“Ajaran adab yang disampaikan oleh Hadratusysyeikh Muhammad Hasyim Asy’ari”
Oleh: Raden Mahmud Sirnadirasa*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Dengan menukil sebuah hadits dari Nabi kita yang Mulia: Nawas Ibnu Sam’an radliyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW) tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau SAW bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya.” (Riwayat Imam Muslim)
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad, Al Hakim dan Al Bukhari)
Sebegitu pentingnya akhlak atau adab di dalam kehidupan seseorang, dan aku pernah meneliti mengapa saat ini manusia banyak mengalami keresahan, dan selalu menganggap dirinya paling hebat, berpikiran ingin merusak orang lain dengan dalih tidak sesuai dengan aturan dalam agamanya dan lain-lain yang tidak pernah terjadi di zaman para orang-orang sholeh dahulu, ternyata faktor menimba ilmu dari orang yang dianggap gurunya tidaklah diperoleh dengan mencerminkan adab yang mulia.
Untuk mengembalikan pada aturan akhlak mulia bagi seorang murid, maka aku ingin memberikan pandangan dari seorang Wali Allah Hadratusysyeikh Hasyim Asy’ari yang pernah dipaparkan oleh saudara M. Mubasyarum Bih.
Keberhasilan para ulama tidak bisa dilepaskan dari faktor etika kepada guru/kiainya. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa 70 persen keberhasilan santri dikarenakan adabnya, 30 persen karena kesungguhannya.
Ilmu para ulama tidak hanya bermanfaat untuk dirinya namun juga untuk masyarakat luas. Tidak pula berkaitan dengan urusan ‘ubudiyyah mahdlah namun juga berhubungan dengan interaksi sosial keumatan.
Bagaimana kiat dan langkah menjadi pelajar yang beretika kepada gurunya?
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-Muta’allim menyebutkan ada 12 adab seorang santri kepada gurunya.
Pertama, berpikir matang-matang sebelum memilih guru.
Seorang santri tidak boleh sembarangan memilih guru yang hendak ia timba ilmu dan adabnya. Sebelum memutuskan siapa gurunya, hendaknya terlebih dahulu beristikharah, meminta petunjuk kepada Allah agar diberi guru yang terbaik untuk dirinya. Bila memungkinkan, guru yang dipilih sebaiknya adalah pribadi yang betul-betul mumpuni ilmunya, dapat menjaga harga dirinya, memiliki kasih sayang, dan masyhur keterjagaannya (dari hal-hal tercela).
Guru sebaiknya juga seseorang yang baik penyampaiannya. Karena begitu pentingnya memilih seorang guru, sebagian ulama mengatakan:
هَذَا الْعِلْمُ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambilnya.”
Kedua, memilih guru yang kredibel
Guru yang dipilih hendaknya orang yang mengerti agama secara sempurna, sanad keilmuannya jelas, yaitu mereka yang diketahui mengambil ilmu dari para masyayikh yang cerdas, dari gurunya lagi, hingga Rasulullah SAW. Tidak cukup belajar agama dari seseorang yang hanya mengambil ilmu dari buku-buku tanpa digurukan.
Menurut Hadratussyekh, belajar tanpa memiliki sanad keilmuan yang jelas atau hanya mencukupkan dari buku-buku, sangat mengkhawatirkan. Rentan sekali terdapat kekeliruan. Oleh karenanya, di samping rajin membaca dan mempelajari buku-buku, penting sekali untuk mencari guru yang mentashih atau membenarkan.
Rais akbar Nahdlatul Ulama tersebut mengutip statemen Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu:
مَنْ تَفَقَّهَ مِنْ بُطُوْنِ الْكُتُبِ ضَيَعَ الْاَحْكَامَ
“Barangsiapa belajar fiqih dari buku-buku (tanpa digurukan), maka ia telah menyia-nyiakan hukum-hukum agama.”
Ketiga, mematuhi segala perintah guru Murid hendaknya adalah pribadi yang mentaati arahan gurunya.
Sam’an wa tha’atan, mendengar dan mematuhi apa pun yang diarahkan gurunya. Ibarat pasien yang sakit, ia harus senantiasa mematuhi petunjuk dokternya. Berapa kali ia harus meminum obat dalam sehari, pola makan yang harus dijaga dan hal-hal lain yang diperintahkan oleh sang dokter. Demikian pula pelajar, bila ia ingin sembuh dari penyakit kebodohannya, ia harus menuruti resep pengajaran dari gurunya. Pasien yang susah diatur, banyak menentang dokternya, sulit bagi dia untuk sembuh.
Senada dengan pendapat KH. Hasyim Asy’ari, dalam pandangan kaum shufi, posisi murid di hadapan gurunya, seperti jenazah di tangan orang yang memandikannya. Ia harus pasrah secara total, mau dimandikan dalam posisi bagaimanapun. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ الْاِسْتِمْسَاكُ بِهَدْيِهِ وَالدُّخُوْلُ تَحْتَ جَمِيْعِ أَوَامِرِهِ وَنَوَاهِيْهِ وَرُسُوْمِهِ حَتَّى يَصِيْرَ كَالْمَيِّتِ بَيْنَ يَدَيِ الْغَاسِلِ، يُقَلِّبُهُ كَيْفَ شَاءَ
“Seharusnya murid berpegangan kepada petunjuk guru, tunduk patuh atas segala perintah, larangan dan garis-garisnya, sehingga seperti mayit di hadapan orang yang memandikan, ia berhak dibolak-balik sesuka hati.” (Syekh Ibnu hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Haditsiyyah, juz 1, hal. 56)
Keempat, memandang guru dengan pandangan memuliakan.
Inilah salah satu cara yang lebih mendekatkan untuk mendapat ilmu yang bermanfaat menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari. Pelajar wajib memandang gurunya dengan penuh takzim. Tidak diperbolehkan bagi pelajar memandang remeh gurunya, merasa ia lebih pandai dari pada gurunya. Santri hendaknya memilik i’tikad yang baik terhadap gurunya, menganggap bahwa gurunya berada pada derajat kemuliaan. Beliau mengutip statemen sebagian ulama salaf:
مَنْ لَا يَعْتَقِدُ جَلَالَةَ شَيْخِهِ لَايَفْلَحُ
“Barangsiapa tidak meyakini keagungan gurunya, tidak akan bahagia.”
Tidak etis murid menyebut gurunya hanya dengan namanya, tanpa diberi gelar kehormatan. Atau memanggil gurunya dengan ‘kamu’, ‘anda’ atau panggilan-panggilan yang merendahkan. Setiap menyebut gurunya saat beliau tidak ada, sebutlah dengan sebutan yang layak dan baik.
Jangan ragu untuk bilang “guruku” “kiaiku yang alim”, “ustadzku yang cerdas”, dan sebutan-sebutan yang sejenis.
Kelima, tidak melupakan jasa-jasa guru.
Pelajar hendaknya mengenali hak gurunya, tidak melupakan jasanya, senantiasa mendoakannya, baik saat masih hidup atau setelah meninggal dunia. Juga perlu memuliakan kerabat, rekan dan orang-orang yang dicintai gurunya.
Setelah gurunya wafat, sempatkan waktu untuk berziarah dan memintakan ampunan kepada Allah untuk sang guru di depan kuburnya. Dalam segala tingkah laku, metode pengajaran, amaliyyah dan hal-hal positif lainnya, hendaknya menirukan cara-cara yang ditempuh oleh gurunya. Demikianlah pelajar yang sesungguhnya menurut KH Hasyim Asy’ari, selalu memegang teguh prinsip gurunya.
Keenam, sabar menghadapi gurunya. Manusia tidak lepas dari luput dan salah, tidak terkecuali seorang guru.
Sebagaimana manusia lainnya, tidak mungkin seorang guru bersih dari kesalahan. Terlebih saat banyak pikiran, terkadang emosi sulit dikendalikan. Maka dari itu, murid harus bisa memaklumi sikap gurunya yang terkadang membuat jengkel.
Kendati gurunya melakukan kesalahan atau berlaku keras, hal tersebut tidak menghambat pelajar untuk terus ber-mulãzamah (menimba ilmu) dan meyakini kemuliaan gurunya.
Anjurannya, saat perilaku guru secara lahir salah, murid sebisa mungkin mengarahkannya kepada maksud yang baik, membuka pintu ta’wîl. Mungkin beliau lupa, mungkin beliau dalam kondisi terdesak dan lain sebagainya. Saat guru memarahi murid, hendaknya murid mengawali untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Sikap yang demikian diharapkan dapat menambah kecintaan guru kepadanya. Justru dengan sering dimarahi gurunya, murid sepantasnya berterima kasih karena hal tersebut merupakan wujud kepeduliaan dan kecintaan, bukan sebuah kebencian.
Ketika murid dianggap melakukan kesalahan oleh sang guru, hendaknya tidak terlalu banyak beralibi, justru yang ditonjolkan adalah sikap terima kasih kepada guru atas kepeduliaannya. Bila betul-betul ada udzur dan memberitahukannya kepada guru dinilai lebih mashlahat, maka tidak masalah untuk dihaturkan kepada beliau, bahkan bila tidak mengklarifikasi menimbulkan mudlarat, murid harus menjelaskannya kepada guru.
Ketujuh, meminta izin kepada guru saat memasuki majelisnya.
Hendaknya saat menghadiri majelisnya guru, pelajar terlebih dahulu permisi meminta izin, di mana pun berada, baik saat gurunya sendirian atau bersama orang lain. Kecuali dalam majelis umum yang disediakan untuk siapapun yang mau mengikuti, maka tidak perlu izin.
Ketika guru mengetahui keberadaan murid dan tidak mengizinkannya untuk berada di sebuah majelis, maka sebaiknya murid langsung beranjak dan tidak perlu mengulangi untuk meminta izin. Bila pelajar ragu apakah sang guru mengetahui keberadaannya atau tidak, maka boleh mengulangi untuk meminta izin, namun sebaiknya tidak lebih dari tiga kali.
Saat mengetuk pintu kamar sang guru, sebaiknya dengan pelan, sopan, menggunakan kuku, tidak dengan suara keras yang dapat mengganggu kenyamanan beliau. Saat guru mempersilakan masuk dan yang sowan adalah orang banyak, maka sebaiknya dipimpin oleh murid yang paling utama dan senior, selanjutnya satu persatu dari mereka mengucapkan salam.
Saat sowan menghadap guru, hendaknya dengan penampilan sebaik mungkin, suci dan bersih badan serta pakaiannya, kukunya dipotong, wangi baunya. Terlebih saat berada di majelis ilmu, harus lebih perfect lagi penampilannya, sesungguhnya majelis ilmu adalah majelis dzikir dan ibadah.
Saat hendak menemui guru sementara beliau sedang bercakap-cakap dengan orang lain, atau tengah melakukan aktivitas seperti berdzikir, shalat dan lainnya, maka hendaknya murid diam, tidak boleh mengawali pembicaraan. Sebaiknya ucapkan salam dan segera keluar, kecuali gurunya memerintahkan untuk tetap berada di tempat.
Saat diam menunggu guru, hendaknya tidak terlalu lama, kecuali bila ada perintah dari guru.
Saat tiba waktu belajar, sementara gurunya belum datang atau sedang istirahat, hendaknya sabar menanti sampai beliau datang, atau boleh juga pulang terlebih dahulu lalu kembali lagi, namun sebaiknya tetap bersabar menunggu guru di tempat mengaji.
Pelajar tidak perlu mengetuk pintu guru atau membangunkannya dari istirahat. Sebaiknya murid tidak membuat-buat waktu sendiri, waktu khusus untuk dirinya yang berbeda dengan teman pelajar lain. Sebab hal demikian termasuk bentuk kesombongan dan tindakan bodoh, berakibat tidak baik kepada guru dan teman pelajar yang lain. Namun, bila sang guru terlebih dahulu menawari memberi waktu khusus, misalkan karena ada udzur yang menghalanginya untuk belajar bersama teman-teman pada umumnya atau guru memiliki pertimbangan tertentu dalam menyendirikannya, maka hal tersebut tidak bermasalah.
Kedelapan, duduk bersama guru dengan penuh etika.
Saat menghadap gurunya, hendaknya dengan posisi yang sopan, semisal duduk berlutut di atas kedua lutut atau seperti duduk tasyahud (namun tidak perlu meletakan kedua tangannya di atas kedua paha), atau duduk bersila, dengan rendah diri, tenang dan khusyu’, tidak boleh menengok kanan kiri tanpa dlarurat, menghadap gurunya dengan keseluruhan tubuhnya, mendengar perkataan guru dengan seksama, memandangnya, mencermati arahannya sehingga guru tidak perlu mengulangi lagi penjelasannya.
Tidak perlu menengok kanan-kiri atau arah atas tanpa ada hajat, terlebih saat guru membahas pelajar. Saat ada keramaian di tengah-tengah pelajaran, murid tak perlu belingsatan tak beraturan, dianjurkan tetap tenang.
Dianjurkan pula untuk tidak melipat lengan baju, tidak bermain-main dengan kedua tangan atau kakinya atau anggota tubuh yang lain, tidak membuka mulut, tidak menggerakan gigi, tidak memukul lantai atau benda lainnya, tidak menggenggam jari jemari, tidak bermain-main dengan sarung atau pakainnya, tidak bersandar di tembok atau bantal, tidak membelakangi gurunya, tidak menceritakan hal-hal yang menertawakan atau perbincangan yang tidak pantas.
Tidak banyak tertawa berlebihan di hadapan guru, bila terpaksa harus tertawa dianjurkan tersenyum tanpa bersuara. Sebisa mungkin tidak berdehem, saat terpaksa bersin, hendaknya mengecilkan volume suaranya sebisa mungkin serta menutupi wajahnya dengan sapu tangan.
Ketika menguap, dianjurkan menutup mulut. Di majelisnya guru, hendaknya menjaga adab beserta rekan-rekannya guru dan segenap hadirin. Selayaknya menghormati teman-teman sang guru atau para seniornya, sesungguhnya bersikap santun kepada mereka adalah bagian dari beradab kepada guru dan menghormati majelisnya.
Dianjurkan pula untuk tidak maju atau mundur dari barisan dengan niat membuat halaqah sendiri, tidak berbicara menyimpang saat pelajaran berlangsung atau pembicaraan yang dapat memotong pembahasan.
Ketika sebagian siswa berlaku buruk kepada rekan yang lain, hendaknya tidak membentaknya, hanya guru yang berhak melakukannya, kecuali mendapat mandat dari guru.
Ketika gurunya dicaci, wajib bagi segenap siswa secara kolektif untuk membela gurunya, memperingatkan pihak yang mencaci, bila perlu membentaknya. Dianjurkan pula tidak mendahului guru dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab pertanyaan kecuali atas seizinnya.
Termasuk memuliakan guru adalah tidak duduk di sampingnya, tempat salatnya atau selimutnya. Bila gurunya yang memerintahkan, maka sebaiknya menolak, kecuali ia betul-betul yakin gurunya merasakan keberatan atas penolakannya.
KH. Hasyim Asy’ari selanjutnya menyinggung perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai mana yang lebih utama antara mematuhi perintah guru atau menempuh jalan adab.
Menurut pandangan Hadlratus Syekh, diperinci. Mematuhi perintah guru lebih utama jika sang guru betul-betul menekankan perintahnya tersebut. Namun bila tidak demikian, maka lebih baik menempuh jalan adab, meski dengan menolak perintah guru. Sebab, bisa jadi gurunya sebatas ingin menguji tatakrama muridnya dan sebatas mana kepedulian siswa terhadap sang guru.
Kesembilan, berbicara yang baik kepada guru.
Sebisa mungkin murid menghindari perkataan “kenapa?”, “saya tidak setuju”, “dari mana keterangannya” dan ucapan protes lainnya di hadapan guru. Bila maksudnya adalah untuk meminta penjelasan dari guru, maka hendaknya dengan tutur kata yang sopan dan pelan-pelan. Lebih baik lagi disampaikan di kesempatan yang lain dengan niatan meminta penjelasan, bukan bermaksud menguji atau menentang gurunya.
Bila penjelasan guru berbeda dengan tokoh yang lain atau literatur yang dibaca murid, tidak sopan pelajar membandingkannya di hadapan guru, misalkan “yang saya dengar anda menjelaskan demikian, sedangkan menurut Syekh ini demikian, menurut kitab ini demikian” “apa yang anda jelaskan tidak benar” dan perkataan yang semisalnya.
Saat guru keliru menjelaskan, murid harus memaklumi. Hal yang demikian hendaknya tidak mengurangi sedikitpun ta’zhimnya kepada sang guru. Sesungguhnya kekeliruan adalah hal yang wajar pada diri manusia, keterjagaan hanya dimiliki oleh para nabi ‘alaihimus shalatu was salam.
Kesepuluh, mendengarkan dengan seksama penjelasan guru.
Ketika guru menyampaikan presentasinya, hendaknya didengarkan dengan penuh khidmat, meski pelajar sudah hapal atau mendengar penjelasan gurunya. Sebaiknya mendengar layaknya orang yang baru mengetahui, dengan riang gembira dan penuh antusias. Tidak justru mengabaikan atau menganggap maklum.
KH. Hasyim Asy’ari memberi contoh keteladanan pada diri Imam Atha’, salah satu pakar fiqih dan hadits di masanya. Imam Atha’ menanggalkan segala atribut kebesarannya setiap kali mendengarkan hadits dari siapapun, beliau senantiasa menyimaknya dengan sungguh-sungguh, seolah beliau baru pertama kali mengetahui, meski mendengar dari para pemula.
Padahal beliau sudah hafal di luar kepala, bahkan mengetahui detail-detail sanad dan para perawinya.
Imam Atha’ mengatakan:
إِنِّيْ لَأَسْمَعَ الْحَدِيْثِ مِنَ الرَّجُلِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِهِ مِنْهُ فَأَرِيْهِ مِنْ نَفْسِيْ أَنِّيْ لَا أَحْسَنُ مِنْهُ شَيْأً
“Sungguh aku mendengar hadits dari seseorang yang aku lebih mengetahui dari pada dia, kemudian aku yakinkan pada diriku, bahwa aku sama sekali tidak mengetahui hadits tersebut.”
Diriwayatkan juga dari Imam Atha’ beliau mengatakan:
إِنَّ بَعْضَ الشُّبَّانِ لَيَتَحَدَّثُ بِحَدِيْثٍ فَأَسْتَمِعُ لَهُ كَأَنِّيْ لَمْ أَسْمَعْهُ وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُوْلَدَ
“Sesungguhnya sebagian pemuda berbicara tentang hadits lalu aku mendengarkannya seakan aku belum pernah mendengarnya, sesungguhnya aku telah mendengarnya sebelum mereka lahir.”
Pendapat KH. Hasyim Asy’ari ini senada dengan pemaparan Syekh al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Menurut al-Zarnuji, pelajar yang baik dan ahli ilmu adalah ia yang selalu antusias mendengarkan ilmu, meski berulang-ulang ia dengar.
Al-Zarnuji menegaskan:
وَيَنْبَغِىْ لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يَسْتَمِعَ الْعِلْمَ وَالْحِكْمَةَ بِالتَّعْظِيْمِ وَالْحُرْمَةِ، وَإِنْ سَمِعَ مَسْأَلَةً وَاحِدَةً أَوْ حِكْمَةً وَاحِدَةً أَلْفَ مَرَّةٍ . وَقِيْلَ مَنْ لَمْ يَكُنْ تَعْظِيْمَهُ بَعْدَ أَلْفَ مَرَّةٍ كَتَعْظِيْمِهِ فِىْ أَوَّلِ مَرَّةٍ فَلَيْسَ بِأَهْلِ الْعِلْمِ
“Seyogyanya bagi pencari ilmu mendengarkan ilmu dan kalam hikmah dengan mengagungkan dan memuliakan, meski ia telah mendengar satu permasalahan sebanyak seribu kali. Diucapkan, orang yang mengagungkannya setelah yang ke seribu kali tidak seperti saat ia baru pertama mendengar, maka bukan ahli ilmu.” (al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, hal. 30).
Ketika gurunya bertanya apakah murid sudah pernah mendengar penjelasan yang hendak disampaikan guru, tidak pantas bagi pelajar untuk menjawab iya atau tidak. Tidak layak menjawab iya, karena mengesankan ketidakbutuhan kepada penjelasan guru. Pun demikian dengan jawaban tidak, kesalahannya karena ia telah berbohong. Jawaban yang tepat adalah dengan meminta gurunya tetap menjelaskan tanpa harus berbohong atau menyinggung perasaan gurunya, misalkan dengan berucap “aku sangat senang mendengarnya dari engkau.”
Kesebelas, tidak mendahului keterangan guru.
Saat berada dalam sebuah forum bersama guru, hendaknya murid tidak mendahului atau membarengi guru untuk menjelaskan permasalahan atau menjawab sebuah pertanyaan. Pelajar juga tidak boleh memotong pembicaraan guru dengan perkataan apapun, ia harus bersabar sampai guru menyelesaikan perkataannya.
Saat guru memberikan arahan, tidak baik untuk berbicara sendiri. Konsentrasi murid harus tercurahkan dengan baik saat mendengarkan perintah, nasehat atau pertanyaan gurunya, jangan sampai gagal fokus, usahakan guru tak perlu lagi mengulangi perkataannya.
Keduabelas, menjaga etika saat menerima atau memberi sesuatu dari guru.
Ketika guru memberinya tugas, hendaknya menerima dengan tangan kanan. Bila berupa lembaran, maka dibaca dengan memegangnya, jika terdapat asma’-asma’ yang dimuliakan, hendaknya diangkat dengan penuh etika. Saat menghaturkannya kembali kepada guru, jangan dikembalikan dalam kondisi terlipat, harus rapih dan tertata, kecuali yakin atau menduga gurunya menghendaki demikian.
Saat menghaturkan buku atau kitab yang hendak dibacakan guru, hendaknya diserahkan dalam keadaan siap saji, sudah diberi batas baca sehingga guru tidak perlu mencari halaman yang hendak dibaca.
Demikian pula saat sang guru bertanya batas pelajaran, hendaknya murid menunjukan dengan jelas, membuka kitabnya dengan menunjukkan batas pelajaran yang dimaksud.
Murid juga dianjurkan untuk tidak menghapus sedikitpun keterangan guru yang ia tulis di kertas atau kitabnya.
Demikian pula saat memberikan alat tulis kepada guru, misalkan wadah mangsi, hendaknya tutupnya sudah dibuka dan dipersiapkan, guru tinggal menulis tanpa perlu membukanya.
Dalam memberikan sesuatu yang dibutuhkan guru, hendaknya tidak merepotkan beliau, misalkan menghaturkan buku, hendaknya murid berdiri mendekat gurunya, jangan sampai guru beranjak dari tempat duduknya.
Demikian pula ketika menerima alat tulis dari guru, pelajar hendaknya mengulurkan tangannya terlebih dahulu sebelum guru memberikan alat tulis kepadanya. Posisi duduk dengan guru sebaiknya tidak terlampau dekat sehingga menunjukan etika yang buruk.
Saat menerima tugas, usahakan tangan, kaki atau anggota tubuh lainnya tidak melakukan kontak fisik dengan baju, bantal, sajadah atau alas lantainya guru.
Saat menghaturkan pisau, jangan mengarahkan bagian yang tajam, juga tidak dengan menghaturkan bagian rangka pisau dengan menggenggam bagian ujungnya. Etika yang baik adalah diberikan dengan cara memiringkan pisau, bagian tajam pisau mengarah kepada murid, memegangi ujung rangka (bagian tengah yang berdekatan dengan pisau) dan menjadikan rangka di sebelah kanan guru yang hendak menerima pisau tersebut.
Ketika menghaturkan sajadah untuk shalat, hendaknya dibentangkan terlebih dahulu, lalu mempersilahkan guru shalat di atasnya. Etika ini juga berlaku setiap kali murid mengetahui gurunya hendak melakukan shalat.
Hendaknya tidak duduk di hadapan guru di atas sajadah atau shalat di atasnya kecuali karena faktor tempatnya tidak suci atau ada udzur yang menuntut mengenakan sajadah.
Saat guru beranjak dari tempat shalat, sebaiknya murid bergegas mengambilkan sajadahnya dan memperisapkan sandalnya, yang demikian itu dilakukan untuk mecari ridlo Allah dan guru.
Menurut Hadlratus Syekh, ada empat hal yang diperhatikan orang mulia meski ia sudah menjadi raja.
Pertama, berdiri dari tempat duduk untuk menghormati ayah.
Kedua, melayani cendekia yang mengajarkannya.
Ketiga, bertanya hal-hal yang tidak diketahui.
Keempat, memuliakan tamu.
Prinsip Etika kepada Guru
Pada prinsipnya seorang pelajar ditekankan untuk menjaga etika dengan gurunya, baik dalam perilaku, ucapan dan perbuatan.
Pelajar juga dituntut untuk khidmah kepada gurunya, memberikan kenyamanan dan pelayanan yang sempurna kepadanya.
Saat berjalan bersama guru, hendaknya berada di depan saat malam hari dan berada di belakangnya di siang hari, kecuali bila situasi menuntut sebaliknya, misalkan karena berdesakan atau lainnya.
Di tempat-tempat yang becek misalnya, pelajar harus menjadi yang terdepan untuk melindungi gurunya, jangan sampai percikan air mengotori baju sang guru. Saat berada dalam situasi berdesakan, hendaknya menjaga guru dengan tangannya, bisa dari arah belakang atau depan.
Saat berjalan di depan guru, sesekali memantau ke arah belakang untuk mengetahui keadaan dan kenyamanan beliau.
Saat gurunya mengajak bicara di tengah perjalanan, sebaiknya berada di sebelah kanan guru, ada pula yang menganjurkan sebelah kiri, dengan posisi sedikit lebih maju dan menengok ke arah guru. Tidak baik berjalan di samping guru kecuali ada hajat atau diperintahkan guru.
Sebaiknya menghindari berdesakan dengan pundak guru atau kontak fisik dengan baju guru, usahakan agak jauh, menjaga jarak.
Saat cuaca panas, gurunya diberikan tempat yang rindang, saat cuaca dingin diberi tempat yang hangat, namun tidak sampai terkena sorotan sinar matahari yang mencolok sehingga mengganggu kenyamanan guru.
Hendaknya tidak berjalan di antara guru dan orang yang sedang berbincang dengan beliau, yang baik adalah mengambil posisi mundur atau maju, tidak mendekat, tidak menengok serta tidak menguping pembicaraan mereka.
Bila pelajar dipersilahkan masuk mengikuti perbincangan sebaiknya masuk dari arah yang berbeda. Saat bertemu guru di jalan, mulailah berucap salam kepadanya bila jaraknya dekat.
Bila jauh, maka tidak perlu berteriak atau memanggilnya, cukup bersiap diri untuk menyampaikan salam. Tidak baik mengucapkan salam dari tempat yang jauh atau dari balik tirai, yang tepat adalah mendekat kepada guru baru mengucapkan salam.
Tidak layak mengambil rute perjalanan tanpa dimusyawarahkan atau meminta izin terlebih dahulu kepada guru.
Saat pelajar sampai di kediaman guru, jangan berdiri di depan pintu, khawatir berpasasan dengan keluarga atau penghuni rumah yang tidak disukai guru dilihat oleh orang lain.
Saat gurunya turun dari kendaraan, hendaknya pelajar mendahului, berjaga-jaga bila sang guru terpeleset, bisa berpijak di pundaknya.
Murid boleh saja tidak sama dengan hasil pemikiran gurunya, bila menurut pelajar pendapat guru kurang tepat, hendaknya tidak menyalahkan atau merendahkan. Misal berucap “ini salah”, “ini bukan pendapat yang benar.” Namun sebaiknya dengan bahasa yang sopan dan santun, misalkan berucap “pendapat yang jelas ada mashlahatnya menuntut demikian”, tidak baik menyampaikan dengan bahasa yang membanggakan pendapatnya sendiri, misalkan “menurutku yang benar demikian” atau ucapan-ucapan yang sejenis.
Demikianlah adab-adab pelajar kepada guru dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, bila etika-etika tersebut dijalankan dengan baik, maka sangat besar peluang murid untuk mendapatkan keberkahan dan ilmu yang bermanfaat.
Dengan adab-adab tersebut para ulama bisa sukses dalam belajar. Semoga kita sedikit-sedikit bisa meneladaninya. Ãmîn.
Wallãhu a’lamu bish-Shawãb
___________________
*Dr. Supardi, SH., MH., Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.