Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sebelum aku mulai risalah kecilku ini, bacalah dengan perlahan dengan hati yang tenang, semoga Allah akan melimpahkan kekuatan kepadamu dalam mengarungi kehidupan ini…
إِلٰهِيْ إِنَّ قُدْرَتَكَ عَلَى كَشْفِ مَا أَنَا فِيْهِ كَقُدْرَتِكَ عَلَى مَا ابْتَلَيْتَنِيْ بِهِ، وَإِنَّ ذِكْـرَ عَوَآئِدِكَ يُوْنِسُنِيْ، وَالرَّجَآءُ فِي إنْعَامِكَ وَفَضْلِكَ يُقَوِّيْنِيْ، لِأَنِّيْ لَمْ أَخْلُ مِنْ نِعْمَتِكَ مُنْذُ خَلَقْتَنِي
Ilãhî, inna qudrataka ‘alã kasyfi mã anã fîhi kaqudratika ‘alã mã ibtalaytanî bihi, wa inna dzikra ‘awãidika yûnisunî, war-rajãu fî in’ãmika wa fadhlika yuqawwînî, li-annî lam akhlu min ni’matika mundzu khalaqtanî
“Ya Allah, Kekuasaan-Mu untuk melepaskan aku dari apa yang aku alami sama seperti kekuasaan-Mu untuk menguji-ku. Sungguh, mengenang kebaikan-Mu membahagiakan-ku. Harapan akan nikmat dan anugrah-Mu menguatkanku. Karena tidak pernah aku kehilangan nikmat-Mu sejak Kau ciptakan aku.”
Inilah risalah yang baik yang dibuat oleh H. Derajat murid yang dha’if yang selalu mengharap keberkahan dari Mursyid-mursyidnya yang mulia Kyai Muhammad Arja’en, Syeikh Rahmatullah, Kanjeng Sunan Gunung Jati dan tentunya dari yang mulia Mursyidnya tercinta Syeikh Abdurrauf Fanshuri yang sebagian kecil dari ilmunya yang sangat luas tertuang dalam risalah ini.
Mursyid kami yang agung Syeikh Abdurrauf telah berpesan agar kita selalu mentauhidkan Allah ta’ala; jika kita mengatakan wahhadtu Allãha وحدت الله (aku mengesakan Allah), maka yang dimaksud adalah nasabtuhu ila al-wahdãniyyah نسبته إلى الوحدانية (aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa) bukan ja’altuhû wãhidan جعلته واحدا (aku menjadikan Allah Esa). Syeikh kami memandang bahwa hal tersebut perlu ditegaskan, karena sifat Esa bagi Allah itu adalah sesuatu yang telah melekat pada Zat-Nya sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.
Tauhid adalah bekal utama yang harus ditanamkan seorang Mursyid kepada para muridnya sebelum para murid tersebut menjalankan amalan-amalan dalam tarekat.
فَاعْلَمْ اَيُّهَا الْمُرِيْدُ وَفَّقَنَا اللّٰهُ وَاِيَّاكَ لِطَاعَتِهِ وَاسْتَعْمَلْنَا وَاِيَّاكَ فِيْمَا يَرْضَاهُ اَنَّ اَوَّلَ وَاجِبٍ عَلَيْكَ تَوْحِيْدُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالٰى وَتَنْزِيْهُهُ مِمَّا لَا يَجُوْزُ عَلَيْهِ بِكَلِمَةِ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ الْجَامِعَةُ لِجَمِيْعِ مَرَاتِبِ التَّوْحِيْدِ اْلأَرْبَعَةِ
Fa’lam ayyuhal murîdu, waffaqanallãhu wa iyyãka lithã’atihi wasta’malnã wa iyyãka fîmã yardhãhu anna awwala wãjibin ‘alaika tauhîdul haqqi subhãnahû wa ta’ãlã watanzîhuhû mimmã lã yajûzu ‘alaihi bikalimãti lã ilãha illallãhu al-jãmi’atu li-jamî’i marãtibit tauhîdil arba’ati
“Selanjutnya, ketahuilah wahai murid, –semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan kepadamu untuk ta’at kepadaNya, dan semoga Allah menghendaki kita untuk melakukan apa yang diridhaiNya– bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan al-Haqq swt, dan mensucikanNya dari hal-hal yang tidak layak bagiNya dengan kalimat: Lã ilãha illã Allãh, yang menghimpun empat tingkatan tauhid yaitu tauhid ulûhiyyah (mengesakan Ketuhanan Allah), tauhid af’ãl (mengesakan Perbuatan Allah), tauhid sifat (mengesakan Sifat-sifat Allah) dan tauhid zat (mengesakan Zat Allah) yang dalam konteks tasawuf dianggap sebagai tauhid tertinggi”.
Salah satu bukti keesaan Allah ta’ala adalah tidak rusaknya alam sebagaimana Allah berfirman :
لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَا ۞
Law kãna fîhimã ãlihatun illallãhu lafasadatã
“Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu telah rusak binasa”.
Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi adalah bagian tak terpisahkan dari alam.
Apakah hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, antara al-Haqq dan al-khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Esa dan yang banyak, antara al-Wujûd dan al-maujûdãt, antara Wãjibul Wujûd dan al-mumkinãt? Maka Syeikh kami mengatakan tentang alam adalah:
إِسْمٌ لِمَا سِوَى الْحَقِّ عَزَّ وَجَلَّ
Ismun limã siwal haqqi ‘azza wa jalla
“….nama untuk segala sesuatu selain al-Haqq (Allah) Yang Mahamulia dan Mahaagung”.
Kemudian tentang alam Syeikh kami menambahkan :
اَلْوُجُوْدُ الْمُقَيَّدُ بِصِفَاتِ الْمُمْكِنَاتِ وَلِهٰذَا يَطْلُقُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ سِوَى الْحَقِّ
Al-wujûdul muqayyadu bishifãtil mumkinãti wa lihãdzã yathluqu ‘alaihi bi annahu siwal haqqi
“…wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang mungkin), oleh karena itulah, alam ini dikatakan sebagai sesuatu selain al-Haqq”.
Berangkat dari penjelasan dalam konsep tauhid ini bahwa satu-satunya wujud adalah Allah (Lã ilãha illã Allãh), tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al-Haqq, segala sesuatu selain al-Haqq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya wujud adalah al-Haqq, bagaimana dengan alam (al-khalq)? Apakah alam identik dengan Allah? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali? Maka Mursyid kami yang mulia Syeikh Abdurrauf menyatakan;
وَهُوَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْحَقِّ كَالظِّلِّ وَلَيْسَ هُوَ سَيِّئًا زَائِدًا عَلَى حَقَائِقِ مَعْلُوْمَةٍ لِلْحَقِّ أَزَلًا مُتَّصِفَةً بِالْوُجُوْدِ ثَانِيًا اِنْتَهَى، فَالْاِنْسَانُ عَلَى هٰذَا ظِلُّ الْحَقِّ أَوْ ظِلُّ ظِلِّهِ
Wa huwa binnisbati ilal haqqi kadzh-dzhilli wa laysa huwa sayyian zãidan ‘alã haqãiqi ma’lûmatin lil-haqqi azalan muttashifatan bil-wujûdi tsãniyan, intahã. Fal-insãnu ‘alã hãdzã dzhillul haqqi aw dzhillu dzhillihi
“Dan jika dihubungkan dengan al-Haqq, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang telah diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud. Karena itu, menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al-Haqq, atau bayangan dari bayanganNya”.
Mursyid kami Syeikh Abdurrauf mengutip perkataan Syeikh Ibnu Arabi :
وَاَعْيَانُنَا فِى نَفْسِ اْلأَمْرِ ظِلُّهُ لَا غَيْرُهُ
Wa a’yãnunã fî nafsil amri dzhilluhu lã ghairuhu
“Pada hakikatnya, entitas kita adalah bayangan Allah, tidak lain dari itu”.
Sehingga dapat disimpulkan, Mursyid kami berpendapat bahwa, alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, karena alam hanya merupakan bayanganNya, bukan wujudNya. Beliau menegaskan transendensi Tuhan atas makhlukNya. Alam ini termasuk manusia di dalamnya, tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayanganNya. Kehadiran bayangan itu sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.
وَمَا نَحْنُ إِلَّا بِهِ وَلَهُ
Wamã nahnu illã bihî wa lahû
“Keberadaan kita ini semata-mata karena Dia, dan milikNya”.
Bahwa segala sesuatu selain Allah yaitu alam ini bersum-ber padaNya dan keberadaannya pun sangat tergantung pada wujudNya.
Syeikh kami berpandangan bahwa alam adalah bayangan Allah semata dan bukan benar-benar zat al-Haqq, agar lurus pandangan bahwa al-Haqq adalah mutlak sebagai Pencipta alam raya ini. Sang Pencipta mustahil mencipta-kan zatNya sendiri secara utuh.
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Khãliqu kulli syai-in
“Ia adalah Pencipta segala sesuatu”.
Di dalam al-Quran tidak sekalipun Allah mengatakan bah-wa Ia menciptakan zatNya sendiri. Kepada Nabi yang mulia Muhammad saw, Allah mengatakan; Qul Allãhu khãliqu kulli syai’in قل الله خالق كل شيء (katakanlah Wahai Muhammad; Allah adalah Pencipta segala sesuatu) dan Dia Yang Maha Suci mengatakan; Wa Allãhu khalaqakum wa mã ta’malûna والله خلقكم وما تعملون dan Allah tidak mengatakan wa Allãhu khãliqu ‘ainihi والله خالق عينه (Dan Allah menciptakan zatNya sendiri). Juga dalam al-Quran dikatakan al-hamdulillãhi rabbi al-’ãlamîna الحمد لله رب العالمين (segala puji bagi Allah seru sekalian alam) dan tidak pernah dikatakan al-hamdulillãhi rabbi ‘ainihi الحمد لله رب عينه (segala puji bagi Allah, Tuhan zatNya sendiri). Syeikh kami berargumen jika alam adalah zat Allah sendiri, tentu Dia tidak akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang memberatkan, seperti puasa, shalat dan sebagainya.
Jika manusia benar-benar merupakan zat Allah maka seharusnya manusia bisa mewujudkan apapun yang dikehendakinya dan dikatakannya dalam sekejap. Sedangkan dalam al-Quran dikatakan Idzã arãda syai’an an yaqûla lahû kun fayakûnu إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكنون (apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, jadilah !!! Maka terjadilah ia). Namun kenyataannya manusia tidak mampu melakukan itu karena kehendaknya tidak bisa selalu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia, alam atau al-khalq tidak identik dengan Allah, atau al-Haqq secara mutlak.
Dalam hadits Qudsi dikatakan :
يَاابْنَ آدَمَ، تُرِيْدُ وَاُرِيْدُ وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا مَا أُرِيْدُ فَإِنْ سَلَّمْتَ لِى فِيْمَا اُرِيْدُ اَعْطَيْتُكَ مَا تُرِيْدُ وَإِنْ نَزَعْتَنِىْ فِيْمَا أُرِيْدُ اَتْعَبْتُكَ فِيْمَا تُرِيْدُ ثُمَّ لَا يَكُوْنُ إِلَّا مَا أُرِيْدُ ۞
Yabna ãdama, turîdu wa urîdu walã yakûnu illã mã urîdu fa-in sallamta lî fîmã urîdu a’thaituka mã turîdu wa-in naza’tanî fîmã urîdu at’abtuka fîmã turîdu tsumma lã yakûnu illã mã urîdu.
“…Wahai anak Adam!! Engkau mempunyai keinginan, Aku pun demikian, tapi tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan, dan jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku inginkan”.
Dapat disimpulkan di sini tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri.
Syeikh kami berpendapat bahwa alam tercipta melalui proses pemancaran al-faid (emanasi) dari zat Allah. Proses keluarnya alam sebagaimana proses keluarnya pengetahuan dari Allah. Dengan demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga tidak berbeda denganNya secara mutlak pula karena alam bukan wujud kedua yang benar-benar terpisah dariNya.
Sebagaimana Syeikh kami mengambil dari kitab Bulgah al-Masir :
وَحَاصِلُهُ اَنَّ وُجُوْدَ الْعَالَمِ لِكَوْنِهِ لَيْسَ وُجُوْدًا مُسْتَقِلًّا اِسْتِقْلَالًا بَلْ فَائِضَةً وَالْمُرَادُ بِالْفَيْضِ هُوَ كَفَيْضِ الْعِلْمِ مِنْهُ تَعٰلٰى كَمَا لَا يَتَّصِفُ بِكَوْنِهِ عَيْنِ الْحَقِّ لِكَوْنِهِ مُبْدِعًا كَذَالِكَ لَا يَتَّصِفُ بِأَنَّهُ غَيْرُهُ مَغَائِرَةً تآمَّةً بِحَيْثُ يَتَّصِفُ بِأَنَّهُ وُجُوْدُ ثَانٍ مَعَهُ مُسْتَقِلٌّ
Wa hãshiluhu anna wujûdal ‘ãlami likaunihi laysa wujûdan mustaqillan istiqlãlan bal fãidhatan wal-murãdu bil-faidhi huwa ka faidhil ‘ilmi minhu ta’ãlã kamã lã yattashifu bikaunihi ‘ainil haqqi likaunihi mubdi’an kadzãlika lã yattashifu bi-annahu ghairuhu maghãiratan tãmmatan bihaitsu yattashifu bi-annahu wujûdu tsãnin ma’ahû mustaqillun.
“Walhasil, wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar zat al-Haqa –karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dariNya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah”.
Demikianlah pandangan Syeikh kami tentang faham Wahdatul Wujûd yaitu alam bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari al-Haqq, karena ia adalah pancaran dari zatNya. Juga alam bukanlah zat al-Haqq secara mutlak melainkan sekedar bayanganNya, atau bahkan bayangan dari bayanganNya karena Tuhan adalah Zat Yang Esa, tidak ada sesuatupun yang menyertaiNya (lã syarîka lahû), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muhîth).
وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ ۞
Wa huwa ma’akum ainamã kuntum
“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada”.
كَانَ اللّٰهُ وَلَا شَيْءَ مَعَهُ
Kãnallãhu wa lã syai’a ma’ahu
“Allah tetap seperti adaNya tak ada sesuatu pun yang menyertaiNya”.
Syeikh kami pun mengutip keterangan para ulama :
وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
Wa huwal ãna ‘alã mã ‘alaihi kãna
“Keadaan Allah sekarang, sama dengan keadaanNya dahulu”.
Demikianlah aku tutup bagian pertama risalah ini, semoga Allah melimpahkan ilmu dan kefahaman kepada kita semua agar tidak tergelincir kepada kesesatan. Ãmîn Yã Rabbal ‘ãlamîn.
Wassalam,
Jakarta,
Ahad, 6 Ramadhan 1442 H./
18 April 2021 M.
Silahkan download Ebook “Risalah Penerang Hati” di bawah ini: