Akar
Nuswantara berarti mengacu pada wilayah kepulauan (archipelago) prakolonial yang sudah dikenal sejak beberapa milenium sebelum kolonial menghapusnya dengan nasionalisme dan negara-bangsa.
Bilveer Singh menyatakan posisi sentral abadi dari Nuswantara sebagai perlintasan kargo dagang transkontinental. Hal ini masih terjadi karena untuk kargo-kargo besar tetap menggunakan jalur lautan bukan jalur darat maupun udara. Dan jalur transkontinental via lautan ini hanya bisa dilakukan melalui kepulauan Nuswantara.
Perlintasan ini tidak memiliki alternatif, karena sebelah utara Kanada atau sebelah selatan Australia keduanya terlampau dingin dan tidak mungkin dilayari karena tertutup es. Perlintasan melalui Nuswantara ini sudah berlangsung ribuan tahun yang dikenal sebagai Jalur Sutra Purba, baik Jalur Sutra Laut (Eropa/Afrika – Arabia – India – Cina) maupun Jalur Sutra Darat. Kedua jalur tersebut juga menghapus anggapan bahwa jaman dulu peradaban manusia masih bersifat tribalis. Peradaban umat manusia sudah mobile dan dinamis. Diperkirakan jalur ini sudah ada sejak 5,000 SM, salah satunya perdagangan Kapur Barus (Camphor) dari Sumatera. Bahkan sudah sejak lama daerah Barus menjadi daerah multietnik [Laporan EFEO Perancis].
Nuswantara juga dikenal sebagai negeri Brahmanik. Dalam catatan Fa Xian / Fa Shien sepulang dari India di era ke -7 Kaisar Xiyi (411 M), ia sempat singgah di Yapoti (Jawa dan/atau Sumatera) selama 5 bulan, menulis: “Di negeri ini Brahman berkembang”. Tapak kaki Purnawarman (395-434 M) pada Prasasti Tarumanegara memperkuat korelasi Brahminik yaitu ajaran Ibrahim عليه السلام (3500SM) yang juga memiliki tapak kaki (Maqom Ibrahim) di lingkungan Ka’bah, di Makkah.
Penyematan tapak kaki adalah tradisi Brahminik yang dilakukan pula oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وٱله وسلم (571-632 M), seperti yang ada di Museum Nasional Turki, Masjid Jami’ New Delhi, di Mesir bahkan di Nuswantara didapat laporan tapak kaki Nabi Muhammad عليه الصلاة والسلام di Tidore, di Makassar dan di Tanah Papua. Hal ini karena menurut penelitian Bangsa Jawi adalah keturunan Keturah, istri ketiga dari Nabi Ibrahim عليه السلام di daerah yang disebut Kembayat. (Demikian keterangan Ibnu Athir, dalam الكامل في التاريخ dan perhatikan lihat Kejadian 25:1-6)
Nuswantara berasal kata Nuswa (Sansekerta) atau Nesos (Yunani) yang artinya negeri kepulauan, negeri patirtan atau perairan. Swa yang berarti mandiri, Anta artinya suci dan Tara yang artinya ksatria suci. Sehingga secara harfiah berarti negeri kepulauan dan perairan suci yang dihuni para ksatria suci dan bersifat mandiri/merdeka.
Secara wilayah, nuswantara adalah ‘segitiga emas’ perdagangan transkontinental, yaitu Gerbang Barat (Selat Malaka), ke ujung Selatan di pojok/ujung (Zawiyah/Jawa, yang mungkin pula disebut Maliki), hingga ke Gerbang Timur (Perairan Sulawesi-Maluku-Papua). Jalur Sutra Laut, menyebabkan kapal-kapal kargo raksasa yang melewati Nuswantara untuk singgah dan berlabuh. Hal ini menjadikan Nuswantara dikenal sebagai negeri terkaya di seluruh Islamistan (negeri-negeri muslim). Banyak sekali pendatang dari Arab maupun Cina memutuskan untuk mukim di Nuswantara. Negeri ini disebut gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem (penuh kemakmuran melimpah dan tertata dengan tentram dan damai). Kedahsyatan Nuswantara telah sampai ke negeri-negeri Barat pula sejak masa Ptolemeus (90-168 M).
Islam dan Peradaban Nuswantara
Sejarawan Gerini mencatat sekitar tahun 606 M telah banyak orang Arab yang mukim di Nuswantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Suwarnabhumi bagian Utara. Peter Bellwood (ANU) melaporkan pula bahwa sekitar Abad 5 M (400-an M) sudah ada perkampungan Arab di daerah Aceh sekarang. Sekitar tahun 615 M, Rasulullah SAWA mengutus ‘Abdullah ibn Mas’ud رضي الله عنه mengantar Qabilah Bani Thoy’ hijrah dan mukim di Aceh. Ini sesuai laporan G.R. Tibbets yang mengatakan terdapat kampung Muslim Arab di Sumatera pada tahun 625M.
Sedangkan sahabat lain, yaitu Zaid ibn Haritsah رضي الله عنه dilaporkan telah berada di Lamuri/Lambari (Lambharo/Lamreh, Aceh) pada tahun 35 H (718 M). Kesultanan Lamuri ini kemudian pada masa Majapahit adalah salah satu daerah otonom [dipimpin tiga bersaudara yaitu Indra Purwa berkedudukan di Masjid yang sekarang ada di Lembadeuk; Indra Patra berkedudukan di Masjid di Ladong dan Indra Puri di Aceh Rayeuk] di bawah otoritas Majapahit (menurut keterangan Balai Arkeologi Medan).
Pada tahun 607 M telah ada Kerajaan Sriwijaya (Sriboza) yang bercorak Brahminik (Wolters, 1967 dan Hall, 1967 & 1985). Kemudian tahun 670 M, suatu kepemimpinan muslim didirikan oleh Sri Ratu Sima dari Kalinggawangsa (diperkirakan di Jepara). Mereka ini sering disebut ‘keling. Sedangkan di Jambi berdiri Zabaj atau dikenal pula sebagai Javaka pada tahun 99 H (718 M). Nama lainnya adalah Sriwijaya yang telah berdiri sebelumnya dan bertransformasi menjadi Kesultanan. Dalam komunikasinya dengan Sultan Harun Al Rasyid, negeri ini disebut sebagai Sribuza Islam.
Pada masa-masa tersebut, dilaporkan bahwa (Sayyidina) ‘Ali bin Abi Thalib كرم الله وجهه (dikenal sebagai Sadono Ngali atau Bagindo Ngali), telah datang ke Pulau Jawa di antaranya ke Garut (Cangkuang), Cirebon, Pasundan, sekitar tahun 625 Masehi. Kemudian beliau melanjutkan ke Brunai Darussalam, Sulu, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Kampuchea dan Timur Leste. (H. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, dalam Sejarah Islam dan Umatnya sampai Sekarang, PT Bulan Bintang, 1979; S. Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M.S.R.I., 1963, hal. 39)
Sayyidina ‘Akasyah bin Muhsin Al-Usdi رضي الله عنه, salah seorang sahabat Nabi عليه الصلاة و السلام, bertandang ke Palembang, sebelum Rasulullah عليه الصلاة و السلام wafat. Dan ia kembali ke Madinah pada tahun 623 M/ 2 H. (Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama di Palembang, 1986; R.M. Akib Suminto, Islam Pertama di Palembang, 1929; T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968)
Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib رضي الله عنه, selain pergi ke Abysinia, juga dikhabarkan singgah ke Jepara, (Kalingga), Jawa Dwipa pada tahun 626 M/ 4 H. Kemudian Sayyidina ‘Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه singgah ke Sumatera Barat, Indonesia, dan kembali ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. Sebagai pemuka Bani Thoy’, Sayyidina Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه melawat Aceh dan kembali ke Madinah. pada tahun 626 M/4 H. (G. E. Gerini, Further India and Indo-Malay Archipelago). Sedangkan Sayyidina Abdurrahman bin Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه, dengan kedua puteranya, yaitu Mahmud bin Abdurrahman dan Isma’il bin Abdurrahman رضي الله عنهما telah berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tahun 625 M/ 4 H. Sayyidina Salman Al-Farisi رضي الله عنه juga dikhabarkan pergi ke Peureulak, Aceh Timur dan kembali ke Madinah sekitar tahun 626 M/ 4 H.
Setelah Rasulullah عليه الصلاة والسلام wafat, sahabat Zaid ibn Haritsah رضي الله عنه pergi ke Kerajaan Lamuri/Lambari (Lambharo/Lamreh, Aceh) pada th 35 H (718 M). Dan Wahab bin Abi Qabahah رضي الله عنه, menetap di Riau sampai 5 tahun baru pulang kembali ke Madinah. (‘Wali Songo dengan perkembangan Islam di Nusantara’, oleh H. Abd. Halim Bashah).
Sekitar tahun 800 M rombongan dari Arabia datang ke Aceh. Mereka berjumlah 100 orang dipimpin Nakhoda Khalifah. Mereka ini kemudian mendirikan Kesultanan Peureulak (dari kata peureula, sejenis kayu jati, yang bagus dipakai pada kapal). Mereka menamakan Peureulak sebagai Bandar Khalifah yang bahasa arabnya berarti Madinatul Kholifah (مدينة الخليفة). Lokasinya diperkirakan daerah Langsa atau Tamiang sekarang. Sebelumnya bernama Kesultanan Samudera (205 H / 820 M) di dekat Bireuen, namun kemudian disebut sebagai Peureulak (225 H/ 840 M). Dan pada akhirnya pada tahun 349 H/ 960 M disebut Kesultanan Lamuri/Lan-po-li karena pusat kesultanan telah berpindah ke Lambaro/Lamreh, sekarang Banda Aceh (yang sebelumnya adalah “parameshwara” sebelum Peureulak).
Karena Sumatera (atau dikenal juga Suwarnabhumi [secara bahasa berarti Bumi Emas]) telah menjadi negeri multietnis, tradisi ilmiah berkembang melalui penerjemahkan karya-karya dari berbagai belahan dunia. Penerjemahan dilakukan ke dalam bahasa Jawa Kuno, baik yang berasal dari Bahasa Persia (asal muasal Sanskrit), Yunani, China, Mesir, dll. Pada saat itu Sanskrit adalah bahasa internasional. Contohnya adalah penerjemahan Kakawin dari Walmiki dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seorang ulama di Mdang Poh Pitu bernama Mpu Yogiswara (Sanjayawangsa, 900 M). Peureulak kemudian mendirikan Universitas Islam Dayah (Dyah) Bukit Ce Derek (840 M) dan Dayah Cot Kala (850 M). Di Jawa dipelopori oleh Seh Subakir (Sayyid Muhammad Al-Baqir رضي الله عنه), kemudian berdirilah Madrasah Giri. Di Champa, Sultan Jayawarman (990 M) telah belajar pembuatan candi di Suwarnabhumi Selatan dan mendirikan Angkorwat.
Sekitar tahun 650-an M, telah terbentuk segitiga silaturahmi Nuswantara, dalam muamalat dan dakwah. Pertama adalah Ta Che (Tajik atau Peureulak) di Suwarnabhumi, Ho Ling (Kalingga di Jawadwipa) dan Kwang Tung (Kanton di China Selatan). Relasi muamalat ini diwujudkan paripurna dalam kehidupan baik perdagangan (ekonomi), tata pemerintahan (amirat) dan pendidikan. Jejaring ini berlangsung berkat kegigihan Imam Agung Sayyidina Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه selama 23 tahun (632-655 M) keluar dari gempita Arabia, pasca wafatnya Bunda Siti Fatimah عليها السلام. Network ini kemudian dilanjutkan oleh Lamuri/Pasai – Majapahit – China/Mongol/Champa.
Sekitar tahun 851 M, dilaporkan seseorang dengan nama Sulaiman memulai penambangan emas, yang salah satunya digunakan untuk penyetakan uang. Uang yang beredar dinamai Ringgit atau Mayam atau Suwarna (yang secara literal berarti emas yang murni) yang dibuat dari emas murni. Berat Mayam adalah sekitar 3-3.25 gram (atau sekitar 1/10 Troy-ounce). Kemudian, dilaporkan seseorang dengan nama Po Ali telah berkunjung ke Cina mewakili Nuswantara (Duta Besar) sekitar tahun 977 M (F. Hirth & WW Rockhill, Chau Ju Kua, His Work on Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St. Petersburg: Paragon Book, 1966. Hal. 39).
Pasca hancurnya Khilafah Baghdad (Abbasi) oleh serangan Mongol (1258 M), Nuswantara melanjutkan Khilafah Peureulak dengan kepemimpinan di Jawa oleh Raden Wijaya. Kesultanan ini disebut Majapahit Vilvatikta (1293 M). Pada masa Majapahit ini perdagangan diintensifkan terutama melalui Bandar Waru Gasik (sekarang Gresik) sebagai Pelabuhan Laut Metropolitan Interkontinental yang sangat makmur.
Sarjawala: Sirna Ilang Kertaning Bhumi
Pada tahun 1478 M, Sunan Ngampel, Kadi Majapahit dan Rektor Universitas Ampel Denta (wafat di usia 77 tahun). Bersamaan itu, negeri-negeri muslim Andalusia, yang dipimpin Wangsa Umayyah (tepatnya Bani Hakam dari Subwangsa Marwan) berangsur-angsur menyerahkan diri kepada Spanyol dan Portugis. Tidak berapa lama Perjanjian Tordesillas ditandatangani (1494). Semua ulama bersepakat bahwa akan datang era baru yang membutuhkan perjuangan yang berat, jaman di mana ketentraman hidup menjadi asing dan mahal.
Mpu Kanwa diperintahkan untuk menyusun satu traktat/serat yang berisi pemberitahuan umum kepada seluruh negeri-negeri atau anak negeri persemakmuran Majapahit (Nuswantara) agar bersiap-siap mempertahankan diri. Sesanti beliau berbunyi “sirna ilang kertaning bhumi“, yang sekaligus candra sengkala penanda sebagai 1400 tahun saka atau 1478 M. Mpu Kanwa memberi tajuk yaitu Serat Kandha yang berarti Berita atau Kabar atau Pengumuman. Kemudian dibentuklah Dewan Ulama yang sering disebut sebagai Walisongo dan dibangun bandar laut pertahanan yaitu Demak Bintoro.
Perkaderan para ulama dilanjutkan dengan istilah ‘bajul putih’ di mana 40-an ulama inti dari seluruh penjuru nuswantara dilatih untuk menjaga pertahanan nuswantara. Tidak berapa lama kolonialisme merangsek dan tetap meninggalkan bekasnya sampai hari ini. Kepemimpinan Kesultanan Majapahit dialihtangankan (palihan) dan digeser kepada Kesultanan-kesultanan yang lebih kecil termasuk Kesultanan Mataram dan Cirebon. Dan 1511 berdirilah Tugu Afamosa di Malaka sebagai tonggak era baru. Dan di era ini pula pertahanan dipindahkan dari daerah utara (Ngeksi Arum) ke daerah selatan (Ngeksi Gondho) di mana huruf dan terma diubah menjadi lebih mendalam, ke dalam, dibalik.
Perjuangan pertahanan para ulama pada generasi ini hingga sampai masa-masa Pangeran Diponegoro (Sultan Abdul Hamid Ba’abud) yang melakukan perjuangan semesta bersama Kesultanan-kesultanan yang lain seperti Imam Bonjol di Pagaruyung, Sultan Hasanuddin di Gowa, Sultan Badaruddin di Palembang, Sultan Ba’abulah di Ternate, dll sampai yang terakhir berhasil dihapus Belanda adalah Sultan Iskandar Muda di Aceh) adalah periode akhir perjuangan melawan kolonialisme. Saat itulah Indonesia diperkenalkan (dan juga Malaysia, Filipina, Thailand, dll). Nuswantara memasuki era baru yang disebut “modern”.
Bukan kebetulan pula pada tahun 1898 jasad Fir’aun ditemukan utuh di dasar laut sebagai penanda berdirinya Gerakan Zionis Internasional. Dan semenjak itu para ulama berganti peran dan posisi perjuangan, termasuk berdirinya NKRI.
Secara fisik, kolonialisme berakhir dengan munculnya negara-negara nasional di Nuswantara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, dll. Akan tetapi sistem kehidupan yang berlaku masih meniru kolonial, mulai dari tata pemerintahan dan politik (demokrasi), pengembangan sains (sains empiris), teknologi (mekanis) dan riset, pendidikan (dan model-model belajar sekular), relasi sosial kemasyarakatan (pluralisme, dll) dan kebudayaan, organisasi, hukum dan perundang-undangan, pasar dan ekonomi, dll. Sendi-sendi peradaban tradisional ditanggalkan dan dirasionalisasi agar relevan dengan apa yang kemudian disebut ‘modern’.
Sarjawala Pasca 500 Tahun: Rekonstruksi Peradaban
‘Moderne’ yang diperkenalkan semenjak bangkitnya kolonialisme dan pemberangusan tradisi dan peradaban tidak membuahkan hasil. Kritik sudah dilakukan seperti neo-tradisionalisme, post-modernisme, dan kritik-kritik modernitas lainnya. Akan tetapi, belajar dari peradaban lampau, kita akan menemukan bahwa Islam sebagai rahmat semesta telah membahana bumi selama lebih dari 9 abad (600-1500), bukan suatu romantisme tapi untuk melihat peradaban ke depan alternatif yang lebih baik bagi umat manusia.
Rekonstruksi peradaban dimulai sebagai kesadaran pasca gagalnya 500 tahun moderne, dan semestinya Tugu Afamosa sebagai simbol digantikan. 500 Tahun setelah 1511 (tepatnya 2011) menjadi tonggak sejarah gagalnya norma modern yang berasaskan pada dua pilar yaitu ekonomi-minyak (oil-based economy) dan ekonomi monetaris (monetary-based economy) yang keduanya disebut sebagai Petro-Dollar, mendekati kehancuran. Maka Sarjawala ini adalah semacam Serat Kandha II untuk merekonstruksi kembali peradaban dengan melalui sebuah gerakan bersama.
Leluhur Nuswantara, dalam hal ini Kholifah Jayabhaya menegaskan bahwa saatnya nuswantara mesti mengingatkan dunia akan kehancuran dan ketidaklanggengan masa depan. Inilah era di mana nuswantara menjadi guru dunia, atau Kandha Buwana. Prakarsa ini akan diejawantahkan melalui pelbagai gerakan misalnya mengembangkan institusi pendidikan tinggi dan riset (advanced education and research), formal dan nonformal, sekaligus lembaga pengembangan pemikiran (think-and-act atau think-tank-and-do) bagi restorasi sosial-ekonomi-budaya (sosekbud) Peradaban Islam Nuswantara.
Source: Muamallat Nuswantara