubung cinta kepada Allah SWT itu tak terobyek dan tak tertangkap oleh indera, maka cinta kepada makhluq-Nya itu serupa tapi tak sama. Lalu bagaimana caranya cinta kepada sesuatu yang tak tertangkap oleh panca indera?
Cinta itu adalah anugerah Tuhan. Dia menganugerahkan keindahan di dalam hati orang-orang yang mencinta terhadap apapun. Firman-Nya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللّٰهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ ۞
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 14).
Ayat tersebut sebuah legitimasi dari Tuhan tentang kecintaan manusia terhadap apapun sebagai kesenangan dunia. Meski di ujung ayat tersebut dinyatakan oleh-Nya bahwa tempat kembali yang baik adalah di sisi-Nya.
Namun, jika di ayat ini (QS. Ali ‘Imran [3]: 14) Allah memberikan legitimasi, maka ketika itu berlebihan Allah ancamkan sebuah keputusan sebagaimana terdapat pada QS. Al-Baqarah ayat 165 seperti tersebut di atas. So, bagaimana supaya cinta kepada Allah SWT itu lebih kuat di dalam hati daripada cinta terhadap selain-Nya?
Guru kami, Syaikh Ahmad ibn ‘Atha’illah Assakandary menjelaskan bentuk cinta kepada Allah. Menurutnya, cinta kepada Allah yang kerap diucapkan banyak orang bisa saja merupakan cinta palsu, tetapi bisa juga cinta sejati. Cinta kepada Allah memang mudah diucapkan, tetapi pembuktiannya ini yang membutuhkan kesungguhan.
Syaikh Ahmad ibn ‘Atha’illah Assakandary dalam kitabnya, al-Hikam, menjelaskan tentang ciri cinta sejati dan cinta palsu:
لَيْسَ الْمُحِبُّ الَّذِيْ يَرْجُوْ مِنْ مَحْبُوْبِهِ عَوْضًا أَوْ يَطْلُبُ مِنْهُ غَرْضًا، فَإِنَّ الْمُحِبُّ مَنْ يَبْذُلُ لَكَ، لَيْسَ الْمُحِبُّ مَنْ تَبْذُلُ لَهُ
“Pecinta itu bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya atau mengejar sebuah tujuan dari sang kekasih. Pecinta itu orang yang berbuat sesuatu untukmu. Pecinta itu bukan orang yang diberikan sesuatu olehmu.”
Menjelaskan hikmah ini, Syekh Syarqawi menjelaskan bahwa orang yang mengaku cinta kepada Allah takkan mengharapkan apapun atas amal ibadahnya. Orang yang cinta sungguhan kepada Allah hanya mengharap ridha-Nya, sebagaimana keterangan Syekh Syarqawi berikut ini:
(لَيْسَ الْمُحِبُّ) الْحَقِيْقِيُّ (الَّذِيْ يَرْجُوْ مِنْ مَحْبُوْبِهِ عَوْضًا) عَلَى عَمَلٍ يَعْمَلُهُ فَلَا يَقْصُدُهُ بِأَعْمَالِهِ الصَّالِحَةِ جَنَّةً وَلَا نَجَاةً مِنْ نَارٍ (أَوْ يَطْلُبُ مِنْهُ غَرْضًا) مِنَ الْأَغْرَاضِ الدُّنْيَاوِيَّةِ وَالْأُخْرَاوِيَّةِ (فَإِنَّ الْمُحِبَّ) الْحَقِيْقِيُّ (مَنْ يَبْذُلُ لَكَ) أَيْ يُعْطِيْكَ (لَيْسَ الْمُحِبُّ) الْحَقِيْقِيُّ (مَنْ تَبْذُلُ لَهُ) لِأَنَّ الْمَحَبَّةَ الْحَقِيْقِيَّةَ أَخَذَ خِصَالَ الْمَحْبُوْبَ لِمُحِبّهِِ . اَلْقَلْبُ فَلَا يَصِيْرُ عِنْدَ الْمُحِبِّ اِلْتِفَاتُ لِغَيْرِ مَحْبُوْبِهِ فَمَنْ عَبَدَهُ تَعَالَى لِجَنَّتِهِ فَلَيْسَ مُحِبًّا لَهُ بِلْ لِلْجَنَّةِ .
“Pecinta sejati itu bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya atas perbuatan yang dia lakukan. Ia tidak bermaksud surga atau selamat dari neraka dengan amal salehnya, atau mengejar sebuah tujuan duniawi atau ukhrawi dari sang kekasih. Pecinta sejati itu adalah orang yang berbuat yakni mempersembahkan sesuatu untukmu. Pecinta sejati itu bukan orang yang diberikan sesuatu olehmu, karena cinta sejati meraih seluruh ridha kekasih untuk pecintanya. Bagi pecinta sejati, hatinya takkan berpaling pada selain kekasihnya. Oleh karena itu, siapa saja yang menyembah Allah SWT karena surga-Nya, maka ia bukan orang yang cinta Allah, tetapi cinta surga,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Semarang: Taha Putra, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 62-63).
Jelasnya, cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan pengorbanan secara total tanpa mengharapkan imbalan apapun baik yang bersifat materi maupun non-materi. Niat inilah yang membedakan penghambaan orang yang cinta sejati kepada Allah dan penghambaan orang yang memiliki pamrih.
Sebagaimana keterangan Syaikh Ibnu Abbad berikut ini:
الْمَحَبَّةُ تَقْتَضِى مِنَ الْمُحِبِّ بَذْلَ كُلِّيَّاتِهِ وَجُزْئِيَّاتِهِ فِي مَرْضَاةِ مَحْبُوْبِهِ مِنْ غَيْرِ طَلَبٍ حَظَّ يَنَالُهُ مِنْهُ. فَهَذَا مِمَّا يَلْزِمُ وُجُوْدَ الْمَحَبَّةِ
“Cinta itu menuntut pengorbanan segala hal besar maupun hal kecil dari pecinta untuk kesenangan kekasihnya tanpa menuntut bagian yang harusnya ia terima dari kekasihnya. Ini salah satu bagian dari kelaziman riil sebuah cinta,” (Lihat Syekh Muhammad Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, [Semarang: Toha Putra, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 62-63).
Sejumlah keterangan di atas ini tidak dimaksudkan untuk menilai kadar cinta orang per orang kepada Allah SWT. Pasalnya, cinta adalah masalah ghaib yang tersimpan di batin masing-masing orang. Semua ini dimaksudkan untuk mengevaluasi diri kita seperti apa warna penghambaan kita kepada Allah SWT.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, dengan cintalah Allah SWT memelihara alam semesta ini. Namun, kebanyakan manusia tidak mengerti, bahkan justru ia merusak alam ini dengan mengatasnamakan cinta. Wallãhu A‘lamu bish-Shawãb
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْألُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِليَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِي وَمِنَ المَاءِ البَارِدِ
Allãhumma innî as’aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuk, wal-‘amalal ladzî yuballighunî hubbak. Allãhumma ij’al hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mã’il bãrid
“Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallãhu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Di antara doa Nabi Daud adalah: “Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan amal yang dapat menyampaikanku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta kepada-Mu melebihi daripada cintaku terhadap diriku sendiri, dari keluargaku, dan dari air yang dingin.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn