Home / Agama / Improvisasi Salik / Sang Pendidik Sejati

Sang Pendidik Sejati

Oleh: Ahmad Baihaqi*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Para pembaca budiman, guruku, dalam sebuah renungannya, dawuh bahwa Sanad Ilmu Adab yang sangat tinggi adalah Qalbu – Rasulullah SAW – Allah SWT. Beliau mengungkapkan sebuah struktur periwayatan yang dikenal dalam ‘ilm al-mushthalah al-hadits dengan ‘Sanad Tinggi’ (al-Isnãd al-‘Ãliy).

Sanad Tinggi (al-Isnãd al-‘Ãliy) dalam ilmu Mushthalah al-Hadits didefinisikan sebagai sebuah sanad yang bilangan perawinya hingga sampai kepada Rasulullah SAW lebih sedikit bila dibandingkan dengan sanad lain yang serupa. Sanad ‘Ali (Tinggi) bersifat mutlak dan menjadikan sanad tersebut sebagai sanad yang berkualitas paling tinggi, jika sanadnya adalah sanad yang sahih. Sanad ‘Ali berimplikasi pada Hadits sehingga Hadits tersebut berderajat ‘Ali (Tinggi).

Dalam perspektif sufistik, sanad yang tinggi diterjemahkan lebih spesifik dengan ketiadaan jarak antara sang Sufi selaku perawi dengan Rasulullah SAW lewat pertemuan langsung melalui mimpinya (ru’yah shãdiqah). Dalam pertemuannya tersebut, Rasulullah SAW menurunkan sabdanya kepada sang Sufi sehingga sang Sufi menjadi perawi yang tidak diselingi oleh seorangpun dari rijãlus sanad dengan Rasulullah SAW. Dalam situasi ini, derajat hadits yang diriwayatkan sang Sufi merupakan al-hadits al-‘Ãliy atau al-Isnãd al-‘Ãliy.

Muhammad bin Aslam Ath-Thusy rahimahullãh berkata:

قُرْبُ الْإِسْنَادِ قُرْبَةٌ إِلَى اللّٰهِ

“Semakin dekat sanad, maka semakin dekat kepada Allah”

Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata:

طَلَبُ الْإِسْنَادِ الْعَالِي سُنَّةٌ عَمَّنْ سَلَفٍ

“Mencari sanad ‘ãliy (sanad yang tinggi) itu sunnah salaf kita”.

Imam Al-Hakim juga berkata:

طَلَبُ الْإِسْنَادِ الْعَالِي سُنَّةٌ صَحِيْحَةٌ

“Mencari sanad ‘Aly adalah sunnah shahihah”

Kebalikan dari al-Isnãd al-‘Ãliy (Sanad yang tinggi), bahwa periwayatan hadits dengan banyaknya rijãlus sanad kepada Rasulullah SAW disebut dengan al-Isnãd an-Nãzil (Sanad yang rendah). Dengan demikian, sanad rendah akan menghasilkan hadits-hadits yang dipandang berderajat rendah dari segi sanad. Panjangnya hirarki periwayatan dalam hadits berpotensi besar terjadinya corrupt atau perubahan kalimat asli dari sumbernya, yakni Rasulullah SAW.

Sebagian ulama hadits mengganggap bahwa al-Isnãd an-Nãzil (Sanad yang rendah) adalah aib. Hal ini sebagaimana diucapkan oleh Imam ibn Ma’in:

الْإِسْنَادُ النَّازِلُ قَرْحَةٌ فِى الْوَجْهِ

“al-Isnãd an-Nãzil (Sanad yang rendah) itu seperti cacar di wajah”

Kembali kepada renungan guruku, yang mengemukakan sebuah inti dari hadits tentang pendidikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW sehingga baginda memiliki husnul khuluq dan ahsanut ta’dîb. Bahwa pendidikan hakiki bersumber dari Allah SWT dan hanya bisa dicapai lewat iman tertingginya. Imanlah yang menjadi penentu sebuah pendidikan itu akan berlangsung dengan baik.

Dalam perspektif bahwa pendidikan hakiki bersumber dari Allah SWT, maka secara faktual, manusia menjadi subyek sekaligus sebagai obyek pendidikan. Manusia, secara bersamaan, menjadi sebab buat sesamanya dan menjadi akibat dari sesamanya sekaligus. Saat bersamaan menjadi contoh buat yang lain dan ia juga dituntut untuk mencontoh dari yang lain.

Secara hirarkis, manusia dalam perspektif dunia pendidikan, mengambil sumber dayanya dari sesuatu yang secara kredibel mampu menjadikannya menjalani hidup sesuai garis-garis tujuan untuk apa dirinya diciptakan. Mindset ini hanya muncul pada lingkaran orang-orang yang beragama. Mengapa?

Tuhan adalah Sumber Daya teragung dalam berbagai perspektif kehidupan manusia, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Rasulullah SAW adalah prototype ‘Akhlaq Allah SWT’ yang berada di dunia dan menjadi rujukan bagi manusia lain untuk bagaimana seharusnya menjalani hidup. Rasulullah SAW adalah kekasih Allah SWT yang terus hidup dan menjadi sumber daya akhlaq bagi manusia hingga akhir zaman.

Guruku dawuh dengan sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW telah mendeklarasikan dirinya adalah sebagai ‘hasil didikan Allah SWT’ dengan sabdanya:

إِنَّ اللّٰهَ عَزَّ وَجَلَّ أَدَّبَنِيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ

“Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan mendidikku dengan sangat baik.” (HR. Baihaqi)

Pola pendidikan yang didapat oleh Rasulullah SAW, jika ingin diikuti oleh umatnya, memerlukan proses-proses yang tidak mudah. Hal itu tidak serta merta bisa begitu saja dilakukan oleh mereka dengan bermodalkan akal tok. Peranan iman dalam hal ini sangat diperlukan. Lalu seperti apa peran iman dalam pendidikan supaya umat mendapatkan pola pendidikan seperti yang didapat oleh Rasulullah SAW?

Pertama, berkaitan dengan sanad ‘Ali di atas, bahwa mindset yang memunculkan Rasulullah SAW masih hidup hingga akhir zaman adalah sebuah syarat mutlaq munculnya pendidikan Allah SWT. Bagi mereka yang berasumsi bahwa Rasulullah SAW sudah mati, maka mati pula cahaya dalam jiwanya. Taste atau dzawq (rasa) yang menjadi kurikulum pendidikan tersebut, yang berupa cahaya dalam jiwanya, tak akan bisa menerangi akalnya. Rasa jiwa itulah yang menjadi garis-garis besar pendidikan kenabian bagi umatnya. Rasa yang satu frekwensi dengan Rasulullah SAW itulah yang disebut isnãd (sanad). Seseorang yang meriwayatkan sebuah hadits dan disebut sebagai rijãlus sanad bukan hanya mampu menuturkan matan (bunyi kalimat) hadits, tapi mampu mencerap cita rasa matannya hingga ia memahami jalan pikiran Rasulullah SAW sebagai sumber penutur matan. Itulah kurikulum pendidikannya.

Kedua, akhlaq yang menjadi rujukan metode dalam pendidikan akan secara berkelindan dengan ilmu. Pada fase ini, seorang yang menjadi umat Rasulullah SAW dituntut untuk menyamakan frekwensinya dengan Rasulullah SAW melalui akhlaq. Saat akhlaq menjadi barometer, maka ilmu yang didapat akan memiliki cita rasa yang sama dengan definisi ilmu dalam perspektif Rasulullah SAW. Dalam upaya menyamakan frekwensi akhlaq itu, seseorang harus memiliki patron yang nyata, yakni Guru Mursyid. Guru Mursyid itu berfungsi sebagai validator untuk memberikan semacam stample bagi prilaku murid yang sudah membangun akhlaqnya. Itulah metodologi pendidikannya.

Ketiga, Hadits di atas menyebutkan tentang adab yang, dalam literatur syari’at Islam, memiliki cakupan yang lebih luas dari akhlaq. Adab dipondasikan dari ilmu dan akhlaq. Karena itu, dapat dikatakan bahwa adab adalah produk dari akhlaq dan ilmu. Jika dinarasikan, maka pemahamannya menjadi; iman adalah awal membangun akhlaq, dan akhlaq adalah awal mendapatkan ilmu yang bercita rasa sama dengan Rasulullah SAW, dan ilmu adalah awal seseorang mendapatkan adab atau beradab. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki iman, akhlaq dan ilmu.

Adab dalam perspektif di atas, terbangun dari orisinalitas dzawq (cita rasa) kenabian yang menggiring umatnya memiliki cinta. Atas dasar itu, kepengikutan jiwa atas pesan-pesan kenabian tak akan menjadi beban. Mengapa? Karena cinta sudah menjadi landasan bagi jalan hidupnya.

Karena itu, kaitan Sanad ‘Ali dalam perspektif sufisme (Qalbu kita – Rasulullah SAW – Allah SWT) dengan pola pendidikan Allah SWT sebagai Sang Pendidik Sejati sangat bisa dipahami. Dengan cintalah ayat di bawah ini akan bisa dipahami:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۞

Qul in kuntum tuhibbûnallãha fattabi’ûnî yuhbibkumullãhu wa yagfir lakum dzunûbakum, wallãhu gafûrur rahîm

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31)

Semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Allah SWT untuk mudah mencapai cinta kepada Rasulullah SAW sehingga mendapatkan kebaikan adab. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

___________

* alfaqir wal-jahil ila Allah Ta’ala, murid terbodoh di Pasulukan Loka Gandasasmita

About admin

Check Also

Dahsyatnya Ilmu Diam

Oleh: Irfan BN* بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ ...