“Jika sakit secara fisik adalah ujian untuk mencapai mental sabar, maka sehat secara fisik adalah ujian untuk mencapai mental syukur. Namun, sakit secara maknawi merupakan jenis yang berbeda lagi”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Para pembaca yang dikasihi Allah SWT, dalam kehidupan manusia ada dua keadaan yang seringkali menyertai fisiknya, yakni sehat dan sakit. Kedua kata itu saling bergantian menyifati fisik manusia; ‘jika tidak sakit maka ia sehat’, atau ‘jika tidak sehat maka berarti ia sedang sakit’.
Dua keadaan itu mempengaruhi keadaan manusia dengan segala produktifitas kehidupannya. Sehingga hal tersebut memunculkan penilaian-penilaian secara psikologis dan sosiologis yang secara berkelindan silih berganti menkategorikannya di saat tertentu sebagai enerjik-dinamis (sehat) dan di saat lain ia berada pada keadaan apatis-statis (sakit).
Bagi manusia beriman, keadaan fisik yang sehat itu adalah anugerah Tuhan (mushîbah hasanah) yang menuntutnya untuk bersyukur, sementara keadaan fisik yang sakit juga merupakan anugerah Tuhan (mushîbah sayyi’ah) yang menuntutnya untuk bersabar. Keduanya memiliki parameter derajat yang sama di sisi Allah SWT.
Namun, kedua hal tersebut sangat berbeda maknanya jika sehat atau sakit yang dimaksud dipersepsikan secara maknawi. Sehat atau sakit secara maknawi akan sangat jauh berbeda dengan sehat atau sakit secara fisik.
Jika sehat atau sakit secara fisik dapat dikatakan sebagai mushîbah (anugerah Tuhan) yang jika disadari maka akan menghadirkan mentalitas-mentalitas positif di dalam dirinya, maka sehat atau sakit secara maknawi justru merupakan output dari kesadaran-kesadaran tersebut. Sehat secara maknawi diterjemahkan kepada suatu keadaan seseorang yang senantiasa sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia terhadap manusia atau makhluk lain dan tanggung jawabnya terhadap Tuhan. Sementara sakit secara maknawi adalah suatu keadaan sebaliknya.
Allah SWT berfirman:
فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۢ ەۙ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ ۞
Fî qulûbihim maradlun fa zâdahumullâhu maradlâ, wa lahum ‘adzâbun alîmum bimâ kânû yakdzibûn
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta”. (QS. Al-Baqarah [2]: 10)
Ayat tersebut adalah sebuah vonis “sakit” terhadap mereka yang mengatakan “aku beriman kepada Allah dan hari akhir” tapi sebenarnya di dalam hatinya tidak begitu, alias tidak beriman. Mereka menipu Allah SWT dan orang-orang beriman. Dalam perspektif syari’at, orang semacam itu disebut dengan orang munafik.
Sakit dalam perspektif surat al-Baqarah ayat 10 di atas adalah sakit maknawi. Bisa jadi, seseorang yang dikategorikan sakit maknawi tersebut memiliki fisik yang sehat wal-‘afiat. Karena itu, sakit maknawi tidak identik dengan sakit secara fisik. Obyek penyakit bagi seseorang yang mengalami sakit maknawi lebih kepada sisi batiniahnya. Dalam literatur syari’at disebut juga dengan penyakit hati.
Orang-orang munafik dengan prilaku kemunafikannya sangat membahayakan, bahkan lebih berbahaya dari musuh yang nyata dan kasat mata. Bahaya yang diakibatkannya disebabkan oleh berbedanya prilaku dengan sikap hatinya. Kekafiran dibungkus oleh prilaku atau ucapan iman. Dalam ayat lain, Allah SWT juga memberikan sinyalemen:
وَاِذَا مَآ اُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ اَيُّكُمْ زَادَتْهُ هٰذِهٖٓ اِيْمَانًاۚ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَزَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ ۞ وَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا اِلٰى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كٰفِرُوْنَ ۞ اَوَلَا يَرَوْنَ اَنَّهُمْ يُفْتَنُوْنَ فِيْ كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً اَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوْبُوْنَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُوْنَ ۞
Wa idzâ mâ unzilat sûratun fa min-hum may yaqûlu ayyukum zâdat-hu hâdzihî îmânâ, fa ammalladzîna âmanû fa zâdat-hum îmânaw wa hum yastabsyirûn (124). Wa ammalladzîna fî qulûbihim maradlun fa zâdat-hum rijsan ilâ rijsihim wa mâtû wa hum kâfirûn (125). a wa lâ yarauna annahum yuftanûna fî kulli ‘âmim marratan au marrataini tsumma lâ yatûbûna wa lâ hum yadzdzakkarûn (126).
“Apabila diturunkan suatu surah, di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?” Adapun (bagi) orang-orang yang beriman, (surah yang turun) ini pasti menambah imannya dan mereka merasa gembira (124). Adapun (bagi) orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, (surah yang turun ini) akan menambah kekufuran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir (125). Tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, tetapi mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (126).” (QS. At-Taubah [9]: 124-126)
Orang-orang sakit yang diberitakan Allah SWT dalam Al-Qur’an adalah sinyal bagi orang-orang yang beriman agar dalam kehidupan sosialnya tidak tertipu oleh prilaku-prilakunya yang serba palsu, menipu dan memanipulasi. Selain ayat-ayat yang berasal dari dua surat di atas, ada banyak ayat yang memberitakan tentang orang-orang sakit yang membahayakan orang-orang beriman, di antaranya:
- Surat al-Maidah [5] ayat 52,
- Surat al-Anfal [8] ayat 49,
- Surat al-Hajj [22] ayat 53,
- Surat an-Nur [24] ayat 50,
- Surat al-Ahzab [33] ayat 19, 60,
- Surat Muhammad [47] ayat 20, 29.
Semua ayat yang memberitakan tentang orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit itu memaknakannya dan mengkategorikannya sebagai orang-orang munafik. Dan prilaku-prilaku orang-orang munafik itu rata-rata diselimuti oleh ‘kebaikan’ dan ‘keimanan’ yang palsu.
Pertanyaannya sekarang, jika kita membaca ayat-ayat yang memberitakan tentang orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit itu, maka apakah jika kita mengaku sebagai orang beriman sudah aman dari penyakit-penyakit tersebut? Pertanyaan ini adalah sebuah renungan hikmah dari i’tibar ayat-ayat di atas.
Berhubung penyakit hati ini tidak kelihatan, maka kita tidak bisa menuding orang lain sebagai ‘orang sakit’ dengan kesimpulan yang dangkal, meskipun ada tanda-tanda yang dimunculkannya dengan prilaku nyata. Kita hanya bisa berinstrospeksi diri dengan cara menelisik apa yang dilakukan dan dikatakan oleh hati dan pikiran kita sendiri.
Cobalah audit diri sendiri, adakah di antara jenis-jenis penyakit berikut menjangkiti dan mengobok-obok diri kita sendiri; munafik, dengki, benci, riya, sum’ah, ujub, takabbur, sombong, iri hati, berburuk sangka (su’sudz dzhan), merasa lebih baik, lebih benar dan lebih mulia dari orang lain, ingin mengadu domba, berkhianat terhadap komitmen, tamak, serakah, dsb.? Jika ada, lekaslah bertaubat kepada Allah SWT dan perbanyak silaturahmi dan berbuat baik kepada sesama. Keluarlah dari stigma al-Qur’an yakni golongan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit.
Penyakit ini timbul akibat kekosongan hati dari penjagaan, taufîq, pemeliharaan dan dukungan Allah. Maka, al-maradh (penyakit) di sini mengandung arti kegelapan (azdh-dzhulmah), atau kiasan bagi sesuatu yang menimpa seseorang yang menodai kesempurnaan dirinya. Mereka tak sadar, saat mereka menipu orang lain dengan kemunafikan, sebenarnya mereka hanya menipu diri sendiri. Sebab, akibat perbuatan menipu, mereka akan merasakannya sendiri. Yaitu bertambahnya penyakit hati yang mereka derita, karena tak lekas sadar diri. Seperti dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 10 di atas.
Mengenai jenis-jenis hati, Rasulullah SAW pernah bersabda;
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضَر حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِيْ شَيْبَان عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَمْرُو بْنِ مُرَّة عَنْ أَبِي الْبُخْتَرِيّ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صلى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، « اَلْقُلُوْبُ أَرْبَعَةٌ، قَلْبٌ أَجْرَدٌ فِيْهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يَزْهَرُ وَقَلْبٌ أَغْلَفٌ مَرْبُوْطٌ عَلَى غَلَافِهِ وَقَلْبٌ مَنْكُوْسٌ وَقَلْبٌ مُصَفَّحٌ فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيْهِ نُوْرُهُ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوْسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبُ فِيْهِ إِيْمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمِثْلُ الْإِيْمَانِ فِيْهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَآءُ الطَّيِّبُ وَمِثْلُ النِّفَاقِ فِيْهِ كَمَثَلِ الْقَرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُّ فَأَيُّ الْمُدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غُلِبَتْ عَلَيْهِ » ( رواه أحمد )
“Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda; bahwa hati manusia dibagi menjadi empat jenis: Pertama, qalbun ajrâd, hati yang di dalamnya terdapat pelita yang gemilang, dan inilah hati orang-orang yang beriman. Kedua, qalbun aghlâf, yaitu hati orang-orang kafir. Ketiga, qalbun mankûsh, yaitu hati orang-orang munafik yang sebenarnya mengetahui tapi kemudian ingkar, atau hati yang melihat tapi kemudian buta. Keempat, qalbun mutaraddid, berupa hati yang di dalamnya ada materi keimanan dan kemunafikan, ia akan condong kepada pemenang antara kedua materi tersebut.” (HR. Ahmad dalam Musnad)
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, hati terbagi menjadi tiga: Pertama, hati yang sehat, yaitu hati yang menjadikan pemiliknya selamat di hari Kiamat kelak. Hati seperti ini adalah hati yang selamat dari syahwat yang menjauhi larangan Allah dan syubhat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Serta hati yang senantiasa mengutamakan keridhaan Allah dalam segala hal. Hati jenis ini dikatakan sebagai hati yang hidup, tunduk, lembut dan sadar.
Kedua, hati yang mati. Yaitu hati yang tidak memiliki kehidupan, tak bisa lagi mengenal Allah, tak mengikuti perintah-Nya, dan tak tahu lagi mana yang Allah cintai atau ridhai. Hati yang mati akan terus bergelimang bersama syahwat dan kelezatannya, dan mengutamakan hawa nafsu. Ia akan kering kerontang, dan kemudian mati.
Ketiga, hati yang sakit. Yaitu hati yang masih memiliki kehidupan, namun terjangkit penyakit hati. Hati seperti ini memiliki dua kecenderungan, terkadang ditarik oleh materi yang baik, dan terkadang kepada yang buruk. Ia akan condong kepada materi yang menyenangkan. Hati jenis ini akan dekat kepada keselamatan, tapi juga rentan kepada kehancuran. Maka, hati-hatilah dengan hati kita.
Semoga Allah SWT melindungi kita dari penyakit-penyakit tersebut dan dijauhkan dari golongan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةًۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ۞ رَبَّنَآ اِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَࣖ ۞
Rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba‘da idz hadaitanâ wa hab lanâ mil ladungka raḫmah, innaka antal-wahhâb. Rabbanâ innaka jâmi‘un-nâsi liyaumil lâ raiba fîh, innallâha lâ yukhliful-mî‘âd
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari hadirat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 8-9)
Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn
__________
Source: Dari berbagai sumber