PERHELATAN politik tahun 2018, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak, menjadi daya tarik sekaligus daya uji bagi keteguhan seseorang dalam bersikap: memihak atau tetap netral. Daya tarik, karena Pilkada sebagai salah satu unsur demokrasi agar keterlibatan publik dalam pemerintahan medapat peluang tanpa hambatan.
Sirkulasi kekuasaan hanya akan terjadi di negara demokratis. Karena itu menjadi hak semua rakyat, dari kalangan mana pun, dari profesi apa pun, untuk terlibat dalam politik.
Bukan hanya tentara dan polisi yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Dari kalangan artis penghibur, aktor, seniman, dan wartawan rela menanggalkan profesinya untuk kemudian “jibreg” di dunia politik.
Pentolan sekaligus vokalis Pasha Ungu berhasil menjadi Wakil Walikota Palu. Begitu juga aktor kawakan Deddy Mizwar sukses mendampingi Ahmad Heryawan sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat.
Ini bukan gejala baru. Karena sebelumnya, Dede Yusuf dan Nurul Arifin sudah lebih dulu terjun di dunia politik.
Hanya saja yang membedakannya, jika Dede Yusuf dan Nurul Arifin terlebih dahulu melalui tempaan di partai politik, beberapa artis dan aktor lainnya ada yang secara instan langsung melenggang ke kursi DPR bahkan ke kursi kepala daerah. Contoh paling nyata adalah Pasha Ungu dan Deddy Mizwar.
Kita maklum musim Pilkada 2018 pasti akan memobilisasi banyak orang, baik yang terjun secara langsung ikut memperebutkan kekuasaan maupun yang ikut dalam barisan pendukung dan pembela jagoannya.
Bukan hanya mesin partai yang bergerak, elemen masyarakat lain pun ikut terjun ke politik dan jadi bagian dari tim sukses atau pun sekadar simpatisan; apakah aktivis sosial, LSM, wartawan, pengacara, dan tentu saja dari kalangan seniman.
Antara Tabu dan Abu-abu
Seniman dan wartawan yang karena posisinya ditempatkan agak istimewa dalam strata sosial kerap menjadi sorotan tajam dari publik dalam konteks politik praktis. Penting untuk dipertanyakan sejauh mana batas-batas yang bisa ditolerir para seniman dan wartawan untuk melibatkan diri dalam politik praktis?
Sejauh mana seniman dan jurnalis bisa bergabung dengan tim sukses para kandidat? Sejauh mana seniman dan jurnalis secara individual bisa mengungkapkan dukungannya secara terbuka ke publik serta media bisa menyatakan dukungan ke kandidat? Sebelum membahas pertanyaan kesatu dan kedua, saya ingin menjawab pertanyaan ketiga dulu.
Untuk mendukung sebuah kandidat yang dianggapnya bisa membawa perubahan ke arah demokrasi yang sehat dan substansial, seorang seniman dan wartawan, bahkan media sebagai institusi, sepertinya sudah tidak tabu lagi untuk mengemukakan argumentasi secara terbuka ke publik.
Budayawan Goenawan Mohamad pernah menyatakan dukungannya kepada pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada Pilpres 2009 dan Jokowi pada Pilpres 2014.
Begitu juga penyair Mochtar Pabottinggi yang juga peneliti LIPI pernah menyatakan sikapnya melalui tulisan dengan mendukung Jusuf Kalla pada Pilpres 2009. Kedua penyair ini mengungkapkan argumentasinya secara terbuka dan asyik untuk jadi bahan diskusi, apakah hal itu merupakan hal yang tabu atau sekadar wilayah abu-abu.
Lalu media sebagai institusi pilar keempat demokrasi yang netralitasnya dianggap sebagai kesucian, dalam Pilpres 2014 terjadi fenomena menarik. Majalah Tempo jauh sebelum Jokowi dan Prabowo mendaftar ke KPU sebagai kandidat presiden, dalam editorialnya sudah menyatakan secara institusi media tersebut tidak memilih Prabowo dengan alasan keterlibatan sang jendral dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia.
Lalu The Jakarta Post, dalam masa kampanye dan menjelang pencoblosan, editorialnya menyatakan dengan jelas dan tegas mendukung Jokowi. Ini tentu jadi bahan kajian yang menarik bagaimana sebuah institusi media sekarang berani terang-terangan menyatakan dukungan politik. Dengan demikian, pertanyaan ketiga sudah terjawab dan akhirnya tergantung pada kita, apakah argumentasi mereka bisa diterima atau tidak.
Berangkat dari teori demokrasi, pertanyaan pertama sebetulnya mudah dijawab, siapa pun berhak untuk ikut serta dalam politik praktis. Dengan demikian, seniman dan wartawan tidak akan ada hambatan untuk ikut dalam percaturan politik praktis, dan hal ini sudah dibuktikan dalam realitas politik Indonesia saat ini dengan hadirnya artis, seniman dan wartawan di parlemen.
Namun tentu saja, begitu masuk ke wilayah politik praktis, terutama wartawan, seperti halnya profesi pengacara, akan menanggalkan profesinya. Paling tidak akan non aktif sebagai wartawan selama menjadi politisi.
Hal ini penting karena interes politiknya akan mempengaruhi tulisan-tulisannya sesuai dengan bingkai kepentingannya. Biasanya diatur dalam kode etik profesi, peraturan perundangan atau peraturan perusahaan.
Eros Djarot sudah memberi contoh baik dalam soal ini. Walaupun karier politiknya selalu kandas, ia telah lama meninggalkan kiprahnya di dunia kesenian dan jurnalis, sehingga ia berada dalam wilayah yang jelas, tidak di wilayah abu-abu.
Menjerumuskan Seniman
Seniman memang terlalu gawat untuk menyentuh politik praktis, walaupun sekadar jadi tim sukses, tim ahli perumus atau ikut wara-wiri bersama kandidat dan timnya. Bahkan seorang seniman yang terlalu rajin diundang ke istana atau pun terlalu sering bertemu presiden kita sering bertanya, ada apa gerangan?
Seniman memang sebuah pekerjaan, tapi tidak memiliki kode etik profesi seperti halnya wartawan, dokter, pengacara atau profesi lainnya. Masuk akal seniman tidak perlu dipagari kode etik karena terlanjur dianggap mampu menempatkan dirinya dan mampu melihat mana yang etis dan tidak.
Sebagaimana ulama, kehadiran seniman terlanjur dipercaya sebagai orang-orang yang istimewa dengan kemampuannya mengolah keindahan atau estetika yang bisa mencerahkan publik. Sebuah karya seni indah karena dianggap mengandung dimensi moral dan kemanusiaan. Kedua dimensi ini ditopang oleh sikap kritisnya.
Modal kritis hanya dimungkinkan jika berjarak dengan kekuasaan. Karena itu, walaupun tanpa kode etik, seniman ataupun budayawan terlanjur dipercaya sebagai penjaga moral dan pilar kemanusiaan serta pemelihara akal waras.
Namun kita lupa bahwa seniman adalah manusia juga. Untuk melihat persamaan bahwa seniman sama juga dengan tukang becak, dosen, tukang lotek, aktivis LSM, tukang ojeg, ulama dan sekerumuman orang yang mempunyai pekerjaan apapun dan berhasrat meraih sedikit keuntungan, bisa dilihat pada musim Pilkada.
Seniman tidak salah karena ia juga butuh makan dan punya syahwat poltik, tapi mungkin publik yang terlanjur menempatkan seniman terlalu tinggi dalam strata sosial. Lebih salah lagi ketika menganggap seniman sebagai mahluk suci.
Sehingga ketika kita melihat ada seniman di media sosial atau di mana pun ikut-ikutan mendukung kemenangan seorang kandidat di Pilkada, kita melenguh seperti lembu,lalu kecewa.
Realitas itulah yang sedang terjadi sekarang ini. Penampakan seniman dan jurnalis hadir dalam kerumunan kandidat Pilgub atau Pilwalkot/Pilbup beserta para pendukungnya bisa dilihat baik melalui media sosial atapun secara nyata di lapangan.
Bahkan seniman bisa “ngajegang”, ia mendukung kandidat di Pilgub Jabar yang didukung oleh partai tertentu, sementara ia pun mendukung kandidat di Pilwalkot Bandung yang diusung oleh partai yang berbeda dengan partai yang mengusung kandidat di Pilgub Jabar. Artinya sang seniman mempunyai kemampuan yang luwes untuk mengikuti warna apa pun sesuai dengan pilihannya.
Melihat realitas tersebut publik layak kecewa, karena politik praktis bagaimanapun serupa semak belukar yang banyak duri, lumpur dan ranjau dalam merengkuh kekuasaan. Asas moral politik demokratis seperti yang diuraikan Ian Shapiro (buku: Asas Moral dalam Politik) yang membentangkan jalan bagi publik untuk berlomba dalam tugas-tugas kemanfaatan publik dalam realitasnya menihilkan moral demi mencapai kekuasaan, bahkan jadi ajang lomba untuk merampok anggaran publik untuk mengganti biaya yang mahal.
Inilah jebakan yang menjerumuskan para seniman yang ikut eforia dalam Pilkada. Akibat segelintir seniman atau budayawan yang gemar berpetualang ini, aroma kesenimanan tidak wangi lagi.*
- Oleh: Cecep Burdansyah, Penulis, tinggal di Bandung dan Semarang
- Source: Tribun Jabar