Home / Agama / Kajian / Sang Raja Tanpa Istana

Sang Raja Tanpa Istana

“Marilah kita bangun Istana Surga dengan kesederhanaan hidup di dunia”

Oleh: Raden Mahmud Sirnadirasa*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

“Ya Allah jadikanlah aku dan keluargaku berbahagia dengan keadaan yang Engkau tentukan bagi kami”.

Saudaraku yang dicintai Allah, izinkanlah aku berbagi hadits yang telah diucapkan oleh Pemimpin Umat, Nabi Mulia yang selalu mencerminkan kehidupan sederhana, Muhammad Rasulullah SAW:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kaya (yang sebenarnya) bukan dengan banyaknya harta, tapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Muttafaq Alaih)

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَكُوْنَ غَنِيًّا، فَآمِنْ بِمَا لِلّٰهِ أَكْثَرُ مِمَّا فِي سُلْطَان

“Barangsiapa yang ingin menjadi orang paling kaya, maka lebih percayalah pada apa yang dimiliki Allah dari pada apa yang ada di tangannya,” (HR. Imam Hakim)

Pada suatu saat aku membaca ayat Al-Quran Al-Isra Ayat 27, yang isinya selalu mengusik hatiku ketika aku ingin membeli sesuatu yang bagi umum hal itu mungkin dianggap mahal :

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ۞

Innal mubadzdzirîna kãnû ikhwãnasy syayãthîni, wa kãnasy syaithãnu lirabbihî kafûrã

“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya,” (QS. Al-Isra [17]: 27).

Ada sebuah kisah yang selalu menggugahku pada kesadaran akan kehidupan yang sederhana, yang selalu dicontohkan Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para Mursyidku terdahulu.

Khalifah Umar memang dikenal dengan ketegasannya. Tetapi di balik kharisma kepemimpinannya, ia merupakan sosok yang sangat sederhana. Maulana Jalaluddin Rumi dalam Al-Matsnawi, mengisahkan, bahwa pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Constantinople datang untuk menghadap khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendikiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah.

“Dimanakah istana raja kalian?” tanya sang utusan. Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”

Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu dimanakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan.

“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?” kata seorang penduduk Madinah.

“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran. “Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khaththab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.” Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja.

“Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan Romawi. “Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya.”

Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?

Umar berkata: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku …”.

Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya.

Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar.

Sedemikian sederhananya Sayyidina Umar Ibn Khaththab RA sehingga Allah menganugerahi beliau dengan istana di Surga sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:

Abu Hurairah RA, dia bertutur: “Ketika kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:

بَيْنَا أنَا نَائِمٌ، رَأَيْتُنِيْ فِي الْجَنَّةِ، فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قََصْرٍ، قُلْتُ: لِمَنْ هَذَا الْقََصْرُ؟ قَالُوْا: لِعُمَرَ

“Ketika aku tidur, aku bermimpi sedang berada di dalam Surga. Saat itu ada seorang wanita yang sedang berwudhu di samping sebuah istana. Aku bertanya (kepada para Malaikat): ‘Milik siapakah istana ini?’ Mereka menjawab: ‘Istana ini milik Umar.’”

Kuakhiri risalah kecil ini dengan berdoa :

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ وَآمِنْ رَوْعَاتِيْ

Allãhumma innî as-alukal ‘afwa wal-‘ãfiyah fid-dunyã wal-ãkhirah. Allãhumma innî as-alukal ‘afwa wal-‘ãfiyah fî dînî wa dunyãya wa ahlî wa mãlî. Allãhumas-tur ‘awrãtî wa ãmin raw’ãtî

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut.”

___________________

*Dr. Supardi, SH., MH., Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...