SETIAP bangunan suci pasti didirikan dengan suatu tujuan tertentu. Sebagian dibuat untuk menampilkan kepemurahan pembangunnya. Sebagian agar pembangunnya dikenal, dan sebagian lagi mengharapkan imbalan-imbalan di akhirat kelak. Namun tujuan yang sesungguhnya dari bentuk-bentuk penghormatan terhadap para kekasih Allah dan memperindah makam-makam mereka, seharusnya adalah Allah.
Para kekasih Allah sendiri tidak peduli dengan sikap-sikap pemuliaan semacam itu. Kemuliaan mereka adalah karena yang di dalam mereka sendiri sudah mulia, dan kemuliaan itu sudah memancar dengan sendirinya–bukan karena dimuliakan orang lain. Jika sebuah lentera harus ditempatkan di tempat yang tinggi, sesungguhnya itu karena kepentingan orang lain yang membutuhkan jangkauan cahaya yang lebih jauh, dan bukan karena lentera itu merasa lebih mulia dari lentera lainnya. Apakah di tempat tinggi atau rendah, dimanapun dia, keinginan sebuah lampu hanyalah memancarkan cahaya. Cahayanya harus menjangkau mereka yang membutuhkan.
Seandainya matahari yang ada di langit itu sekarang berada di bawah kita, ia tetap saja matahari yang sama. Namun dunia kita yang menjadi gelap. Matahari ada di atas, bukan karena kemuliaan dirinya, namun demi kepentingan makhluk lain. Maka mudahnya, sama seperti itu, para kekasih Allah sudah melampaui ‘atas’ dan ‘bawah’, ‘tinggi’ dan ‘rendah’, maupun pujian-pujian penghormatan dari orang lain.
Kita sendiri, ada saat-saat ketika setitik cahaya dari alam jiwa mengenai kita atau terwujud dalam diri kita, pada titik itu kita tidak akan peduli dengan ‘tinggi’ atau ‘rendah’, ‘mulia’ atau ‘pembesar’, atau bahkan terhadap kepentingan diri kita sendiri, hal yang terdekat dengan diri kita. Maka bagaimana mungkin para kekasih Allah, yang menjadi sumber cahaya dan sumur air hikmah itu, masih terikat pada ‘tinggi’ atau ‘rendah’? Kemuliaan bagi mereka adalah sirna, lenyap dalam apa yang Allah kehendaki bagi dirinya, sementara Allah sama sekali terlepas dari ‘tinggi’ dan ‘rendah’. ‘Tinggi’ dan ‘rendah’, ‘atas’ dan ‘bawah’ adalah untuk kita yang ada dalam eksistensi fisik, pada kita yang terpenjara dengan kedudukan ‘kaki’ dan ‘kepala’.
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali kalian mengatakan bahwa aku lebih baik dari Yunus bin Matta (Nabi Yunus a.s)”–H. R. Bukhari 3160–hanya karena ‘mi’raj’-nya Nabi Yunus adalah ke perut ikan paus, dan Rasulullah ke Sidratul Muntaha di langit ke tujuh. Yang Beliau saw maksud adalah, jangan memuliakan Beliau dari Nabi Yunus hanya karena puncak spiritualnya adalah di perut ikan paus sementara Rasulullah di langit ketujuh–karena Allah sama sekali tak terkait ‘atas’ dan ‘bawah’. Dia ta’ala di luar itu. Bagi-Nya, di langit ke tujuh dan di perut ikan paus sama saja, jika itu adalah puncak kedekatan seseorang pada-Nya.
Begitu banyak manusia melakukan hal-hal yang ‘berlawanan’ dengan kehendak Allah. Allah menghendaki ajaran yang dibawa Muhammad saw. menjadi agama yang agung, selalu ada, dan terus berlaku sampai akhir zaman. Tapi lihatlah ada berapa perbedaan interpretasi terhadap Al-Qur’an yang telah dibuat, dengan tambahan lagi perbaikan volume kesepuluh dari sepuluh volume, atau volume kedelapan, atau keenam. Tujuan masing-masing pengarangnya adalah untuk menampilkan kelebihan buatannya, atau kelebihan dirinya, dibandingkan yang lainnya.
Zamakhsari dalam kitab “Al-Kasyaf”-nya menjelaskan begitu banyak rincian-rincian spesifik terhadap tatabahasa, gaya bahasa, maupun pengungkapan retoris Al-Qur’an untuk menunjukkan kepintarannya. Meski begitu, tujuan besarnya tetaplah terpenuhi: itu adalah pemuliaan tentang apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Setiap orang, pada dasanya sedang melaksanakan kehendak Allah, seberapapun tidak pahamnya mereka dengan tujuan tersebut, walaupun dengan tujuan yang sama sekali berbeda dalam pikiran mereka. Allah menghendaki dunia terus ada, maka manusia membiarkan diri mereka tenggelam dalam hasrat dan memuaskan hasrat-hasrat mereka dengan lawan jenis untuk tujuan-tujuan pencapaian kenikmatan belaka, namun dari sana akan lahir anak-anak manusia. Seperti ini, mereka melakukan hal-hal demi memuaskan kesenangan mereka saja, namun sebenarnya yang mereka lakukan adalah memastikan dunia terus berjalan dan dijaga keberlangsungannya. Maka kehendak mereka pun sebenarnya tunduk pada kehendak Allah, walaupun tidak ada sama sekali niat itu pada mereka.
Sama seperti itu juga, orang-orang yang membangun masjid menghabiskan uang yang banyak untuk membeli pintu-pintu yang indah, dinding, dan atap. Namun pintu, dinding dan atap masjid sesungguhnya dibeli karena adanya ka’bah di arah kiblat, obyek ‘pemuliaan’ yang lebih agung lagi dari sekedar pintu yang mahal, dinding, atau atap, walaupun para penyumbang sama sekali tidak menyadari hal ini ketika menyedekahkan uangnya.
Keagungan dan kemuliaan para kekasih Allah tidak akan tampak dalam bentuk-bentuk luar. Ketinggian dan kemuliaan yang ada dalam diri mereka tidak bisa dibandingkan. Sekeping dirham (keping perak) tentu “di atas” sekeping pul (keping tembaga), namun apa sebenarnya makna “di atas” sekeping pul? Tentu bukan karena bentuk-bentuk lahiriahnya. Kalau kau taruh sekeping dirham di atap dan sekeping emas di ruang bawah tanah, biar bagaimanapun sangat bisa dipastikan bahwa keping emas di bawah tanah tetap ada “di atas” keping dirham di atap.
Demikian pula, rubi dan mutiara “di atas” keping emas, tak peduli di manapun atas bawahnya kau letakkan mereka. Sama seperti itu, gandum berkedudukan di atas batu penggilingan, dan kedudukan tepung ada di bawahnya. Kalau tepung ingin di atas, bagaimana mungkin ia akan menjadi tepung? Kemuliaan tepung bukanlah karena sifat-sifat fisiknya.
Di alam yang hanya berisi hakikat, sesuatu ada “di atas” adalah karena esensinya.
____________
(Jalaluddin Rumi, “Fihi Ma Fihi”: Kuliah ke-24, terjemahan oleh Herry Mardian. Dari “Signs of the Unseen”, translated by W. M. Thackston, Jr.).