Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Rasulullah Menangis dengan Asbab Satu Ayat
Ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang dikisahkan dapat membuat Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam menangis. Satu di antaranya dikisahkan oleh Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang memiliki keakraban khusus dengan manusia pilihan itu.
Lelaki bernama Abdullah bin Mas’ud itu juga dikenal sebagai satu dari empat sahabat Nabi Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam yang memiliki kecakapan dalam membaca Al-Quran. Tiga lainnya adalah Salim Maula Abi Huzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.
Dalam sebuah hadits shahih (Muttafaq ‘Alaih) yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallãhu ‘Anhu:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « اِقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ »، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟! قَالَ : « إِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ »، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُوْرَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ : « فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا » قَالَ : « حَسْبُكَ الْآنَ » فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ .
Suatu ketika dikisahkan, Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam pernah meminta Ibnu Mas’ud membacakan ayat-ayat Al-Quran. Permintaan ini tentu saja membuat Ibnu Mas’ud heran, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (layak) saya membacakan Al-Quran untukmu sementara ia diturunkan kepadamu?”
“Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku,” sahut Baginda Nabi Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam.
Mendengar itu, Ibnu Mas’ud pun membacakan Surat An-Nisa. Namun, Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam tiba-tiba meminta Ibnu Mas’ud berhenti ketika sampai pada ayat:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ۞
“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang yang durhaka nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu),” (QS. An-Nisa’ [4]: 41).
Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Cukup sampai di sini wahai Ibnu Mas’ud!”
Seketika Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya, lalu ia menoleh ke wajah Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam, dan betapa terkejutnya Ibnu Mas’ud saat melihat wajah Rasulullah Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam basah dengan cucuran air mata.
Kesaksian adalah Tugas Kenabian
Nabi Muhammad Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam mempunyai tugas besar dari Allah. Dalam surah al-Ahzãb ayat 45-46, Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã menyebutkan tentang tugas beliau, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ شَاهِدًا وَّمُبَشِّرًا وَّنَذِيْرًاۙ ۞ وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِهٖ وَسِرَاجًا مُّنِيْرًا ۞
Dalam ayat ini Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã menyebutkan bahwa ketika Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã mengutus nabi-Nya, Muhammad Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam, beliau dibebani oleh Allah SWT lima tugas utama. Perihal tugas utama ini yang disebutkan dalam ayat di atas masih jarang dibahas. Sering kali pembahasan seputar Nabi Muhammad SAW berkisar pada penjelasan bahwa Nabi SAW punya tugas menyampaikan risalah, berupa wahyu yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.
Akan tetapi, sebenarnya itu hanyalah salah satu dari tugas Rasulullah SAW yaitu menyampaikan risalah Allah SWT yang dalam ayat ini disebutkan dengan ‘mubasysyiran wa nadzîrã’. Selain punya tugas untuk menyampaikan kabar gembira bagi mereka yang taat menerima risalah dan wahyu Allah SWT, beliau juga memberi kabar ancaman bagi mereka yang menolak dan tidak mengindahkan apa yang disampaikan oleh Rasullullah SAW.
Namun dalam ayat ini juga disebutkan bahwa tugas Rasulullalh SAW lainnya adalah sebagai “Saksi”. “Wahai Nabi, Kami (Allah) mengutusmu sebagai saksi…”. Saksi artinya seseorang yang menyaksikan terhadap sesuatu dan nanti akan menjadi penguat di hadapan Allah SWT atas segala apa yang dilakukan oleh manusia yang menjadi umatnya.
‘Allãmah Muhammad Husain Thabathaba’i dalam tafsirnya, al-Mizan, menyebutkan, “Saksi yang dimaksudkan dalam ayat ini artinya bahwa Rasullullah SAW menanggung kesaksian umatnya di dunia. Dalam arti, Rasulullah SAW menyaksikan segala apa yang dikerjakan oleh kita, umatnya, di dunia dan nanti saksi itu atau kesaksian itu akan dilakukan oleh Rasulullah SAW di hadapan pengadilan Allah SWT”.
Tugas pertama yang diamanahkan oleh Allah SWT kepada nabi-Nya di dalam surah Al-Ahzab ayat 45 ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai saksi atas setiap perbuatan manusia. Pertanyaannya, adalah, apakah beliau hanya menjadi saksi di saat beliau hidup bersama umatnya dan kemudian tidak lagi menjadi saksi setelah beliau meninggalkan dunia ini?
Dalam surah an-Nisa ayat 41 di atas, Allah SWT juga menyampaikan hal yang senada, bahwa Rasul SAW sebagai saksi atas perbuatan manusia, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dan tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”.
Dalam menjelaskan ayat ini, para Mufassir menerjemahkan dan menjelaskan ayat ini seperti berikut; adalah bahwa setiap umat ada nabinya yang nanti akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT atas segala apa yang dilakukan oleh seorang hamba. Selain saksi yang disebutkan, di dalam surah Yasin, tangan, kaki dan anggota tubuh kita juga akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT. Selain itu, dalam ayat lainnya, para Malaikat juga akan menjadi saksi atas perbuatan kita. Saksi lainnya adalah Nabi dari setiap umat sesuai dengan ayat 41 surah an-Nisa di atas.
Pertanyaannya adalah; apakah Nabi itu akan menjadi saksi ketika beliau berada di tengah-tengah mereka, ketika beliau sebagai seorang nabi masih hidup di tengah-tengah mereka kemudian tidak lagi menjadi saksi setelah meninggalkan dunia ini? Sebagian di antara para Mufassir menerjemahkannya demikian.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan ta’dzhîm kepada para Mufassir, bahwa pemahaman yang demikian dianggap lemah. Karena ayat itu juga mengatakan bahwa “Dan Kami datangkan engkau wahai Nabi atas mereka sebagai saksi.” Karena Nabi Muhammad SAW dalam ayat ini juga disebutkan sebagai saksi terhadap mereka semua. Dan, mereka yang dimaksudkan adalah setiap umat, termasuk juga nabi-nabi mereka. Artinya, Rasulullah SAW menjadi saksi di hadapan Allah SWT kelak sebelum beliau dilahirkan atas segala apa yang dilakukan oleh manusia termasuk oleh para nabi sebelum beliau. Nabi juga akan menjadi saksi setelah meninggalkan dunia ini.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana seseorang yang tidak hidup bersama atau sezaman dengan Nabi SAW akan dimintai pertanggungjawaban untuk menjadi saksi di hadapan Allah SWT?
Pertanyaan ini juga sama, yaitu untuk pemahaman yang pertama ketika kita katakan bahwa Nabi menjadi saksi di saat Nabi hidup bersama mereka. Tentu Nabi SAW hidup bersama kaum muslimin yang sezaman dengan beliau tidak selamanya juga 24 jam selalu bersama. Begitu pula gerak-gerik kaum muslimin tidak selalu berada di hadapan mata suci Rasulullah SAW. Sekalipun kita menerima pemahaman bahwa Nabi menjadi saksi ketika masih hidup di tengah kaum muslimin, tentu juga termasuk segala perbuatan yang dilakukan tidak di hadapan Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula kalau pemahamannya adalah yang hidup semasa mereka hidup bersama para nabi di dunia, tentu juga tidak mungkin 24 jam segala sesuatunya juga berada di hadapan para nabi itu. Maka itu, sudah pasti pemahamannya lebih luas dari itu.
Pemahamannya adalah bahwa kalau Nabi SAW diharuskan menjadi saksi di hadapan Allah SWT, lalu setiap nabi dalam ayat ini dijadikan saksi oleh Allah SWT kelak di hari kiamat atas setiap perbuatan manusia, maka itu mencakup yang berada di hadapannya dan juga yang tidak sedang berada di hadapannya.
Dengan kata lain, kesaksian Nabi SAW kepada perbuatan umatnya tidak hanya melalui pandangan mata fisik semata. Nabi SAW yang dianggap oleh Allah SWT sebagai saksi juga akan memandang perbuatan manusia, menyaksikan perbuatan umatnya dengan mata yang lain. yakni dengan mata batin. dengan roh suci mereka.
Karena Itu, ketika Rasulullah SAW di dalam ayat ini (QS. An-Nisa’ [4]: 41) juga dipahami bahwa beliau pun akan menjadi saksi terhadap perbuatan setiap umat. Demikian juga pada setiap nabi sebelum beliau. Artinya, tidaklah masalah kita pahami bahwa Nabi SAW sebagai saksi sebelum beliau dilahirkan dan setelah beliau meninggalkan dunia ini. Karena kesaksian dilakukan oleh tidak sekadar mata fisik semata. Kesaksian dilakukan oleh mata batin atau roh suci Rasulullah SAW.
Kalau mau sedikit mendalami, sebenarnya segala perbuatan yang dilakukan oleh kita manusia itu pasti dilakukan oleh seluruh yang ada dalam dunia kita. Roh yang menjadikan semua anggota tubuh kita bisa berfungsi dengan sebenamya. Mata kita bisa melihat, telinga kita bisa mendengar, tangan kita bisa bergerak, kaki kita bisa bergerak. semua tidak hanya karena fisik semata. Tapi karena kita memiliki dimensi lain. Kita memiliki sesuatu yang lain selain fisik kita, itulah yang kita sebut dengan roh.
Berkaitan dengan itu, Abah Guru sekumpul menjelaskan tentang Nur Muhammad SAW:
Guru kami, Abah Guru Sekumpul, mengajarkan bahwa ruh sekalian kita ini adalah berasal dari Nur Muhammad SAW, dan asal muasal seluruh anggota tubuh kita adalah berasal dari Nabiyyullah Adam AS. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah Bapak Ruh dan Nabi Adam AS adalah Bapak Tubuh atau Jasad. Akan tetapi, Nabi Adam dijadikan dari tanah, tanah asalnya dari air (banyu), air asalnya dari angin, angin asalnya dari api, dan api asalnya dari Nur Muhammad SAW jua. Dengan demikian, asal muasal ruh dan asal muasal jasad, keduanya berasal dari satu sumber yang sama, yakni Nur Muhammad SAW.
Ruh yang berasal dari Nur Muhammad SAW tersebut menjadikan jasad dan tubuh kita menjadi berfungsi. Bukti bahwa roh yang menjadikan mata, telinga, tangan dan kaki kita berfungsi yaitu ketika kita sedang tidur ataupun ketika manusia telah mati. Ketika manusia sedang tidur, dalam ayat Al-Qur’an disebutkan rohnya dipisahkan sementara oleh Allah SWT dari tubuhnya.
Karena itulah, pada saat manusia sedang tidur, mata mereka tidak berfungsi, pendengarannya tidak berfungsi, tangan dan kakinya tidak lagi berfungsi untuk melakukan aktivitas karena saat itu roh tidak bersamanya. Begitu juga ketika manusia sudah mati, sudah dalam kondisi kaku dan sudah terpisah darinya roh secara total, maka pasti dia tidak bisa untuk melakukan apapun. Mata, telinga, kaki, tangan dan semua anggota tubuhnya tidak berfungsi.
Allah SWT memberitahukan supaya kita berpikir:
اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ۞
“Allah menggenggam nyawa (manusia) pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur. Dia menahan nyawa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir”. (QS. Az-Zumar [39]: 42)
Jadi, segala apa yang kita lakukan di dunia saat kita hidup adalah karena roh kita. Walaupun juga dibantu oleh anggota tubuh kita, anggota tubuh kita semata tidak mampu melakukan segala sesuatu kecuali dibantu oleh roh. Sebaliknya, ketika kita telah meninggalkan alam ini, rohnya telah terpisah dari badannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah roh memungkinkan untuk melihat, mendengar, melakukan sesuatu tanpa badan? Jawabannya adalah ya. Roh mampu melakukan penglihatan, pendengaran, segala aktivitas yang dilakukan tangan dan badan.
Apalagi roh-roh mulia, yang hidupnya telah diisi dengan segala ketaatan kepada Allah SWT, hidupnya diisi dengan “makanan-makanan sehat” rohani sehingga menyebabkan rohnya menjadi kuat, rohnya berada di tempat yang sangat tinggi. Roh itu kemudian mampu melakukan segala sesuatu tanpa ada bantuan badan. Karena itu, roh seperti roh suci Rasulullah SAW sangat mampu mengemban tugas Allah SWT sebagai nabi yang diembankan kepada beliau yakni sebagai saksi terhadap apa yang dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian, pemahaman ayat yang tadi kita baca, tugas pertama Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 45 bahwa beliau sebagai saksi terhadap segala apa yang dilakukan oleh kita manusia. Kelak di hari kiamat nanti, Rasulullah SAW akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT.
Pada surah an-Nisa ayat 42, Allah SWT menceritakan tentang apa yang akan terjadi kelak di hari kiamat. Pada hari itu, karena Rasulullah SAW menjadi saksi di hadapan Allah SWT, kita tidak mungkin lagi mengelak bahwa diri tidak melakukan apa yang disaksikan oleh Rasulullah SAW selain saksi-saksi lainnya. Saat itu, orang-orang yang mengingkari Allah SWT dan Rasulullah SAW akan mengatakan, ‘Andaikan bumi diratakan oleh Allah dan aku tidak pernah diciptakan, tidak pernah terjadi sesuatu daripada harus menghadapi pengadilan yang sangat ketat seperti hari itu, suatu pengadilan di hadapan Allah, yang setiap perbuatan kita dipertanggungjawabkan di sisi Allah dan disaksikan oleh Rasulullah SAW.
يَوْمَىِٕذٍ يَّوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَعَصَوُا الرَّسُوْلَ لَوْ تُسَوّٰى بِهِمُ الْاَرْضُۗ وَلَا يَكْتُمُوْنَ اللّٰهَ حَدِيْثًا ࣖ ۞
“Pada hari itu orang-orang yang kufur dan mendurhakai Rasul (Nabi Muhammad) berharap seandainya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan suatu kejadian pun dari Allah”. (QS. An-Nisã’ [4]: 42)
Karena itu, di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat bahwa Rasulullah SAW sebagai saksi atas segala perbuatan kita adalah bahwa kita harus menyadari untuk selalu waspada terhadap apa yang kita lakukan dalam keseharian kita. Tidak boleh kita melakukan seenaknya, karena setiap perbuatan yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT dan saksinya bukan main-main, saksinya adalah Rasulullah SAW.
Madrasah Kenabian
Berkaitan dengan kesaksian di atas, bahwa misi utama Nubuwwah atau Kenabian Muhammad SAW adalah untuk mendidik manusia agar “lulus” dalam perjalanannya menuju Allah SWT melewati batu uji dunia. Manusia yang lulus ujian itulah yang disebut sebagai ‘Insãn al-Kãmil’.
Dalam membentuk Insan al-Kamil, Rasulullah SAW mengembangkan sebuah “madrasah (sekolah)” dengan kurikulum dan metode pendidikan yang telah ditentukan. Puncak dari madrasah kenabian (madrasah an-Nubuwwah) itu adalah “madrasah iman, ilmu, dan akhlak”.
Madrasah iman, ilmu, dan akhlak dikembangkan oleh Nabi SAW dalam rangka membebaskan manusia dari kegelapan dan kebutaan serta membangun peradaban yang agung, bermartabat, dan berkeadilan. Sekolah kenabian itu merupakan bagian integral dari ‘orkestra’ sistem semesta raya (an-nidzhãm al-kauni); yakni keselamatan di dunia dan akhirat.
Wahyu (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi SAW itu ibarat ruh dan akal pada diri manusia. Wahyu tidak hanya memandu dan memberi orientasi pendayagunaan akal manusia, melainkan juga memberi solusi kehidupan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal. Dengan kata lain, madrasah kenabian itu memberi makna kehidupan manusia dengan iman. Keluaran (output) madrasah kenabian adalah model pendidikan akhlak yang bertujuan membentuk manusia yang berakhlak mulia.
Menurut Badi’uzzaman Said Nursi, dalam Rasãil an-Nûr, kenabian merupakan salah satu dari empat tujuan utama pembumian al-Qur’an. Keempat tujuan utama (al-maqãshid al-kubrã al-arba’ah) itu adalah tauhid, kenabian, al-hasyr (kebangkitan) dan keadilan dengan ‘ubûdiah (al-‘adãlah ma’a al-ubûdiyyah).
Dikisahkannya, bahwa para Nabi dalam al-Qur’an merupakan bukti pentingnya madrasah kenabian sebagai sumber belajar kemanusiaan, sekaligus menunjukkan bahwa para Nabi itu hadir untuk mendidik umat manusia menuju jalan kebenaran, kebaikan, keselamatan, keindahan, dan kemuliaan.
Madrasah kenabian Muhammad SAW, menurut Said Nursi, merupakan model pendidikan yang paling efektif dalam merubah mindset dan moralitas manusia, dari tradisi Jahiliyah yang biadab menjadi masyarakat madani yang berperadaban dan berkeadaban. Madrasah kenabian itu terbukti berhasil mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat, kasih sayang bagi semua) dengan keteladanannya yang paripurna (akmãl al-uswah al-hasanah).
Keteladanan yang terbaik inilah yang merupakan kekuatan sekaligus keunggulan sekolah kenabian. Figur dan pribadi Muhammad SAW tidak hanya menjadi role model bagi umat manusia, melainkan juga sebagai sumber nilai dan inspirasi dalam mendidik umat manusia.
Selain menjadi uswah hasanah, madrasah kenabian memberikan solusi terhadap krisis kemanusiaan, terutama krisis iman dan akhlak, krisis spiritualitas dan krisis moralitas. Tugas dan fungsi Nabi SAW dalam menyukseskan madrasah kenabiannya tidak hanya menjadi penyeru umat manusia menuju jalan Tuhan dengan hikmah (wisdom) dan nasehat (pitutur) yang baik (menyentuh hati, dengan tidak menggurui), melainkan juga dengan komunikasi penuh argumentasi yang baik (al-mujãdalah al-husnã)
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ۞
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Nabi SAW hadir menjadi saksi dan bukti kebenaran ayat-ayat Allah, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru kepada jalan Tuhan, sekaligus sebagai pelita terang yang menyinari hati umat manusia. Nabi SAW tetap hidup sepanjang zaman hingga akhirnya. Mengawal dan menjadi pembimbing umat manusia hingga akhir zaman. Kepatuhan umat manusia akan kabar dan peringatan yang disampaikan oleh Nabi SAW adalah sebuah bentuk “penyelarasan” manusia kepada tugas Kenabian.
Dengan mengemban fungsi kenabian tersebut, madrasah kenabian sesungguhnya merupakan institusi pembebasan manusia dari kegelapan kekufuran (dzhulumãt al-kufr) menuju cahaya iman (nûr al-îmãn), sekaligus sebagai sumber nilai bagi pencerdasan manusia dari kebodohan menuju kemajuan ilmu pengetahuan, dan merupakan referensi keteladanan dalam membentuk pribadi yang berakhlak mulia dan beramal shalih.
Dengan iman, ilmu, amal shalih, dan akhlak mulia, madrasah kenabian bertujuan mengantarkan manusia meraih kebahagiaan dunia akhirat secara seimbang dan proporsional. Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih, jika manusia memiliki iman dalam hatinya, nalar keilmuan dalam akal pikirannya, dan keluhuran akhlak dalam kepribadian dan perilaku kesehariannya.
Dengan iman, ilmu, dan akhlak, madrasah kenabian pada akhirnya bermuara pada pembangunan peradaban umat manusia yang damai, adil, bermartabat, sejahtera, dan toleran, tanpa eksploitasi, kezaliman, dan kekerasan.
Tanpa madrasah kenabian, kebahagiaan hidup manusia tidak akan pernah benar-benar terwujud secara hakiki; dan tanpa Nabi berikut warisan nilai iman, ilmu, dan akhlak, peradaban (Barat) hanya tetap berwatak penuh keserakahan, keangkuhan, konflik, kekerasan dan perang, seperti yang terjadi dewasa ini.
Para Alumni Madrasah Kenabian
Dari Madrasah kenabian, akan muncul para alumni yang akan menjadi Insãn al-Kãmil yang selanjutnya akan membimbing secara estafet umat manusia. Mereka yang terkait pada estafet Kenabian adalah para Pewaris yang melanjutkan pengkabaran, pembimbingan dan pendidikan. Dasar kurikulum yang dibawanya merujuk kepada Nabi SAW sebagai patron dan peletak dasar.
Para pembimbing yang mewarisi misi Kenabian adalah mereka yang bertalian secara sanad, memiliki mahabbah (cinta) yang daqîq (dalam), dan punya dzauq (taste -cita rasa) yang satu frekuensi dengan Nabi SAW. Mereka yang masih hidup disebut dengan Mursyid atau Rabbãniy, sedangkan mereka yang sudah wafat disebut dengan Rijãl al-Ghãib.
Merekalah para Guru yang membimbing manusia untuk bisa selaras dengan misi Kenabian. Keselarasan manusia dengan misi Kenabian akan meringankan Nabi SAW dalam kesaksiannya di hadapan Allah SWT.
Jika manusia tidak ingin diselaraskan, tidak ingin dibimbing, tidak ingin dididik, dan tidak ingin dibebaskan dari kegelapannya, Allah SWT mengajarkan Nabi SAW untuk bertawakkal; “Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (singgasana) yang Agung“.
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۞ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ࣖ ۞
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin (128). Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Nabi Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (singgasana) yang agung (129).” (QS. At-Taubah [9]: 128-129)
Karena itu, mari kita terus berusaha sekuat tenaga, mendidik diri untuk bisa selaras dengan misi Kenabian, selalu berusaha untuk bisa mengatasi segala halang rintang kegelapan dunia, selalu berusaha dengan maksimal agar senantiasa sadar bahwa hadhratur rasûl (kehadiran Rasul SAW) dalam kehidupan kita adalah sebuah keniscayaan.
Kita harus senantiasa sadar bahwa setiap gerak-gerik, tutur kata, tindakan tangan, langkah kaki dan segala perbuatan kita yang lain adalah disertai dan disaksikan langsung oleh Rasulullah SAW. Jika kita selalu berada pada kesadaran itu, tentu kita tidak akan melakukan segala pelanggaran kepada Allah SWT.
Di zaman kita saat ini, kita perlu menjaga lidah, tutur kata, juga gerakan tangan kita. Mungkin banyak di antara kita yang sudah mampu menjaga lidahnya, tidak berbicara dengan seenaknya, tidak menyampaikan sesuatu dengan mulutnya dengan seenaknya tanpa diperhitungkan, tanpa menjaga norma-norma agama. Akan tetapi, mungkin dengan dunia gadget (gawai) saat ini kadang-kadang tangan kita tidak bisa kita jaga.
Dengan tangan, kita sering menyampaikan hal-hal yang tidak pantas untuk kita sampaikan. Kadang-kadang dengan tangan kita, kita sampaikan segala hal yang mungkin palsu, tidak benar, bohong atau provokasi ataupun hal-hal yang kemudian di dalamnya ada kemurkaan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Itu semua harus kita sadari bahwa kelak Rasulullah SAW akan menjadi saksi kita.
Hal lain yang patut menjadi pelajaran kita adalah bahwa setiap perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan, selain itu disaksikan oleh Rasulullah SAW, juga akan membuat beliau sedih. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap hari Senin atau Kamis, segala perbuatan kita umat manusia disampaikan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda; “Aku akan bersedih ketika umatku melakukan berbagai pelanggaran kepada Allah SWT”. Bahwa setiap dosa yang kita lakukan bukan hanya berakibat pada diri kita sendiri, tapi juga membuat sedih hati Rasulullah SAW.
اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا ۞
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti (menista) Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan bagi mereka azab yang menghinakan”. (QS. al-Ahzab [33]: 57)
Mudah-mudahan kita semua hari demi hari akan selalu bertambah ilmu kita sehingga kita mampu mengamalkan segala ketaatan kepada Allah SWT dan bertambah kesadaran kita. Demikian juga kita mampu menjauhi segala larangan Allah SWT sehingga kelak kita tidak akan mempermalukan Rasulullah SAW dan juga tidak dipermalukan di hadapan Rasulullah SAW.
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَالْعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمَآءِ الْبَارِدِ
Allãhumma innî as-aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuk, wal-‘amalal ladzî yuballigunî hubbak, Allãhummaj’al hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mãil bãrid.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kecintaan-Mu, dan kecintaan orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang menyampaikanku kepada kecintaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan-Mu lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku serta air dingin”. (HR. Tirmidzi, dalam Sunan Tirmidzi dan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
___________
Source: dari berbagai sumber