Karbala terletak beberapa kilo meter dari hulu sungai Eufrat di barat laut Kufah. Tanah Karbala awalnya bernama Kur Babal lalu disingkat menjadi Karbala untuk memudahkan pengucapan. Kata Babal dalam nubuat Yesaya berarti gurun laut (shahra’ al bahr) sebuah lembah luas yang dibelah oleh sungai Eufrat. Versi lainnya, disebut Karbala karena pada zaman Babilonia disana terdapat tempat penyembahan. Karb berarti tempat penyembahan, tempat sembahyang dan tempat suci dan kata ‘Abala dalam bahasa Aramea berarti Tuhan, sehingga Karbala artinya tanah suci Tuhan. Kitab-kitab samawi sebelumnya menyebut tanah tersebut Karbala, karena dinubuatkan di tempat inilah terjadi kesulitan dan bencana yang sangat memilukan hati. Karb dalam bahasa Arab artinya kesulitan dan bala artinya bencana. Al-Kitab, memberitakan bahwa di Karbala inilah terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1).
Sejarahpun mengabadikan, Karbala adalah hamparan sahara yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sangat disayangkan, peristiwa tragis ini kurang mendapat apresiasi bahkan dari kaum muslimin sendiri. Diantara buku-buku sejarah yang menumpuk diperpustakaan kita, sulit kita temukan buku yang membahas pembantaian Karbala, seakan-akan peristiwa ini tidak ada pentingnya untuk dikaji dan diapresiasi, sedangkan yang dibantai secara tragis adalah Imam Husain, cucu Rasulullah yang tersisa. Rasul bersabda tentangnya, “Husain berasal dariku dan aku berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya. Siapa menyakitinya berarti menyakitiku”
Karbala bukanlah sebuah peristiwa sejarah yang berhenti pada 10 Muharram, tetapi merupakan titik balik yang sangat penting bagi aqidah Islam yang agung. Yang dilakukan Imam Husain as di Karbala adalah revolusi tauhid, yakni revolusi yang –menurut Ali Syariati- gugusannya dimulai oleh nabi Ibrahim as, diledakkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saww, dipertahankan hidup oleh Imam Husain as dan berakhir pada Imam Mahdi. Ali Syariati merasa perlu mengingatkan, bahwa melupakan riwayat Imam Husain as sebagai mata rantai yang lepas dari rangkaian sejarah tidak bedanya memotong bagian tubuh manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian atasnya. Perlawanan yang dikobarkan Imam Husain adalah hikayat kebebasan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau kezaliman pada setiap zaman dan tempat. Karenanya semangat itu perlu kita hidupkan kembali.
Pentingnya Mengenang Karbala
Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Yazid putranya sendiri sebagai khalifah atas kaum muslimin adalah awal pemicu prahara tak berkesudahan dalam tubuh umat Islam. Pengangkatan ini tidak hanya mengakhiri keagungan dan kecemerlangan Daulah Islamiyah yang telah dibangun oleh Rasulullah saww dan dijaga oleh keempat sahabat beliau yang mulia namun juga telah mengoyak-ngoyak tatanan politik Islam yang berkeadilan. Para sejarahwan menuliskan Yazid bukanlah orang yang layak menjadi khalifah, ia dzalim dan sering tampak secara terang-terangan menginjak-injak sunnah Rasulullah. Untuk memutlakkan kekuasaannya atas kaum muslimin, Yazid bin Muawiyah meminta baiat dan pengakuan dari Imam Husain as, sebagai orang yang paling alim dimasanya.
Disinilah kondisi lebih pelik bermula, berhadapan dengan kekuatan besar dan kekuasaan Yazid, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi ketika memilih menolak berbaiat. Sebenarnya bisa saja Imam Husain as menganggap jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang. Jihad bukanlah satu-satunya jalan menuju surga, bukankah dengan hidup zuhud, menyingkirkan diri dari keramaian, menyibukkan diri dengan ibadah di sudut-sudut mesjid adalah jalan yang lebih mudah dan aman menempuh surga?. Tetapi tidak bagi al-Husain, surga bukanlah satu-satunya tujuan dan impiannya. Beliau harus melaksanakan tugas yang diemban dan taklif yang saat itu berada dipundaknya, mempertahankan kebenaran dan revolusi Islam yang telah diledakkan sang kakek. Menurut Imam Husain as, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora. Mungkin dengan semangat itulah, Islam hakiki akan tampak, sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam ketertindasan. Baginya, mengosentrasikan jiwa dan pikiran di sudut-sudut mesjid dan rumah-rumah kosong adalah pengkhianatan terhadap revolusi Islam. Dengan kekuatan yang tersisa, Imam Husain as mengajak keluarganya untuk memilih kematian daripada harus mengakui kekuasaan Yazid yang menumpahkan tinta lain selain Islam dalam pemerintahannya.
Imam Husain berangkat melawan untuk membela kebenaran, yakni kebenaran bagi semua umat manusia. Jadi perlawanan tersebut dengan esensinya akan terus berlangsung selama-lamanya. Dimanapun seorang melakukan perlawanan terhadap kezaliman, disitulah Karbala. Setiap tusukan pedang pada hari Asyura adalah tusukan terhadap penguasa yang dzalim pada periode kapanpun. Itulah perlawanan yang mulai membara dan terus membara selama masih ada kedzaliman di atas muka bumi, selama masih ada pemerintah yang dzalim, selama masih ada aqidah dipermainkan. Itulah perlawanan yang takkan mereda, terutama saat ini ketika intimidasi menimpa banyak bangsa, aqidah dan agama dipermainkan untuk mengokohkan kezaliman, pengrusakan dan membenarkan kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya
Antoane Bara dalam bukunya The Saviour Husain dalam Kristinitas (Citra, 2007) menulis, Al-Husain adalah pelita Islam yang menerangi batin agama-agama hingga akhir zaman. Ajaran-ajaran revolusi Imam Husain, perlawanan terhadap ketidak adilan, kebebasan dan kemerdekaan jiwa, altruisme (ajaran rela berkorban) bukankah ini batin agama-agama sepanjang masa? Revolusi Al-Husain adalah lompatan keberanian dalam penjara-penjara hegemoni pada zamannya. Sebuah citarasa yang tinggi. Kalimat syahadat, La ila haillallah adalah simbol universitas kesyahidan, yakni kebebasan, tidak ada ketundukan kepada selain Allah.
Allah SWT berfirman, “Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup” Demikianlah Al Husain tetap hidup, hidup di sisi Allah, di dalam hati, jiwa dan pikiran orang-orang yang memerdekakan jiwanya. Hidup dalam perasaan, di atas mimbar, di dalam majelis-majelis, dalam slogan-slogan perlawanan, hidup dalam buku. Gerakan, semangat dan misi Al-Husain di Karbala, di hari Asyura akan selalu menginspirasi setiap gerakan revolusi di dunia, di setiap masa. Revolusi Al-Husainlah yang menginspirasi Mahatma Ghandi membawa rakyat India menuju pembebasan dari penjajahan Inggris. Di penghujung abad 20 Imam Khomeini telah menuntun kafilah dan semangat Asyura meruntuhkan Imperium yang berkuasa 2.500 tahun membuktikan Revolusi Al-Husain mengungguli dunia dan zaman. Kullu Yaumin As-Syura, Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala.