Home / Agama / Kajian / Salah Faham terhadap Dunia Sufi (1)

Salah Faham terhadap Dunia Sufi (1)

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Akidah Sufi Dituduh Menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah

Redaksi Sufi menurunkan pledoinya atas kontroversi yang selama ini dituduhkan oleh para pemikir Muslim yang anti Tasawuf. Sejak zaman munculnya dunia Sufi dalam peradaban ilmu pengetahuan banyak kalangan yang menuding Tasawuf sebagai aktivitas yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Termasuk para pemikir dewasa ini, khususnya Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-Fikrus Shûfi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf.” Buku tersebut sangat mendiskreditkan Tasawuf dengan penuh emosional dan antipati, dan berpengaruh terhadap gerakan Islam radikal di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia.

Karena itu, Redaksi Sufi berusaha meluruskan tuduhan-tuduhan hipokrit tersebut dengan mengangkat kembali fakta, idea, akidah dan syari’ah yang sesungguhnya. Sehingga pemahaman yang dangkal itu berbuntut menjadi tuduhan yang sangat arogan dan membahayakan akidah mereka sendiri.

Di bawah ini akan kita muat secara bersambung hal-hal yang dipersoalkan oleh mereka, sehingga mereka anti tasawuf. Dan Redaksi Cahaya Sufi menurunkan jawaban-jawabannya:

Akidah Sufistik

Dalam bentuknya yang terakhir akidah tasawuf berbeda dengan Al-Qur’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan oleh sumber dan penerimaan akidah itu, yakni sumber pengetahuan keagamaan.

Dalam Islam, akidah ditetapkan hanya Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dalam tasawuf akidah ditetapkan melalui Ilham, wahyu yang dipercaya oleh para Wali. Hal ini berhubungan dengan Jin yang mereka namakan dengan makhluk ruhani, atau mi’rajnya ruh ke langit. Lebur dalam Allah dan Injila’ (berkilauannya) cermin hati.

Sehingga menurut pengakuan mereka, perkara ghaib tampak seluruhnya bagi wali Sufi melalui kasyf dan mengikatkan hati dengan Rasulullah SAW, karena dalam kepercayaan mereka ilmu-ilmu itu disandarkan pada Rasulullah atau dengan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga atau mimpi.

Ketika sumber-sumber itu terbilang banyaknya maka akidah itu sendiri berkembang, berubah-ubah, satu sama lainnya berbeda. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyf-nya, apa yang tertangkap dalam benaknya, apa yang dikatakan Rasulullah, atau diberikan malaikat atau yang ia lihat sendiri di Lauhul Mahfûdz.

Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah, para Sufi memiliki penafsiran kebatinan yang terkadang mereka menamakannya tafsir Isyarat. Mereka percaya bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki makna yang tidak diketahui kecuali oleh Sufi yang mumpuni dan terbuka hatinya. Berdasarkan hal ini para Sufi memiliki keberagaman sendiri yang dalam tataran ushûl dan cabangnya berbeda dari agama yang dibawa oleh Rasulullah.

Berikut ini ringkasan akidah sufi tentang Allah, Rasulullah, Para Wali, Syurga, Neraka, Fir’aun, dan Iblis. Begitu juga keyakinan tentang berbagai syariat.

Akidah mereka tentang Allah

Seorang Sufi meyakini Allah dengan akidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah Hulûl (reingkarnasi) seperti mazhabnya Al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujûd yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khãliq dengan makhlûq. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad ke III hingga kini.

Akhirnya, setiap tokoh dan Ulama akidah ini, mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu ‘Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan Thariqat Sufi kontemporer.

Akidah mereka tentang Rasulullah

Diantara mereka yang meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi sebagaimana diutarakan oleh Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para Nabi berhenti di pantainya.”

Di antara mereka juga ada yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Dialah Allah yang bersemayam di atas ‘Arsy. Langit, bumi, ‘Arsy, Kursy, dan seluruh yang ada diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama maujûd. Dialah yang bersemayam di atas ‘Arsy Allah. Demikianlah akidah Ibnu Araby dan Sufi sesudahnya.

Akidah mereka tentang para Wali’

Kaum Sufi meyakini wali dengan beragam akidah pula. Di antara mereka ada yang mengutamakan wali daripada Nabi. Pada umumnya mereka menyamakan wali dengan Allah dalam setiap Sifatnya. Allah menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, dan Berkuasa atas alam ini.

Mereka dalam hal ini membagi golongan wali. Mereka adalah Ghauts yang memegang hukum alam ini, empat Aqthãb yang menguasai empat tiang alam ini dengan perintah Ghauts, tujuh Abdãl, yang masing-masing mengatur satu dari tujuh benua dengan perintah Ghauts, dan Nujabã’ yang menyebar di setiap penjuru untuk mengatur ketentuan-ketentuan makhluk. Mereka juga memiliki dewan, majelis berkumpul di gua hira’ untuk menunggu takdir-takdir. Singkatnya, para wali itu ‘alim, keramat, dan sempurna.

Pastinya, konsep demikian berbeda dengan konsep kewalian dalam Islam, yang berdasar pada keberagaman, ketaqwaan, amal shaleh, ibadah yang sempurna kepada Allah, dan sikap fakir atau butuh kepada Allah. Seorang Sufi tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya sendiri terlebih terhadap orang lain. Firman Allah:

قُلْ اِنِّيْ لَآ اَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَّلَا رَشَدًا ۞

“Katakanlah ‘Kami tidak berkuasa mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu, juga tidak suatu kemanfaatan.’ (QS. Al-Jin [72]: 21).

Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka

Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yang diyakini para Sufi.

Mereka juga meyakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut akan neraka adalah seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan di antara Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah Wihdatul Wujûd, di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushûsul Hikam.

Akidah mereka tentang Fir’aun dan Iblis

Kebanyakan Sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba paling sempurna dan makhluk terbaik dalam hal akidah, karena mereka mempercayai Iblis, tidak bersujud kecuali kepada Allah. Begitu juga Fir’aun bagi mereka adalah orang yang paling baik Tauhidnya. Karena ia pernah berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.”

Di sini Fir’aun mengetahui hakikat, karena setiap yang maujud itu adalah Allah. Dalam kepercayaan mereka, Fir’aun termasuk orang yang beriman dan masuk syurga.

Demikian tudingan mereka terhadap kaum Sufi. Dan di bawah ini adalah jawaban atas kesalahpahaman mereka, baik dari segi pemahaman terhadap wacana Sufi, maupun pendekatan pemahamannya, bahkan terhadap substansi penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah.

Jawaban Atas Akidah Sufi Tentang Allah

Mereka menuding akidah Sufi berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menuding lebih jauh, kalau Akidah sufi kolaboratif dengan pandangan Filsafat Ilmuniasi Yunani, Majusi Persia, Hinduisme dan Nasrani.

Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah singkretisme ajaran agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan yang luhur, sesungguhnya tidak bisa dihubungkan-hubungkan dengan tradisi filsafat tersebut secara menyeluruh.

Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bisa dituduh bahwa tradisi Musyawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman Jahiliyah.

Kalau Nabi Muhammad SAW, melakukan tradisi khalwat, tahannuf atau tahannuts di gua Hira, sementara kaum Jahiliyin, juga melakukan hal yang sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode yang ditempuh Rasulullah dalam gua hira itu ditentang oleh ummat Islam bahkan oleh Rasul sendiri?

Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui pendekatan yang bersifat lettere, tekstual dan formal. Sementara istilah akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen ushûliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika pengetahuan dan pengajaran Islam mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujtahidin, Muhadditsin, Mufassirin, dan Mutakallimin.

Banyak ummat Islam terjebak oleh jargon “Kembali pada sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah”, dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan. Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)nya hilang sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal.

Padahal dalam amaliyah Islam Rasulullah SAW, membagi tiga: Islãm, Îmãn dan Ihsãn. Islãm yang kelak berhubungan dengan ibadah syari’ah, penataan aturan-aturan fiqih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah. Lalu di sana muncul para fuqahã’, yang menyimpulkan produk hukum Islam melalui Ijtihad.

Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika para Mujtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat Ijtihad, pasti konflik-konflik social akibat perbedaan Ijtihad begitu luar biasa dan malah menghancurkan ummat Islam itu sendiri.

Sedangkan Îmãn, kelak berpengaruh dalam academia teology yang popular dengan Ilmu Tauhid. Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal yang Sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. Tetapi perbedaan itu sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada ushûliyahnya.

Misalnya Allah Maha Esa. Dalam Al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdãniyah, Wãhid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi Ahad, Wahdah, Wãhid, dengan praktek Tauhid maupun filosofi Ketauhidan akan muncul banyak ragam.

Rupanya kaum formalis yang menolak Tasawuf dengan serampangan saja yang menggeneralisir fakta keragaman kata dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, lalu mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantah sama sekali.

Ihsãn, sebagai praktek dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia Sufi. Sebab, hanya akademi Sufisme saja yang menguraikan secara gamblang apa dan bagaimana Ihsan itu diterapkan dalam Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah sholat hanyalah melaksanakan kewajiban formalnya shalat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan kualitas khusyu’ dalam sholat, elemen-elemen kekhusyu’an, maupun nuansa khusyu di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan mengetengahkan teknik-teknik khusyu’ yang kering.

Apakah jika dunia Sufi membahas masalah khusyu’ dalam sholat maupun di luar sholat menjadi bid’ah dan bertentang dengan Qur’an dan Sunnah? Alangkah bodohnya kita, jika menuduh kajian dunia Sufi sebagai bentuk yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia Sufi mendorong seseorang untuk meraih khusyu’ yang hakiki, bukan khusyu’ yang dikhusyu’-khusyu’kan, sementara ia telah gagal meraih shalat Khusyu’.

Seluruh ajaran Sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai telah menyimpang dari ajaran Sufi yang benar –sesungguhnya tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para Sufi sendiri sepakat demikian, dan sebaliknya yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah malah dianggap bathil. Hanya saja criteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak dari Al-Qur’an dan sunnah, maka dunia Sufi lebih dalam lagi dan sulit difahami mereka yang hanya memandang Al-Qur’an dan Sunnah secara formal belaka.

Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun Sufi-sufi besar lainnya, semata karena cara memandang Al-Qur’an dan Sunnah secara berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan gambar yang obyektif. Dunia Sufi dengan segala ragam metodenya, mengajak kita memandang cermin dari arah yang benar dan dengan obyek yang utuh, bahkan berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.

Sementara kaum yang anti Thariqat Sufi merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain, sesungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri.

Kata-kata yang muncul dari para Sufi sesungguhnya harus difahami menurut konsumsi Bathiniyah dari kandung Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya ketika seseorang mempraktekkan Ihsãn, “Seakan-akan engkau melihat Allah, dan jika tidak melihatNya, Allah melihatmu,” pastilah menimbulkan pantulan cahaya ‘ubûdiyyah yang agung dengan sesuai dengan kondisi psikhologis ruhani masing-masing hamba Allah. Pantulan cahaya Ilahi inilah yang tidak bisa dipahami oleh orang yang tidak pernah megalami perjalanan ruhani ke-Imanan dan ke-Ihsanan.

Mukãsyafah atau keterbukaan Rahasia Ilahi adalah Hak Allah yang diberikan kepada yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang dikehendakiNya.” Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang ghaib, rahasia takdir, dan rahasia alam semesta raya, baik yang fisik maupun yang metafisik.

Di antara rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada para Sufi adalah mengenal rahasia huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Sebab, hakikat huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan memiliki hubungan korelatif dan apresiatif secara paripurna dengan kehidupan hamba, alam semesta, bumi, langit dan seisinya, dan alam akhirat, bahkan Asma’, Sifat, Af’al dan DzatNya.

Mereka menuduh bahwa kaum Sufi menjauhi Qur’an dan Hadits, lalu mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah benar, karena seluruh aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran dari Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus ditimbang dengan Qur’an dan Sunnah, hal demikian sangat populer di kalangan Sufi. Karena itu, dalam dunia Sufi, sangat dibedakan mana yang bisikan Jin, Syetan, Malaikat, Ilham, dan yang langsung dari Allah.

Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diberi Ilmu oleh Allah Ta’ala, sebagian bisa disebarkan (publikasi), dan sebagian bila disebarkan justru ia akan dikafirkan dan dibunuh oleh banyak orang. Artinya, aspek Mukãsyafah sangatlah individual, dan memang tidak bisa diungkapkan kecuali pada ahlinya atau orang tertentu yang relevan dengan manfaat dunia akhiratnya.

Mengenai Wihadatul Wujûd, Hulûl, Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya justru tidak ada dalam dunia Sufi. Yang ada adalah Widatusy Syuhûd. Orang yang pertama kali mengatakan Wihdatul Wujûd adalah Ibnu Taymiyah yang memang anti dengan pengalaman Dunia Sufi.

Ia menuduh Sufi itu Wihdatul Wujûd, sebuah tudingan yang jauh dari pengalaman ruhani Sufistik. Karena Wihdatul Wujûd sering diartikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi tentang penyatuan hamba dan Allah jauh dari panteisme.

Penyatuan itu bersifat ruhani dan musyãhadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata rahasia batin. Bukan wujud fisik. Hal demikian pun diurai secara lembut melalui kaidah-kaidah Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid, sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam.

Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan pandangan kulitnya, formalitas dan penafsiran tekstual belaka, maka kita pun ketika memahami wacana Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa. Karena itu, dalam tradisi Sufi harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang membimbing, agar mereka tidak terkena ghurûr (tipudaya) dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah.

Tidak begitu mudah orang memahami pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj, maupun Abul Hasan asy-Syadzily.

Bagaimana anda bisa memahami arti tenggelam di lautan, sementara anda belum pernah tenggelam, dan hanya mendengarkan kisah tentang orang tenggelam saja? Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?

Seputar Akidah Sufi terhadap Rasulullah SAW

Diantara persoalan yang digugat oleh mereka yang anti Tasawuf adalah mengenai akidah kaum Sufi terhadap Rasulullah SAW. Mereka menuduh kaum Sufi bahwa, kaum Sufi berpandangan kalau Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi.

Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.

Bahkan Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qalam, langit dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama Maujûd, dan dialah yang bersemayam di Arasy.

Jawaban kami:

Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia Sufi sebegitu dangkal memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga memiliki tuduhan terhadap kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan sesat?

Para Sufi sama sekali tidak pernah berpandangan bahwa Rasulullah SAW. tidak mencapai martabat Sufi. Justru sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insãn Kãmil, sebagai puncak paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah, dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para penempuh itu.

Coba jika mereka mau mencoba memahami karya Ibnu Araby maupun Al-Jilly yang selama ini mereka tuduh sebagai biang kerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah. Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya imajiner mereka?

Salah satu contoh betapa mereka dangkal memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul.

Coba renungkan dengan jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.

Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.

Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad yang menjadi awal maujûd ini.

Mereka yang kontra dengan dunia Sufi memang tidak memahami apakah sesungguhnya hakikat Nûr (Cahaya) itu sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nûrullah dengan Nûr Muhammad, apa pula bedanya dengan Nûrun alan-Nûr, yang ada di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.

Belum lagi makna dari Kegelapan (Dzulumãt), bagaimana wujud dzulumãt, apa pula lapisan dzulumãt, fakta dzulumãt, rekayasa dzulumãt dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan muncul dari wahana dzulumãt?

Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali diciptakan adalah An-Nûr”, dan hadits lain menyebutkan, “Awal yang diciptakan Allah adalah al-Qalam…” serta hadits lain berbunyi, “Awal yang diciptakan Allah adalah akal…”

Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan tahu bagaimana sistematika istinbãth manakala ada hadits satu sama lain yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nãsikh dan mansûkh. Tetapi hadits tersebut cukup dipahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam keragaman”.

Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara eksistensial maupun fungsional. Artinya, Nur adalah esensi dari akal, dan Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal yang membuat Titik dari huruf Nun dalam Kun itu.

Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu, jika disebutkan dalam ayat Ar-Rahmãnu ‘alal Arsyi Istawã (Yang Maha Rahman bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahmãn secara makrokosmos adalah jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahmãn yang termaujud dalam Ar-Rahîm. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir, menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ra’ûfur Rohîm.

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۞ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ࣖ ۞

“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin (28). Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Nabi Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (singgasana) yang agung (29).” (QS. At-Taubah [9]: 28-29)

Maka, dengan akal yang dangkal dan pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallãhu A’lam.

About admin

Check Also

Inilah Saat-saat Seseorang Dekat dengan Allah

”Ternyata shalat, zakat, puasa dan haji belum menjamin kedekatan seseorang dengan Allah SWT”. Oleh: Admin ...