Jakarta : Mungkin Soekarno tak pernah berpikir menjadi Presiden. Mungkin juga tak pernah terucap dari bibirnya bahwa suatu hari dia ingin menjadi Presiden. Dia hanya berpikir bagaimana bangsanya segera cerdas, segera bebas dan merdeka dari Penjajahan. Bagaimana agar bangsa yang luas dan besar ini segera bersatu menyusun barisan perlawanan untuk mengusir apa yang sering dia sebut sebagai kaum imperialis, kolonialis. Kaum yang hanya mau enak sendiri dengan mengexploitasi bangsanya.
Setiap hari di benaknya bagaimana agar kaum marhaen segera hidup layak dan sejahtera, segera terbebas dari penindasan agar tidak selamanya jadi kuli di negerinya dan tidak menjadi bangsa kuli.
Dia risau melihat bagaimana hasil kebun rempah-rempah, karet, teh, kopi, tebu, gula dan lain-lain hanya dinikmati orang kulit putih Belanda dan memakmurkan Negeri Belanda, dan segelintir anteknya, sementara rakyat pribumi menderita sengsara, kurus dan miskin.
Dia terus menulis dan bersuara lantang tentang ketidak-adilan yang dilihatnya sehari-hari. Menentang dan menentang serta menggugat, sampai suatu hari dia membuat gerah sang penjajah dan membuat ia harus dihukum di penjara.
Sejak itu ia sering diisolir, diasingkan dan dipenjara. Adakah saat itu terbetik dalam pikirannya, sebuah pamrih untuk menjadi pahlawan atau presiden ? Saya yakin tidak.
Sampai akan berlangsungnya sidang Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), saya yakin Soekarno maupun Hatta tidak berpikir akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tak terpikir membentuk TIM SUKSES atau membuat spanduk: SOEKARNO FOR PRESIDENT!
Mereka hanya berpikir bagaimana konsep yang akan menjadi dasar dan aturan-aturan dalam negara baru yang mereka bangun. Sehingga tiba pada suatu titik ibarat sungai mengalir, suratan nasib membawa mereka berdua, dipercaya oleh teman-temannya dalam semangat musyawarah untuk menjadi kapten dari negara yang baru mereka dirikan. Mereka jadi PRESIDEN dan WAKIL PRESIDEN begitu saja secara alamiah sebagai buah dari jerih payah mereka tanpa hiruk-pikuk harus saling sikut dan menjelekkan satu sama lain. Tanpa fitnah, tanpa mengumbar ego-ego rendahan.
Seandainya kita menempatkan pertarungan membela rakyat dan pengabdian tulus membela rakyat sebagai tolak ukur dalam memilih Presiden dan membiarkan rakyat menilai dengan cermat siapa pejuang sesungguhnya maka pasti akan lahir Presiden yang murni yang akan memajukan bangsa ini. Padahal persoalan bangsa yang dihadapi Soekarno tahun 20an s/d 40an sama saja dengan sekarang: Ada penjajahan (gaya baru), ada exploitasi SDA, ada banyak rakyat tertindas, ada banyak ketidak-adilan, dst bahkan lebih dahsyat.
Lalu mengapa kaum pejuang yang selalu menyuarakan masalah-masalah tersebut di atas tidak mendapat tempat untuk kita dorong jadi pemimpin bangsa? Bukankah mereka ada di kampus, di LSM, di Ormas atau di Gerakan Buruh/Pengacara/Wartawan/Aktifis? Bukankah mereka ada yang unggul dalam integritas, kejujuran, track record dan kepedulian? Mengapa kita membiarkan kaum penjajah itu membangun RUTE SESAT dalam cara kita memilih Pemimpin bangsa? Membiarkan aktor-aktor yang digelembungkan media massa / lembaga survey sehingga kita silau untuk membedakan mana emas mana perak? Bahkan membiarkan antek asing berperan dalam ajang yang begitu strategis ini? Bukankah cara sesat ini telah menipu kita? Setelah berkuasa tak peduli nasib rakyatnya bahkan menjual bangsanya?
Seharusnya kita menempuh rute Soekarno (pergulatan pemikiran dan pertarungan dilapangan membela rakyat) itulah yang jadi patokan untuk menentukan siapa Pemimpin atau Presiden sesungguhnya dalam menghadapi tantangan zaman ini. Rute ini juga yang ditempuh Lula da Silva untuk merubah Brazil. Bukan membiarkan RUTE PRESIDEN IDOL yang sesat ini (akan) mengatur hidup kita!
Oleh : DRS H. MUHAMMAD HATTA TALIWANG, BSW