Imam Ghazali dalam kitabnya: “Al Munqidz Minadl Dlalaal” (Pembebas dari kesesatan) Berkata :
“Ditengah-tengah khalwatku (suluk-ku) ini tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung dan tidak mungkin bisa diterangkan sedalam-dalamya. Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekedar untuk dipetik manfaatnya adalah bahwa golongan Sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah saja dan perjalanan hidup mereka merupakan perjalanan hidup yang paling baik, jalan mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci”.
Imam al-Ghazali pada awalnya adalah seorang yang murni mempelajari ilmu fiqih dan tidak tersentuh sedikitpun dengan ilmu tasawuf yang diamalkan oleh para sufi. Dalam perjalanan hidupnya kemudian Beliau belajar tasawuf dan kita tahu kemudian Beliau melahirkan banyak karya diantara yang terkenal adalah Ihya Ulumuddin. Beliau berpendapat bahwa ilmu-ilmu yang bersifat zahir (syariat) tidak akan bisa mengungkapkan rahasia Ketuhanan yang sangat rahasia.
Bahwa andai kata akalnya orang-orang yang kreatif kebijaksanaannya para cendikiawan, ilmunya orang–orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syara’ yang terdiri dari pada Ulama’ mau merubah saja sedikit dari perjalanan hidup mereka dan akhlak mereka lalu mereka menggantikannva dengan yang lebih baik niscaya tidak mungkin akan bisa. Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka didalam lahir dan batinnva memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian, padahal dibalik cahaya kenabian yang terdapat didunia ini tidak lagi ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi. Oleh karena Imamul Al Ghazali telah menempuh jalan suluk itu. Beliau berpendapat dan berkata: Bahwa aku yakin kaum sufiyah itulah yang benar-benar telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi Saw yang dikehendaki oleh Allah. Dan bahwa mendekati Allah dan mengenal-Nya, hanya dapat dicapai dan menempuh satu jalan, yaitu Thariqat, jalan yang ditempuh oleh kaum soufi.
Ummat Islam dikurun sekarang ini oleh disibukkan mengajar dan mendalami Ilmu yang bersifat pemikiran otak-benak atau lahiriyah, sudah sebarang tentu tidak sampai atau tidak mampu lagi membagi waktunya untuk mengajar dan mendalami Ilmu KeTuhanan yang bersifat Ruhaniyah, yaitu yang dicapai oleh hati, sedangkan kedua-duanya sama-sama sangat dibutuhkan menghadapi hidup dan mati. Seorang Sarjana Hukum dan Sarjana Ekonomi sekurang-kurangnya harus berjuang dengan menghafal selama 17 sampai 20 tahun baru dia dapat menyandang titel Sarjananya, kemudian sekian tahun dia praktek barulah dia merasakan keberhasilannya, yaitu mengecap nikmat bahagia dari buah Ilmunya itu. Padahal martabatnya baru Sarjana yang diangkat dan dilantik oleh manusia yang tidak lebih seperti dia. Ilmunya sangat terbatas dan kegunaannya dan manfaatnya pun sangat terbatas pula. Alangkah dangkal dan kecilnya Ilmu Sarjana manusia itu bila kita bandingkan dengan Ilmunya para Sarjana Allah. Kalau Sarjana manusia baru sanggup menciptakan kapal udara, kapal laut, atom, nuklir dan lain-lain, tetapi Sarjana Allah seperti Nabi Sulaiman As pernah terbang menunggangi sebilah papan dari San’a ke Syam (Siria). Nabi Daud As dapat melemahkan besi dengan tangan dan membuat alat-alat dari besi dengan tangannya sendiri tanpa dengan alat-alat mesin. Kalau Dokter ahli kesehatan sudah bisa menggantikan mata yang buta melalui operasi mata, jauh sebelum ini Nabi Isa As sebagai Sarjana Allah sanggup mengobati orang buta dengan seketika sehingga nyalang kembali. Kalau seorang Dokter sekarang belum sanggup menghidupkan orang yang mati, tetapi seorang Sarjana Allah seperti Nabi Isa As sanggup menghidupkan orang yang mati, dengan izin Allah.
Apa ada sekarang ini Sarjana manusia yang sanggup menahan peredaran Matahari dan bisa membelah Bulan seperti Nabi Muhammad? kalau kita membuat perbandingan bahwa radio, televisi, computer dan sebagainya itu, yang dicapai Sarjana manusia sekarang ini Sarjana Allah seperti Nabi Muhammad sudah lebih dulu mendapatkannya dari Ilmu kasyafnya. Bahkan sampai pada masa-masa yang akan datang dan yang akan terjadi sudah dilihatnya dari televisi yang tersimpan dalam dirinya. Juga ke Bulan, ke Mars, ke planet-planet lainnya yang dicapai oleh Astronaut sekarang, sudah sejak dulukala dicapai oleh Nabi Muhammad. Bahkan bukan sampai disitu saja, tetapi sampai ke-hadrat Allah Maha Pencipta Alam Jagat Raya ini. Ternyata Nabi Muhammad Sarjana Allah yang miskin dan buta huruf dalam pandangan mata lahir, ternyata lebih kaya ilmunya dari pada Sarjana Hukum dan Sarjana apa yang dilantik oleh manusia. Nabi Muhammad kaya dengan Ilmu Allah yang disebut dengan ilmu bathin dan ilmu kerohanian. Jelas bahwa Ilmu pengetahuan yang baru diraih oleh Sarjana manusia itu tidaklah sampai senuktah atau sepercik dari Ilmunya Sarjana Allah.
Metode Sarjana-sarjana Allah inilah yang diikuti dan diselusuri dan diambil over oleh Ulama-ulama Thariqat Islam khususnya Para Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yang selalu mampu melaksanakan Teknologi Al Qur’an dengan tepat sehingga mampu menghasilkan energi yang maha dahsyat dari kalimah Allah. Merekalah yang benar-benar mampu menyalurkan energi Ketuhanan untuk menyelamatkan bumi ini dari kehancuran.
Dengan demikian, sungguh tepatlah kalau Ibnu Qayyim meletakkan nama Waratsatul Ambiya itu kepada Ulama Thariqat. Dan sebab itu pulalah, Riyadah, Mujahadah dan itikaf atau suluk yang diwariskan Nabi Saw sebagai salah satu sunnahnya yang terpenting kepada Ummatnya teristimewa menjelang qurun yang ke-15 ini, qurun yang serba canggih. Ilmu kerohanian ini sungguh penting dimasyarakatkan agar para Sarjana pada masa-masa mendatang berilmu pengetahuan lahir dan bathin, rohani dan jasmaninya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa mencicipi ilmu dari Sarjana Allah untuk kemenangan dunia dan akhirat, amien.